Justin POV
Gue meluk Ari dari belakang, seperti yang biasanya gue lakukan kalau gue dan Ari nonton film bareng. Setelah sarapan tadi, Ari nyuruh gue buat tidur karena muka gue pucat dan kantung mata gue dapat terlihat dengan jelas. Tapi gue ngga mau.
To be honest, gue cuma takut. Gue takut kalau waktu gue bangun nanti, Ari udah ngga ada di sisi gue. Gue takut kalau waktu gue bangun nanti, gue sadar kalau ini cuma mimpi. Gue takut kalau waktu gue bangun nanti, Ari masih membenci gue. Gue takut.
"Ju, kamu kenapa ngga tidur?"tanya Ari menolehkan wajahnya ke gue.
"Ngga ngantuk,"kata gue meletakkan kepala gue di bahu Ari.
"Kamu kenapa sih mukanya jadi pucat gitu? Mulai kumisan lagi,"kata Ari menunjuk kumis tipis yang berada di atas bibir gue.
"Biarin, yang penting kan tetep ganteng."ujar gue tersenyum bangga.
Ari malah mendorong pipi gue pelan, "Dih, GR banget,"
Ari itu kurus dan mungil, tapi entah kenapa gue merasa nyaman tidur di bahu Ari. Mata gue mulai terasa berat. Mungkin ini gara-gara gue kebanyakan minum kopi dan tidur terlalu larut akhir-akhir ini. Ari mengelus rambut gue pelan, dan gue pun tertidur.
***
Mata gue perlahan terbuka dan gue menatap langit-langit ruang keluarga. Kepala gue agak sakit tapi ngga separah kemarin. Gue berusaha buat bangun dan menatap sekeliling gue dengan bingung. Gue menyingkirkan selimut yang menutupi kaki gue dan berjalan sempoyongan ke dapur.
"Ari?"panggil gue. Tidak ada jawaban. Jantung gue mulai berdebar lebih cepat.
"Ari, Sayang?"panggil gue sekali lagi. Nafas gue mulai memburu.
"Ari, kamu dimana? Jangan main-main deh,"seru gue panik. No, no, no. Jangan bilang kalau itu semua cuma mimpi.
"ARI!!"seru gue. Gue terduduk di lantai dekat meja makan.
Ketakutan gue menjadi nyata. Jadi Ari masih membenci gue? Gue mengacak-acak rambut gue dengan kasar dan menyandarkan kepala gue ke dinding. Air mata kembali menjatuhi pipi gue. Apa yang lo pikirkan, Just? Ngga mungkin Ari memaafkan lo begitu mudah setelah semua hal bodoh yang telah lo lakuin ke dia!
Gue menatap kedua tangan gue. Dulu, tangan ini gue pakai untuk memeluk Ari. Sekarang? Hal itu sepertinya udah ngga mungkin bisa dilakukan lagi.
"Ari..."isak gue tertahan. Apa yang harus aku lakukan supaya kamu balik ke pelukan aku lagi, Ari?
"Argh!!" Gue menghantamkan tangan gue ke tembok ini dengan tangan kanan gue. Gue pun menghantamkan tangan kiri gue ke tembok. Tangan gue terasa sakit, tapi gue yakin sakit hati Ari terasa lebih perih dibandingkan rasa sakit yang gue rasakan. Gue menatap buku-buku jari gue yang berdarah. Gue hanya terdiam, duduk menatap tembok kosong.
"Justin?!"
Gue tersenyum pahit. Suara Ari di pikiran gue aja udah lebih dari cukup. Gue memejamkan mata gue.
"Justin, kamu dimana?!"
Gue mulai ngga waras. Gue yakin kalau gue mulai ngga waras.
"Justin!"
Gue membuka mata gue dan melihat Ari dengan tatapan panik melihat gue. Apa ini mimpi atau nyata?
"Ari?"ujar gue mencoba untuk mengelus pipi Ari.
"Kamu kenapa sih, Just?"tanya Ari ikut terduduk dan meraih tangan kiri gue untuk melihat luka yang gue buat.
"Is this just a dream?"tanya gue menatap dalam ke mata hangat Ari.
"This is not a dream, Justin,"kata Ari tersenyum. Gue langsung menarik Ari ke pelukan gue.
"A-Aku takut kalau suatu saat aku bangun, aku sadar kalau ini semua hanya mimpi."ujar gue terisak. Tangan gue bergetar hebat saat memeluk Ari.
"Hey, it's okay. Aku udah disini sekarang,"ujar Ari berusaha menenangkan gue. Ari mengelus punggung gue dengan lembut.
"Ju, kita harus obatin luka kamu. Ayo,"ujar Ari berusaha buat membantu gue berdiri. Ari menyuruh gue buat duduk di kursi meja makan. Ari pun dengan langkah tergesa-gesa mengambil kotak P3K dan mengeluarkan alkohol, obat merah, dan kain kasa.
"Kenapa tangan kamu bisa kaya gini, sih?"omel Ari sambil mengobati tangan gue.
"Aku nonjok tembok,"ujar gue dengan muka polos.
"Temboknya ngga salah apa-apa malah kamu tonjok,"ujar Ari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Habisnya aku kira kalau ini semua cuma mimpi. Aku kira kamu masih marah sama aku, masih benci sama aku,"ujar gue menatap Ari dalam. Ari hanya tersenyum tipis.
"Aku kan udah bilang kalau ini bukan mimpi. I'm the real Ariana, and I'm totally in love with you."ujar Ari mencium pipi gue cepat. Gue tersenyum tenang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir ini, gue merasa benar-benar tenang.
"My nightmare are usually about losing you. I'm okay once I realize you're here." -Peeta (The Hunger Games: Catching Fire)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Feeling
FanfictionSemua orang tahu Ariana Grande - gadis manis dengan suara yang begitu indah. Semua orang pun mengetahui Justin Bieber - pria tampan dengan suara yang merdu. Bagaimana jika Ariana terjebak dalam pesona Justin, sedangkan Justin sendiri masih terjebak...