Bagian 4

168 14 0
                                    

Terik Matahari makin menjadi, kini Adi dan Paman Ehsan berada di belakang rumah yang berdekatan dengan hutan di depannya. Sebuah motor sport pabrikan Jepang yang terparkir mulai dipinggirkan oleh Paman Ehsan. Setelah itu, Paman memulai pelatihan senjata.

Paman Ehsan mulai mengajari cara menembak dengan senjata P-90 yang ia pegang. Adi begitu tenang mendengar instruksi dari Paman Ehsan walau terkadang sambil memeragakan dengan tangan kosong. Selesai instruksi Paman Ehsan mulai memberikan P-90 pada Adi.

"Tembak Tokek disana," Paman Ehsan menunjuk sebuah pohon didepan. Tapi Adi masih mencari letak Tokek itu. "Mana Paman?"
Paman Ehsan mendekat pada Adi dan menunjuk lebih jeli. "Itu disana."
Adi yang sudah melihat kemudian mengeker dengan teropong P-90.

Suara tembakan langsung terdengar diikuti jatuhnya Tokek yang merayap di pohon.
Paman Ehsan meminta senjata AUG yang Adi selempangkan di belakang punggung. "Oke, sini AUGmu.. Paman ajari lagi yang AUG."

Paman Ehsan yang menukar senjata P-90 dengan AUG kembali menjelaskan cara menggunakan senjata AUG walau lebih sedikit karena sudah dijelaskan pada senjata P-90.
Sehabis itu, Paman Ehsan memberikannya lagi pada Adi. "Semua senjata api itu sama, yaitu menarik pelatuk hingga peluru keluar melesat cepat. Tapi tetap ada perbedaan seperti jenis senjata, cara mengisi ulang senjata atau reload, banyak peluru di senjata itu, dan lain-lain."

Karena berat,Adi menaruh P-90 ke tanah. Kemudian AUG yang dipegang mulai membidik sebuah sasaran di satu pohon lainnya. "Ajari aku melempar sehebat Paman dong.."

Paman Ehsan mengeluarkan golok dari pinggangnya kemudian melempar cepat ke sebuah pohon yang sedang dibidik Adi. Sedetik kemudian terdengar suara jatuh dari atas pohon. Adi langsung cepat menoleh ke Paman Ehsan dengan mulut terbuka seperti tidak percaya.

"Apa yang diajari oleh pihak militer sebelum Paman pensiun menjadi pasukan khusus Tentara Nasional?" Adi bertanya penuh kekaguman.
Paman Ehsan sedikit tertawa berjalan mengambil golok dan targetnya, yaitu tikus pohon yang telah terkapar di tanah. "Lebih tepatnya pemimpin pasukan khusus Angkatan Laut. Kalau yang ini Paman belajar sendiri."
Paman Ehsan berjalan menuju Adi. "Memang di militer dulu ada teknik melempar pisau, tapi karena bosan. Paman mulai bereksperimen dengan golok."
Adi menganga. "Hah? Ya sudah, ajari aku yang pisau saja, masa iya aku melempar dengan Katana."
Paman Ehsan tersenyum tipis, "Dasar. Baiklah, ambil pisaumu, Paman ajari lagi soal melempar pisau."

Paman Ehsan mulai memegang kedua tangan Adi, "Telunjukmu lurus pada gagang, jempol dan jari lainnya menjepit di sisi gagang."
Setelah itu Adi mulai melempar pada batang pohon sebagai target.
"Lempar sekencang-kencangnya dengan pisau menerjang lurus ke depan."
Paman Ehsan melepas pegangan, sedetik kemudian Adi melempar pisau belati ke arah batang pohon.
Lemparan pisau begitu lurus sampai akhirnya menghujam batang pohon.
"Bagus.. lanjutkan, Di."

Adi terus berlatih melempar pisau diselingi menembak dengan AUG. Tidak terasa latihan bersama memakan waktu sampai sore, Paman Ehsan lalu menyudahi latihannya. "Latihannya cukup Di, hari sudah sore."
Adi sempat ingin melempar pisau tapi akhirnra tidak jadi, Ia langsung berhenti dan memasukkan pada sarung pisau. Setelah itu Adi berjalan bersama Paman Ehsan yang memegang P-90 kembali masuk ke dalam rumah.

Didalam Adi dan Paman Ehsan duduk di ruang tamu.
Adi yang bersandar dibangku panjang mulai bertanya, "Oke, kita akan kemana Paman?"
Paman Ehsan langsung berkata cepat. "Kita akan kembali ke kampung dan mencari informasi disana."

Mata Adi terbelalak dan tubuhnya sedikit mundur. "Hah, kau serius Paman? Aku baca di portal berita online saja asal penyakit ini dari kota Froyer, Paman."
Paman Ehsan mulai memasukan kotak P3K, sebuah hancuk kecil, dan amunisi senjata. "Paman ingin mencari orang yang masih selamat disana."
Adi protes cepat, "Untuk apa, Paman? Kita sudah tau sebab ini berasal dari kota Froyer dan kita tidak perlu mencari orang segala untuk kesana."

Nada Paman Ehsan meninggi, "Memangnya kau mau kesana hanya bersama Paman saja? Ingat, dengan banyak orang yang ikut bersama kita, kekuatan kita makin bertambah dan pencarian makin mudah."
Seperti terkena tamparan dari perkataan Paman Ehsan, Adi hanya bisa terdiam tidak membalas argumennya.
Adi telah tertunduk kembali bertanya, "Paman.. yakin?"
Paman Ehsan dengan gagah membalas, "Iya."
Adi hanya bisa menghembus napas panjang. "Baiklah, besok kita berangkat jam berapa?"
"Jam sembilan pagi, sebaiknya kau persiapkan semua yang dibutuhkan," sahut Paman Ehsan setelah selesai memasukan semua peralatan ke dalam tas ranselnya.

Adi mulai mengeluarkan semua pakaiannya dan menyisakan satu kaus berwarna abu-abu. "Paman, senjata ini tidak bisa dimasukan kedalam tas?" tanya Adi ingin memasukan senjata P-90.
"Oh... itu harus dibongkar dulu, sini Paman bongkar." Adi kemudian memberikan pada Paman Ehsan. Tangan lihai Paman Ehsan langsung membongkar P-90, alhasil dalam tiga menit saja Paman telah membongkar semua bagian senjata. "Tunggu sebentar," Paman Ehsan tiba-tiba meninggalkan Adi ke belakang bersama perintilan senjata P-90 di atas meja.

Tidak lama Paman Ehsan kembali dengan menjinjing tas ransel di punggung serta membawa kotak sedang berwarna hitam, kotak P3K, dan satu plastik berisi amunisi senjata.
"Paman akan masukan semua bagian senjata itu kedalam kotak ini, kau ganti ransel itu dengan ini. Tas ini seperti milik Paman, kau bisa taruh senjata seperti AUG di samping tas tanpa perlu diselempangkan." Jelas Paman Ehsan sambil memberikan tas ransel hitam pada Adi, kemudian Ia mulai memasukan kerangka senjata dengan hati-hati kedalam kotak hitam. Setelah selesai Paman Ehsan memberikan kotak senjata serta kotak P3K pada Adi.

Tas ransel yang memiliki tempat laptop langsung dimanfaatkan Adi untuk menaruh kotak senjata, sementara sisanya di tempat biasa.
"Oh iya, kamu bisa kaitkan tali sarung pedang itu pada ikat pinggangmu. Soal pistol, Paman akan ambilkan sarung pistol yang bisa dikaitkan pinggang sebelah." Jelas Paman Ehsan sebelum pergi mengambil sarung pistol.

Setelah dipersiapkan, Adi mulai mengeluh lapar.
"Paman, masak yang kemaren dong, hehe."
"Baiklah." Suara lantang terdengar dari belakang ruang tamu.
Jam delapan malam. Adi dan Paman Ehsan yang telah makan malam kemudian pergi meninggalkan tas dan senjata masing-masing untuk tidur diatas.

***

Adi dan Paman Ehsan berjalan dengan senjata dan tas masing-masing menuju kebelakang rumah untuk mengendarai motor sport yang dimiliki Paman Ehsan.
Adi tetap mengenakan kaus yang sama, tapi Katana serta pistol telah menempel berseberangan pada ikat pinggang.
"Kenapa tidak pakai mobilku?"
Paman Ehsan bersuara dari balik bahu, "Motor Paman sudah lama tidak dipakai."

Sesampainya di belakang Adi mengingat suatu hal. "Paman.. kenapa kita tidak menamai orang-orang yang terkena penyakit itu?"
Paman Ehsan masih dengan jaket kulit cokelatnya telah menaiki motor, Ia melempar jawaban pada Adi. "Benar juga.. menurutmu apa, Di?"
Adi menyahut cepat, "Bagaimana dengan.. Biter?"
Paman Ehsan mengerutkan dahi, "Maksudmu?"
"Karena cara menularkan penyakit ini dari gigitan manusia, kan. Jadi aku panggil saja Biter, bagaimana?"
Paman Ehsan mengangguk pelan. "Boleh juga. Ayo, cepat naik."
Adi mulai menaiki motor Paman Ehsan kemudian mereka pergi kembali menuju kampungnya.

Biter: Dead JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang