Part 18 : A Piece Of Memories (2)

801 36 4
                                    

Many years before...

Wanita berambut coklat gelap itu duduk ditepi ranjang. Tubuhnya yang kecil dan kurus nampak rapuh. Matanya yang biasanya bersinar hijau kini nampak redup dan sayu, senada dengan lingkaran hitam disekitar kelopaknya. Sisa airmata yang mengering masih membekas dipipinya yang mulus. Wajah putih cantiknya tak lagi tersenyum. Sudah hampir 8 tahun berlalu, dan sudah sebegitu lamanya senyuman itu menghilang dari wajahnya.

"Mom...? Mom...?!?"

Seorang anak lelaki kecil berjalan memasuki kamar, menggenggam sebuah apel yang masih segar. Wanita yang dipanggilnya ibu pun menoleh, menatap putranya masih tanpa ekspresi.

"Aku membawakan buah apel kesukaan Mommy. Mrs. Morgan memberiku beberapa apel sebagai ucapan terimakasih karena aku membantunya membersihkan pekarangan. Ini musim gugur dan udara diluar sangat dingin. Mom pakai baju yang hangat ya biar tidak kedinginan."

Bocah kecil itu mendekat, menarik tangan ibunya dan meletakkan apel itu dalam genggaman tangannya. Senyuman gembira terukir diwajahnya, tidak peduli walaupun sang ibu masih tidak bergeming.

"Aku akan istirahat dikamarku. Panggillah aku bila Mom perlu sesuatu ya."

Bocah lelaki kecil itu berjalan meninggalkan kamar ibunya. Dia kembali ke kamarnya, menutup pintu dan berjongkok sambil memeluk lututnya. Airmata meleleh membanjiri pipinya yang tirus dan memerah. Bocah itu berusaha menahan isakannya agar tidak terdengar nyaring hingga keluar kamar.

"Mom.. mengapa sampai sekarang kau tidak juga tersenyum padaku...?"

Mendengar suara langkah kaki mendekat dari kamar ibunya, anak itu perlahan merangkak menuju tempat tidurnya. Dia lantas membaringkan tubuhnya, menyelimuti dirinya sendiri dan memejamkan mata. Tak lama setelahnya, sang ibu masuk ke kamar. Dia mendekat dan duduk ditepi ranjang, memperhatikan wajah anaknya yang terpejam, dan menyeka sisa airmata dipipi putra kecilnya.

"Maafkan Mommy, sayang. Maafkan Mommy..."

Wanita berambut coklat itu terisak perlahan. Hatinya tentu saja tercabik-cabik tiap kali melihat putra semata wayangnya itu. Dia masih seorang ibu, dan tentu saja dia juga mencintai putranya. Tapi kenyataan bahwa putranya itu mewarisi darah lelaki yang dicintainya, membuat luka hatinya yang belum pulih sepenuhnya, kini kembali berdarah dan menganga.

Putranya Jullian, mewarisi hampir 80 persen kemiripan dengan ayahnya. Mata coklat hazelnya yang tajam, alis tebal yang tegas, bahkan senyum menawan yang selalu mampu meluluhkan hati siapapun yang melihatnya. Baginya, kehadiran anak itu adalah alasan mengapa pria itu pergi meninggalkannya.

"Bila akhirnya aku tau dia akan meninggalkanku, harusnya kau tidak perlu lahir Jullian..."

Wanita itu berjalan keluar dan menutup pintu, meninggalkan putranya yang kembali terisak pelan setelah mendengar kalimat terakhir ibunya.

***

- Alesia's POV -

Jullian bertingkah yang tidak biasa semalam. Lelaki arogan yang biasanya sangat kaku dan dominan itu ternyata punya sisi rapuh yang tidak kuduga. Masa lalunya tentu sangat menyakitkan. Aku tidak bisa menduga apa yang terjadi hingga dia berakhir di panti asuhan. Tapi, sungguhkah dia sebegitu tidak dicintainya...?

Jullian sudah kembali ke kamarnya saat aku terbangun tadi pagi. Selesai mandi, aku segera berpakaian. Aku menyisir rambutku, mengikatnya tinggi dan bergegas keluar kamar untuk sarapan.

"Selamat pagi Nona..."

Aku terlonjak kaget ketika melihat Sean muncul didepan kamarku. Wajahnya nampak ramah meski tanpa ekspresi. Sedang apa dia pagi-pagi begini didepan kamarku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The EngagementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang