Bagian 3

188 17 20
                                    

Jalanan yang semula beraspal kini menjadi tanah berumput. Area sekitar dikelilingi oleh perkebunan Tebu menambah tenang suasana, tapi itu tidak berpengaruh oleh Adi dan Paman Ehsan yang masih bersedih karena kehilangan orang terkasih. Kini mobil berhenti di depan rumah kayu bertingkat satu khas pedasaan, dengan garasi di sebelah kanannya.

Adi dan Paman Ehsan membuka pintu dan keluar dari mobil.
"Kau tunggu disini, Paman akan ambil cangkul," cegah Paman Ehsan sebelum berjalan menuju rumahnya, sementara Adi menunggu dengan bersandar di pintu mobil. Beberapa menit kemudian Paman Ehsan keluar dengan tangan memegang cangkul. "Bawa jasad Ibumu."

Dengan tegar Adi membuka pintu kemudian membopong jasad Ibu Lina hingga mereka berdua berjalan ke sebelah kanan garasi dimana hanya ada tanah kosong. Sesampainya disana Paman Ehsan mulai menggali tanah, Adi dengan sabar menunggu Paman Ehsan menggali.

Matahari mulai condong ke Barat. Setelah lama menunggu Paman Ehsan memanggil Adi yang tengah terduduk sambil memangku jasad Ibunya, "Di, Mana jasad Ibumu?" Adi kembali membopong dan memberikannya pada Paman Ehsan. "Nih, Paman."
Paman Ehsan keluar dari galian lalu menutup galian itu bersama jasad Ibu Lina.

Tiga puluh menit berlalu, makam Ibu Adi telah terbuat tapi tidak memiliki batu nisan. Paman Ehsan tiba-tiba berjalan menuju rumahnya. "Paman?" sahut Adi.
"Kau tunggu disitu saja," suara Paman Ehsan terdengar jauh dari Adi. Kembali, Adi harus bersabar menunggu Paman Ehsan yang sepertinya melupakan sesuatu.

Hingga tidak lama Paman Ehsan membawa satu tongkat Bisbol serta topi bertuliskan Yankees berwarna putih. "Dia dulu menyukai dunia Bisbol hingga memiliki benda ini," Paman Ehsan lalu memberikan pada Adi.
Senyuman Adi telah nampak. "Iya aku tahu, Ibuku juga kadang-kadang berbicara tentang masa lalunya yang penyuka Bisbol."
Adi lalu menancapkan tongkat Bisbol dan menaruh topi di depan makam Ibunya.

Setelah selesai, Paman Ehsan lalu menyuruh Adi memasukan mobilnya kedalam garasi rumah. "Hari mulai malam, masukan mobilmu digarasi Paman."
Adi lalu berjalan menuju mobilnya sementara Paman Ehsan mulai membuka pintu garasi yang melipat ke atas. Setelah membuka garasi Paman Ehsan menaikkan jempolnya "Oke."
Adi yang didalam mobil mulai mengendarai masuk kedalam garasi.

Mobil Camaro kini dihiasi cat merah darah telah terparkir dalam garasi. Adi keluar bersama tas ransel yang ia pegang. Paman Ehsan membuka sebuah pintu kayu dipojok ruangan, mereka berdua lalu masuk ke ruangan lain.

Sebuah ruang tamu sederhana begitu memikat mata Adi. Semua nyaris serba kayu kecuali lantai berkeramik cokelat krem. Seperti ruang tamu pada umumnya, terdapat Tiga kursi kayu yang berbantal, Satu di antara memanjang dan lainnya melilingi setengah meja kayu berkaca.
"Paman, bukannya dulu ada tv?" tanya Adi masih di ambang pintu.
Paman Ehsan melirik ke atas. "Oh itu, sekarang Paman punya ruang khusus untuk berkumpul di belakang ruang tamu. Makanya Paman pindahkan tv itu." Paman Ehsan berjalan menuju dapur di kiri ruang keluarga. "Paman masak mie goreng ya."
"Oke." Sahut Adi berjalan menuju kursi panjang.

Adi mulai melemaskan otot dan pikirannya di kursi panjang depan meja, Ia bersandar kemudian merentangankan tangan mengikuti panjang kursi diatasnya. Adi melihat lampu di atas, Ia tidak habis pikir dengan keadaan yang kini terbalik seratus delapan puluh derajat.

Hingga sesaat lamunan Adi buyar karena Paman Ehsan menyentak Adi, "Jangan melamun. Nih, Paman bawa mienya."
Paman Ehsan membawa dua mangkuk mie, dua gelas air dan satu teko perak di atas nampan. Paman Ehsan lalu membagikan mie dan gelas pada Adi, setelah itu mereka menyantap bersama.

Selesai menyantap makanan Adi melihat jam yang tertempel di dinding depannya. Jam tujuh malam, Adi mulai membuka suara. "Jadi, apa yang kita lakukan selanjutnya?"
"Tidur," sahut Paman Ehsan menumpuk mangkuk.
Adi tersenyum nyinyir walau matanya masih menatap jam. "Yeh, aku juga tau itu Paman. Maksudku apa besok kita mencari tempat pengungsian? Bagiku itu pilihan terbaik."

Biter: Dead JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang