- Alesia's POV -
Aku baru saja selesai merapikan pakaianku kedalam koper ketika smartphone yang kuletakkan diatas meja berdering. Aku melirik, sedikit mendengus melihat nama pemanggil yang muncul. Dengan malas kugeser icon hijau dilayar dan menempelkan benda tipis itu ke telingaku.
"Kau sudah selesai mengemasi pakaianmu?"
Dia punya indera keenam ya? Kenapa setiap hal yang kulakukan dia selalu menebak dengan benar? Aku celingukan menatap sekeliling kamarku. Tidak mungkin kan dia memasang kamera disini?
"Yeah, semacam itulah. Ada apa?"
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bersiaplah."
Dia menutup telepon begitu saja, tepat ketika aku membuka mulut untuk membantah. Dasar pemaksa!
Aku mengambil sweater coklat yang kusampirkan di sofa kamar dan berjalan keluar. Memangnya dia mau mengajakku kemana pagi-pagi begini?
Aku menuruni anak tangga teras dengan pelan saat kulihat Jullian menutup kap mobilnya. Celana hitam selutut dengan kaos putih body fit berkerah, entah kenapa Jullian terlihat berkali lipat lebih tampan hari ini.
"Mau kemana kita sepagi ini?"
Jullian mengangkat alisnya saat melihatku. Matanya meneliti dari ujung kaki hingga kepalaku. Aku melotot setengah risih dengan tatapannya. Apa-apaan lelaki mesum ini menatapku seperti itu??!
"Kau tidak pakai baju hangat? Disana nanti udaranya akan dingin."
"Aku sudah bawa sweater. Kurasa itu sudah cukup mengingat betapa panasnya negara ini."
Jullian terkekeh kecil kemudian mengangkat bahu dengan santai. Dia kemudian membuka pintu mobil dan menyilakanku masuk.
***
Aku menatap kagum pada pemandangan didepanku. Hamparan kebun teh yang hijau menyejukkan tersaji sepanjang mata memandang. Bau basah dedaunan teh menyatu dengan kesejukan udara khas perbukitan. Aku berlarian diantara pepohonan teh dengan gembira. Dari jauh Jullian ikut tersenyum lebar melihat tingkahku.
"Kau senang?"
Jullian menatapku dibalik kacamata hitamnya. Aku mengangguk antusias.
"Harusnya dari kemarin lalu kau mengajakku ketempat ini. This place feels like heaven."
"No, it's not heaven. You should die first to know how heaven looks like."
"Gah, whatever. I love this place. Aku tidak menyangka masih ada tempat seperti ini didekat Ibukota."
Jullian tertawa sambil mengikutiku yang berlarian kecil diantara pepohonan teh yang rimbun. Tanganku terentang menyentuh pucuk-pucuk teh yang masih basah karena embun. Walau hari sudah semakin siang, udara disini masih tetap sejuk dan lembab.
"Hey kitty, say 'cheese'...!"
Aku menoleh pada Jullian dibelakangku. Ditangannya tergenggam kamera digital yang sedari tadi mengait di lehernya. Sesaat kemudian dia menurunkan kameranya dan melirikku dengan senyuman semanis gula.
"Apa hasilnya bagus?"
Jullian mendekat, menunjukkan hasil jepretan kameranya. Dia punya kemampuan memotret yang cukup baik rupanya. Berbagai ekspresiku diam-diam berhasil diabadikan dengan sempurna.
"Ayo ambil foto bersama."
Sebelum aku mampu menjawab, Jullian sudah lebih dulu menarikku erat dalam pelukannya. Jullian memposisikan wajahku didekat dada bidangnya, dengan sebelah tangannya merangkulku mesra. Lagi, aroma maskulinnya mendominasi paru-paruku. Aku berusaha tersenyum natural kearah kamera ketika sebelah tangan Jullian yang lainnya dengan cekatan menekan tombol shutter.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Engagement
RomancePernikahan harusnya menjadi hal yang sakral dan penuh cinta, tapi tidak bila pernikahan itu atas dasar perjodohan. Dan lebih gila lagi, bila harus dijodohkan dengan saudara angkat yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Akankah pernikahan itu bisa mem...