[14]

1.9K 167 21
                                    

Claude membuka kedua matanya yang terasa sangat berat. Ia merintih kesakitan saat berusaha duduk dari tidurnya. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Kepalanya yang pening membuatnya harus memegangi kepalanya sambil terus merintih lirih. Air matanya menetes saat menyadari bahwa tubuhnya telah telanjang bulat dibalik selimut tebal.

Ia menenggelamkan kepalanya ke dalam siku kemudian menjerit kencang. Jeritan yang terdengar begitu perih bagi siapapun yang mendengarnya. Di dalam tangisnya bayangan-bayangan orang tuanya terus saja muncul. Ia semakin menjerit pilu kala melihat bayangan orang tuanya yang terlihat kecewa karena ia tak bisa menjaga dirinya sendiri, karena kesuciannya telah terenggut oleh pria tak punya perasaan.

"Maafkan aku.. Maafkan aku.." Claude memukul kepalanya masih dengan menangis pilu. Dadanya terasa begitu sesak. Sesak akan rasa sakit dan benci pada dirinya sendiri.

"Aarrkkhgghhhh!!!" Claude menjerit kencang hingga akhirnya suaranya hilang ditelan rasa sakit pada tenggorokannya dan disambut oleh kegelapan yang berujung pada teriakan-teriakan yang memanggil namanya.

"Claude! Claude!"

Claude bangun dengan tersengal. Keringat berucuran di dahi dan tubuhnya. Reynold dan Bella berdiri di depannya dengan wajah khawatir.

"Kau tidak apa-apa?" Bella memegang bahu Claude karena melihat wanita itu seperti ingin tumbang. Ia kemudian menyandarkan tubuh Claude pada kepala tempat tidur.

Claude menundukkan kepalanya dalam. Tetes air matanya kembali turun. Mimpi itu kembali datang. Mimpi buruk yang telah dienyahkan dari hidupnya, akhirnya kembali menghantuinya. Reynold dan Bella yang melihat Claude menangis dalam diam seperti itu, hanya bisa terdiam sambil menguatkan batin mereka yang juga ikut teriris.

Mereka tahu seperti apa rasa sakit wanita itu. Mereka tahu seberapa lemah wanita itu. Mereka tahu seberapa lama wanita itu berusaha memulihkan dirinya. Dan kini wanita itu kembali pada rasa sakitnya hanya karena seorang pria yang mereka yakini baik adanya. Mereka benar-benar merasa bersalah dan menyesal telah melepaskan Claude pada pria bajingan itu.

Tak kuat melihat lebih lama lagi, Bella langsung memeluk wanita di hadapannya, "Ssst.. It's okay, Claude. Tenanglah.."

Bukannya tenang, Claude malah semakin menumpahkan tangisnya di pelukan Bella. Reynold yang tak kuat melihat betapa rapuh wanita di depannya saat ini, akhirnya memikih keluar kamar sambil memijit pelipisnya lelah.

Salahnya. Semua ini salahnya. Andai saja ia mendengarkan ucapan Claude yang selalu berusaha tak mau semerta-merta percaya pada pria bajingan yang menurutnya baik dari balik covernya itu, pasti Claude tidak akan mengalami hal buruk seperti ini lagi.

***

BRAK! PRANG! PRANG!

Nick memukul apapun yang ada di depannya. Apartemennya telah berubah menjadi kepal pecah akibat amarah yang menyelimuti dirinya. Napasnya tersengal, matanya menatap kosong di depannya. Yang ada dalam kepalanya saat ini hanyalah ia ingin membunuh dirinya sendiri. Ia adalah pria jahat yang seharusnya musnah dari dunia ini. Tangannya menyengkeram kuat ponsel di genggamannya. Hingga akhirnya ia melemperkan ponsel itu dengan kencang.

Prang!

Ia menjambak rambutnya dan menjatuhkan tubuhnya kasar. Tetes air mata turun bersamaan dengan ditutupnya kedua matanya perlahan. Ia menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya. Bahunya bergetar hebat sarat akan tangisnya yang telah pecah. Ia menyesal. Benar-benar menyesal atas segala tindakan bodoh yang telah ia lakukan. Ia sadar. Ia sadar penyesalannya tidak akan membuahkan apa-apa. Semuanya sudah terlambat. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi untuk memperbaiki kesalahannya.

Claude telah mengetahui semuanya. Dan Claude tidak akan mungkin mau memaafkannya. Apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya saat ini? Apakah dengan membunuh dirinya sendiri bisa membuat Claude lega dan berakhir bahagia?

Ia kemudian berdiri dan berjalan gontai menuju dapur. Dengan wajah yang berantakan karena air mata yang masih bercucuran, ia mencari keberadaan pisau tajamnya. Sedetik kemudian ia berhasil menemukan pisau di antara piring-piring yang baru saja ia cuci kemarin. Ia mengambil pisau itu kemudian menyeringai lebar.

Mungkin ini adalah keputusan yang tepat. Tak ada gunanya lagi ia bertahan hidup di dunia ini. Segala rasa sakit yang ia timbulkan pada orang-orang disekitarnya atau bahkan pada dirinya sendiri mungkin bisa hilang seiring dengan nyawanya yang juga hilang.

Ia meletakkan sisi tajam pisau itu tepat di atas nadi di lengannya. Ia memejamkan matanya kemudian-

"Nick!"

Cassie merebut pisau dari tangan adik laki-lakinya itu.

"Apa yang kau lakukan?! Kau gila, Nick!"

"Diam, Cassie! Kembalikan pisauku! Aku ingin mati! Tidak ada gunanya lagi aku hidup!"

Nick hendak merebut pisau di tangan Cassie namun Cassie terus menyembunyikan di balik badannya.

"Sadarlah! Apa yang kau lakukan, hah?! Kau pikir dengan mengakhiri nyawamu semuanya akan selesai?!"

Nick menghela napas kasar kemudian menjatuhkan tubuhnya ke lantai. "Claude telah pergi, Cassie. Claude sudah tahu semuanya. Dia membenciku, Cassie. Ini semua karena aku! Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk menebus dosa-dosaku! Biarkan aku mati saja! Biarkan aku mati!" Nick berlutut di depan Cassie dengan terus menarik rok kakaknya meminta pisaunya kembali.

PRANG!

Cassie melempar jauh-jauh pisau di tangannnya. Ia kemudian ikut berlutut di depan Nick.

"Sadarlah! Kau tidak hidup sendiri di dunia ini. Kau pikir apa yang akan aku dan daddy rasakan apabila kau pergi? Kau pikir itu akan memberikan kebahagiaan pada kami? Tidak ada gunanya, Nick!"

Nick menatap nanar pada kakaknya. Ia menjambak rambutnya frustasi.

"Masih banyak yang bisa kau lakukan untuk menebus kesalahanmu, Nick. Kau belum berusaha. Kau baru memulainya. Dan kau harusnya sadar konsekuensi atas tindakanmu sendiri."

"Aku tidak bisa melihatnya lebih terpuruk lagi, Cassie. Aku tidak bisa menampakkan wajahku di depannya lagi karena yang aku lihat hanyalah dia akan berteriak ketakutan. Aku adalah monster dalam hidupnya selama ini."

"Nick, di dunia ini tidak hanya tentang dirimu dan Claude. Mommy, Nick. Mommy kritis. Tidak maukah kau mencoba mengurangi rasa sakitmu dengan cara ini. Temuilah mommy, Nick. Dia membutuhkanmu."

Nick menatap Cassie sendu. Ia mengusap kasar wajahnya kemudian mengangguk pelan.

"Kau mau?" tanya Cassie bahagia.

Nick mengangguk, "Aku merindukannya. Dan aku lelah dengan kebencian yang terus merenggut kebahagiaanku."

***

TBC
03 FEBRUARI 2018

Don't judge me for this really lately update. Udah berapa tahun yak sejak update terakhir wkwkw I know I just need to end what I've started.

How It EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang