[19]

1.2K 103 18
                                    

30 menit sudah pria paruh baya dan pria dengan luka memar di pipinya duduk berhadap-hadapan tanpa ada satu suara pun yang keluar dari mulut mereka. Helaan napas panjang keduanya seakan menjadi pertanda bahwa keduanya sudah sangat lelah. Lelah dengan kesunyian yang tidak mengurangi sedikit pun pertarungan di dalam otak mereka.

Nick melirik dengan ujung matanya pada pria paruh baya yang menangkup wajahnya dengan tangan keriputnya, seakan berusaha menutupi pandangannya dari anak durhaka yang mungkin sekarang menjadi seseorang yang paling ia benci.

Menarik napas panjang, Nick menegakkan tubuhnya dan berdehem pelan, "Dad, maafkan aku."

Daddynya menatap tajam Nick dengan gigi yang bergemelatuk marah.

"Pukul aku sepuasmu. Jangan seperti ini."

Daddy mendengus kasar, "Apa gunanya?"

Nick mengatup diam. Tidak ada. Tidak ada gunanya. Sekeras apapun pukulan yang akan diterima Nick, sakitnya tidak akan pernah menyembuhkan luka dan mengembalikan kepercayaan Claude padanya.

"Pertama kali aku mengenal Claude, aku selalu mengingatmu, Nick. Kalian sama. Tumbuh dan dikelilingi dengan rasa sakit. Bedanya, Claude sudah berada di tahap memaafkan dan menerima rasa sakit menjadi bagian dari hidupnya. Sedangkan kau, setiap hari harus tertatih untuk meninggalkan sakit itu tanpa sadar kalau kau justru menanam semakin dalam sakit itu dalam tubuhmu. Kau bisa saja menerimanya seperti Claude dan membiarkan mereka menjadi bagian dari hidupmu saja. Tapi kau tidak mau, karena kau tau itu tandanya kau harus memaafkan kesalahan terbesar yang dibuat seseorang hingga menyakitimu seperti ini. Kau tidak mau memaafkannya tanpa sadar kau juga tidak bisa memaafkan dirimu sendiri."

Nick tercekat. Tubuhnya terasa dingin akibat luka lama yang berusaha ia tutupi kini dibuka kembali.

"Bertahun-tahun aku selalu memintamu untuk berdamai dengan semua ini. Berdamai. Menerima semuanya. Menerima dan memaafkan semua yang telah terjadi. Kau tidak pernah bisa. Dan kini aku tahu mengapa. Karena kau tidak bisa memaafkan dirimu sendiri, Nick. Karena kau tahu kesalahan besar yang telah kau buat akibat semua rasa sakit ini. Kau bukan tidak bisa memaafkan mommymu. Kau hanya tidak bisa memaafkan dirimu sendiri karena kesalahan yang kau buat pada Claude. Dan kau menganggap itu semua karena mommymu."

Nick menelan ludah susah payah. Tenggorokannya terasa sangat kering. Ia menunduk dalam sambil mengatur napasnya yang sudah tak beraturan karena rasa takut yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Aku sudah memaafkan mommy, dad."

"Aku tahu."

Diam. Kini keduanya kembali terdiam. Bertarung dengan pikirannya masing-masing.

"Aku tidak membencimu, Nick."

Nick tersentak kaget. Ia menatap kedua mata daddynya dalam. Mencari kebenaran dari ucapannya. Benar. Daddy tidak membencinya. Hanya saja, kini ia menemukan sinar redup itu. Sinar yang sama dengan mata Claude, kakaknya, Reynold dan orang-orang yang telah mengetahui kebusukannya.

"Kau kecewa padaku," Nick berkata pelan.

"Sangat kecewa."

"Aku pantas mendapatkannya, dad. Kau pantas kecewa padaku seperti itu. Dan aku tidak tahu bagaimana menyembuhkan rasa kecewa itu. Padamu. Pada Cluade. Dan pada semua orang yang merasakan itu akibat ulahku."

"Berjuanglah, Nick. Jangan pernah berhenti sampai kau mendapatkan kembali sinar tulus dari matanya itu padamu. Dan berjanjilah kau tidak akan pernah menyakitinya lagi. Sedikitpun."

"Dan jika tidak menyakitinya berarti kau harus meninggalkannya, maka lakukanlah."

Sang daddy berjalan keluar ruangan, meninggalkan Nick yang masih mematung di tempat. Napasnya memburu dengan detak jantung yang semakin kencang.

How It EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang