Part 11 : Threat Or Tease...?

1K 55 11
                                    

Many years ago...

"You have to run, baby. You have to live."

Wanita berambut coklat gelap itu terbatuk-batuk. Suaranya lemah. Separuh tubuhnya sudah terkena kobaran api. Dia tau kalau dia tidak akan bisa selamat karena luka bakar yang sangat parah ditubuhnya. Dia mendekap seorang anak lelaki kecil yang ketakutan. Dibelakang mereka terlihat asap hitam mengepul, disusul kobaran api yang semakin lama semakin membesar.

"Hiks.. hiks.. No, Mom, I won't leave you.."

Anak lelaki kecil itu menangis sesenggukan, tangannya mencengkeram erat sebuah bingkai foto tua yang sempat ia selamatkan sebelum akhirnya ia berlari menuju balkon bersama ibunya.

"Listen to me, baby, you will survive. No matter what happen to me. Promise me, you'll live happily. Okay..?"

Sang ibu menatap putranya dengan sedih, seperti tau bahwa ini adalah akhir dari kebersamaan mereka. Dia kemudian mencium kening putranya untuk terakhir kalinya dengan airmata berlinang.

Sedetik kemudian, tanpa aba-aba wanita itu mendorong tubuh anaknya dengan keras kearah balkon, membuat anak itu terjun bebas dari lantai dua bangunan tersebut.

"Moooommmm....!!!!"

Splaaaaaaasssshhh....

Anak itu jatuh tepat diatas kolam renang, tubuhnya selamat meski dia terjatuh dengan keras diatas permukaan kolam. Dengan sekuat tenaga anak itu berenang ke pinggir kolam, matanya nanar menatap rumah yang ada dihadapannya.

Anak itu menangis histeris, meraung-raung hingga akhirnya jatuh lemas. Sebelum akhirnya benar-benar tak sadarkan diri, dia sempat melihat untuk yang terakhir kalinya rumah itu. Rumah yang menaunginya selama ini. Rumah tempat dia tumbuh dewasa bersama ibunya dengan penuh bahagia. Rumah yang selalu penuh cinta.

Rumah yang kini habis dilalap sang jago merah. Tidak ada yang tersisa dari rumah itu selain dirinya dan bingkai foto ditangannya.

"Mom..."

Sebelum akhirnya petugas berhasil menyelamatkannya, dia sudah tak sadarkan diri dengan airmata meleleh diwajahnya yang menghitam akibat asap. Dalam dekapannya ia menggenggam bingkai foto tua itu sebagai hal terakhir yang bisa ia kenang dari rumah ibunya.

***

- Alesia's POV -

Jullian membeku, matanya menatapku di balkon sebelah dengan pandangan aneh. Dengan acuh dia menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tau."

Aku melihatnya yang sedang berdiri mematung. Tatapan matanya kosong, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tadi Kakek bercerita banyak hal padaku. Perihal wasiat Papa dan pertunangan kita."

Jullian sepertinya tertarik dengan pembahasanku. Langkahnya yang sedari tadi ingin bergerak meninggalkan balkon kini tertahan. Pandangannya masih nampak kosong, tapi dia tidak mengucapkan apapun.

"Kau tau, sebenarnya isi wasiat itu tidak menjodohkan aku dan kau. Tapi mereka berniat menjodohkanku dengan orang lain. Cucu tiri dari anak sahabatnya dulu."

Jullian terpaku. Pandangan matanya menggelap. Aku terkesiap, kaget dengan perubahan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba itu.

"Maksudmu.. apa..?"

Aku menatap Jullian dengan bingung, sementara yang ditatap masih tak bergeming. Apa-apaan sih dia?!?

"Apa tadi katamu? Kakek mau menjodohkanmu dengan siapa?"

"Dengan cucu angkat keluarga Adams, sahabat kakek. Dia bilang perjodohan ini sudah lama dia rencanakan. Sayangnya cucu tiri keluarga Adams tidak diketahui keberadaannya sekarang."

Jullian mendekat ke sisi balkon yang mengarah kekamarku, dan tanpa diduga dia melompat menuju balkon tempatku berdiri. Sejenak aku termangu melihat aksinya barusan, hingga ketika kesadaranku sudah kembali, Jullian sudah berada dibalkon yang sama denganku. Didepanku dan sangat dekat. Ekspresi dingin diwajahnya terasa mengintimidasi.

"Jelaskan semuanya dari awal."

Jullian membisiki telingaku dengan suaranya dalam dan serak, membuat sekujur tubuhku menegang. Is he trying to tease me..? Damn you, Jullian!

Aku berdehem sembari berusaha menciptakan jarak diantara kami. Bukankah pernah kukatakan aku membenci aroma tubuh lelaki ini? Cologne yang dipakainya membuat otakku berpikiran mesum.

"Ceritakan semuanya padaku. Sekarang."

Aku menurut, mendadak merasa aura gelap disekitarku makin menumpuk karena wajah sangar Jullian. Dengan hati-hati aku menceritakan semua yang dikatakan kakek tadi pagi. Ekspresi wajah Jullian berubah-ubah, membuat tanda tanya dalam kepalaku makin menebal.

"Jadi sekarang kau tau kan permasalahan yang sebenarnya?"

Jullian menatapku lekat. Sorot matanya tak terbaca.

"Aku tidak ingin menikah denganmu. Tapi kau juga tidak boleh menikah dengan cucu tiri Adams."

Mataku menyipit, menelaah kalimatnya barusan.

"Kenapa tak boleh? Kau juga tak ingin menikah denganku bukan? Harusnya kau senang Jullian, karena itu artinya kau bisa terbebas dari perjodohan konyol ini."

Lelaki itu mendekat, tanpa aba-aba mendaratkan kecupan ringan ditengkukku. Meninggalkan rasa terbakar yang menjalar ke sekujur tubuhku.

"Jangan pernah memilih siapapun. Jangan pernah berharap kau bisa memilih. Cucu Adams atau siapapun, akan kupastikan dia menyesal menikahimu."

Jullian melompat kembali ke balkon kamarnya, meninggalkanku dengan lutut gemetar dan leher yang panas membara. Dia mengancamku dengan ciuman selembut bulu..?

Ya Tuhan.. Semoga jodohku bukan lelaki gila itu..


=================================================================

hello, maap baru apdet, authornya baru sembuh sakit.. :'(

ceritanya dikit? iya, soalnya lagi gak mood buat ngapain2, smartphone yang biasa dipake buat ngetik juga lagi error, makanya gitu sembuh baru mulai nulis lagi :'(

mungkin bakal lama apdetnya, soalnya author masih masa pemulihan, tapi diusahain buat tetep apdet secepatnya yak :')

always say thanks buat yang tiap hari menanti apdet, yang dengan baik hati ngasih vomment, kalian punya andil besar buat aku terus nulis cerita ini :)

see ya next chapt, fellas.. ;)

The EngagementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang