Bagian 10

116 9 0
                                    

Mereka menyeberangi jalan tol, satu Biter terlihat terdiam di pinggir jalan menuju hutan.
Adi yang ingin menembak langsung ditahan Paman yang Ehsan mengambil golok dari pinggang. Adi menyinyir. Paman Ehsan langsung melempar lurus goloknya ke kepala Biter. Biter itu seketika tewas terpental dengan golok menancap pada bagian belakang kepala.

"HAH!" Yuni kaget setelah melihat kemampuan Paman Ehsan melempar goloknya.
"Kenapa Yuni?" tanya Paman Ehsan merendah.
"Itu kan.. golok.. tapi Paman kok bisa.. melempar." Kata Yuni masih kaget.
"Itu adalah teknik melempar pisau, setelah menjadi Tentara Nasional mereka otomatis akan dilatih teknik melempar pisau." Jelad Joe.
"A.. aku tahu, Joe. Tapi Paman, malah melempar golok. Itu juga panjangnya tiga puluh senti ke atas."
Paman Ehsan berjalan mengambil goloknya. "Yah, sekitar empat puluh senti sepertinya," Paman Ehsan menoleh belakang. "Ayo lanjut. Kalau sudah berada disana Paman ajari melempar pisau untukmu, Yuni."

Mereka mulai memasuki hutan. Seperti pada umumnya, banyak pohon rindang yang menutupi sebagian besar sinar Matahari. Joe dan Yuni memimpin jalan, setelah berjalan sekitar seratus meter, Yuni memberi tahu pada Paman Ehsan. "Paman, ini alirannya. Apa ini yang kita ikuti?"
Paman Ehsan maju ke depan melihat aliran itu. "Iya, ikuti saja."
Mereka mengikuti aliran air, makin lama aliran itu membesar. Mereka sampai keluar dari hutan dan di luar mereka menemukan sebuah sungai besar memisahkan ke hutan di depan.
"Paman, kita ke arah mana?" tanya Yuni.
"Kiri."

Mereka mengikuti arah arus sungai. Joe melihat samar sebuah jembatan kayu dari kejauhan. "Ada jembatan."
Mereka mulai mendekati jembatan itu, setelah berada di samping jembatan Adi menoleh ke kiri. Sebuah gerbang baja berwarna hijau tua berdiri kokoh. Adi sontak menepuk pundak Paman Ehsan, "Paman.."
Paman Ehsan menegok ke kiri juga, mata ia terbelalak. "Nah.." semua menengok ke arah Paman Ehsan, "Semua.. kita pergi kesana." Sambung Paman Ehsan seraya menunjuk gerbang hijau di depan.

Paman Ehsan mulai memimpin jalan, sesampainya disana Paman Ehsan berteriak, "Angga.. Kau disitu?"
Tidak lama gerbang bergerak ke samping secara perlahan, terlihat seorang pria dan wanita seumuran Paman Ehsan berdiri di depan.
"Wah, Ehsan.." tiba-tiba pria itu bersuara.
"Angga.." Paman Ehsan datang menyalami dan memeluk Angga Wibisono. "Dan kau? Siena, bukan?"
"Memang memorimu telah rusak.." celetuk Siena.
"Haha, maaf.." kata Paman Ehsan sebelum memeluk Siena.
"Kau darimana, Ehsan?"
"Tol Araza."
Paman Ehsan memperkenalkan semua kelompoknya. "Oh, iya. Di kiri sana itu Adi.. sampingnya Joe, Yuni yang perempuan sendiri, Fahri yang memiliki codet di pipi, terakhir Reza."

Ibu Siena menatap Adi. "Oh. Adi sudah besar." "Perkenalkan, aku Angga Wibisono.. kalian bisa panggil aku Pak Angga atau Paman Angga, sebelahnya ada istriku, Siena Yu."
Bu Siena menyuruh masuk ke dalam. "Ayo masuk.. hari sudah sore."

Saat masuk kedalam Reza berbisik pada Fahri, "Istrinya cantik.. dan
tubuhnya--"
"Hush, kau memang.. kalau ada bening sedikit  diomongin, sekali pun itu sudah berumur. Ingat sama, Mari."
Reza tersenyum lebar. "Hehe.. maaf, Fahri."

Terlihat sebuah rumah yang cukup besar bercat cokelat kehitaman ditambah adanya kandang Kuda di ujung. Ibu Siena membuka pintu rumah, semua lalu masuk ke dalam.
Suasana hangat telah menanti mereka, ruang tamu yang tidak di skat. Tepat di belakangnya satu perapian berdiri di tembok dengan karpet berbulu cokelat di depannya.
"Silahkan duduk.." kata Bu Siena yang setelahnya pergi ke dapur di samping ruang tamu.

Semua duduk di kursi kayu kecuali Joe dan Reza yang harus berdiri karena tidak mendapat tempat.
"Wah, sudah lama nggak kesini. Sekalinya kesini bawa pasukan." Celoteh Paman Angga.
"Bisa saja kau.. Oh iya, kau sudah tau penyakit aneh yang melanda nyaris di seluruh kota ini?" Paman Ehsan mulai membicarakan soal Biter.
"Oh itu, kau tau Ronald teman kita sesama SMA. Dia yang memberi tahuku sesuatu tentang penyakit ini. Semua berasal dari sebuah Rumah Sakit tempat ia bekerja di Kota Froyer. Tapi aku lupa namanya, yang pasti rumah sakit itu punya dua gedung berdampingan."

Adi tiba-tiba mengelak, "Tapi berita yang kubaca lalu malah sebuah gedung di pusat pemerintahan."
Paman Angga diam sejenak, sampai dia mulai berbicara lagi. "Aku juga dapat berita ini, dari sumber yang terpercaya. Karena Ronald berkerja disana."

"Jika begitu, besok kita akan kesana.. bagaimana, Paman Ehsan?" Joe meminta usul.
Paman Ehsan bertopang dagu. "Benar kata, Joe, tapi tidak bisa besok.. minggu depan kita akan kesana."
"Kenapa?" sahut Joe cepat.
"Kita harus persiapkan semua, terutama fisik.. kita juga sudah beberapa hari berkelana dari Desa Iloma, Joe."
"Bukankah lebih cepat lebih baik?"
Paman Ehsan mendengus. "Tanpa persiapan yang matang, itu hanya akan membawa nyawa kesana, Joe. Pertimbangkan, Joe, Paman tidak akan ambil resiko berat seperti tumbal nyawa kesana."

Joe terdiam, Ia tidak bisa memberi argumen lebih.
"Bukan apa-apa, Joe.. ini demi kebaikan kita semua." Tambah Paman Ehsan.
"Baiklah Paman, jika itu maumu.. aku akan tetap bersama, Paman."
"Maafkan Paman, Joe."
Joe tersenyum, "Tak apa, Paman."
Paman Angga berdiri, "Oke.. setelah kawanku datang kesini. Aku akan berburu, ada yang mau?"

***

Paman Angga, Paman Ehsan, Adi, Fahri, Reza, dan Joe telah berdiri di depan gerbang. Paman Angga melihat jam tangannya, "Jam setengah lima sore.."
Seorang pria memekik dari luar, "Pak Angga.. kami dapat Kijang serta Tokek."
Paman Angga berjalan ke samping gerbang dan menekan tombol hijau. Gerbang baja hijau yang sepenuhnya tertutup mulai terbuka. Tiga orang telah berdiri di depan gerbang, satu orang memegang tiga Tokek terikat satu tali dan dua lainnya menggotong Kijang besar.

"Oh iya, Ini teman-temanku. Yang botak megang Tokek itu Alvin, sampinya yang paling pendek Fajar, serta belakang Fajar ada Kevin."
Alvin menunjuk Paman Ehsan dan Adi. "Wah, ada Pak Ehsan dan Dek Adi."
Paman Angga menyuruh teman-temannya masuk, "Ya aku tahu. Kalian istirahatlah, kalau bisa kuliti hewan-hewan itu. Kali ini saya bawa pasukan."
Teman Paman Angga masuk ke dalam. "Semoga sukses, Bos." kata Kevin setelahnya.

Mereka keluar dari gerbang yang telah tertutup. Paman Angga mulai memandu berburu. "Oke.. kita kali ini tangkap satu Kijang juga, satu Kelinci Hutan, dan satu Tikus Pohon. Kalau beruntung, kalian bisa bertemu Komodo atau Kucing Hutan berukuran sekitar dua meter. Jangan sampai terpisah dari kelompok. Kalau tidak mau mati oleh ganasnya satwa disini.."
Paman Ehsan berbisik sebelah Paman Angga, "Ini belum apa-apa ketimbang Hutan Rilod."
"Jangan disamakan dengan hutan yang memakan satu nyawa setiap tahunnya," Paman Ehsan bersuara lantang, "Berangkat."

Biter: Dead JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang