Bagian 15

86 5 0
                                    

Semua keluar dari mobil Van. Berjalan menuju depan pintu apartemen tua, Fahri bersama Karina memimpin jalan, Juan bersama Emy, terakhir ada Reza dengan Yuni.

Karina membuka pintu, ruangan begitu gelap hingga Fahri, Reza, dan Yuni menyalakan lampu senter. Ruang lobi trlah dilewati menuju atas, mereka terus berjalan mengikuti arah Karina sampai akhirnya berhenti di lantai dua. Karina sedikit bingung, Ia mulai berteriak memanggil. "Bibi May.. Rayhan.. Lu."

"Apa yang kau lakukan?" bisik Fahri.
"Setauku, beberapa pintu kamar di lantai ini terbuka. Tapi kali ini malah sebaliknya."
Fahri diam tidak membalas. Sedetik kemudian pintu paling ujung kiri tiba-tiba terbuka.

Ekspersi kaget cepat nampak, sontak semua mengarahkan senjata mereka ke pintu itu. Mereka perlahan berjalan ke sana, saat di ambang pintu Fahri berserta Reza mulai masuk menyusuri ruangan.
Namun, tidak ada seorang pun di dalam.

"Siapa kalian?" Pekikan remaja lelaki terdengar dari tangga ujung sana.
Semua menengok, Karina mengamati lelaki itu. Dan Karina berkata, "Lu!"

Fahri dan Reza keluar dari ruangan, mereka kemudian berkumpul di depan pintu.
"Lu!" Lina memeluk Lu sangat bahagia.
"Kau baik-baik saja, Kak?"
Karina meneteskan air mata. "Iya, Lu."
"Sebentar.." Reza mulai penasaran, "Kau memang darimana?"
"Dari belakang menemani ibuku sebentar."
Reza cepat menunjuk pintu. "Tapipintu itu.."

Seketika pintu berkayu yang ditunjuk Reza menutup sendiri, perlahan. Sampai terdengar suara pintu mengunci.
Semua yang melihat tadi menjadi diam, dan berjalan cepat menuju tangga.
"Ayo, Fahri turun!"
"Sebentar, tangganya kecil!"
"Kak, aku takut!"
"Kak Juan juga sama."
"Ya ampun, ya ampun!"

Mereka bergegas turun menuju lantai dasar di tengah ruang lobi.
"Apa disini tidak ada hal-hal mistis lagi?"tanya Reza yang entah mengapa terengah-engah.
"Aku tidak tahu." sahut Lu.
"Itu tidak penting, sekarang Lu. Dimana yang lainnya?" tanya Karina selanjutnya.
"Semuanya sudah mengungsi di pengungsian Kota Veis saat Kakak disandera."
"Kenapa kau tidak ikut?"
Lu menunduk. "Aku menemani ibuku, Kak."
Yuni kemudian bertanya pada Lu. "Dimana ibumu?"
Lu sontak pergi dan semua mengikuti dari belakang.

Ruang lobi berganti oleh sebuah halaman berumput dengan satu wanita terikat di pagar belakangnya. Gerak-geriknya begitu agresif, dengan erangan yang tidak jelas.
Semua tersentak.
"Tidak mungkin!" Karina kaget hingga menutup mulutnya.

Ibu Lu telah menjadi Biter yang terikat pada pagar.
"Kenapa bisa?" tanya Reza cemas.
"Ibuku terkena gigitan sebelum menaiki truk terakhir, ibu sebenarnya sudah memerintahkanku untuk membunuhnya. Tapi  tanpa berpikir panjang aku membawanya kesini, dan mengikat kedua tangannya di sana. Walau ibuku sebenarnya tidak rela, tapi aku tidak bisa membunuh ibuku." Jelas Lu menunduk muram.

Reza tertegun, Ia mulai berjalan memegang erat senjatanya. Sampai saat di depan ibu Lu yang menjadi Biter.

Reza menembak dahi ibu Lu dengan AK-47 miliknya. Lu mebelalak, air mata mulai keluar. "Kau membunuh ibuku!" Lu bersuara kencang.
Lu sempat berjalan, tapi satu tangannya langsung dipegang Fahri. Lu menengok cepat ke belakang, Fahri seketika memeluk Lu.
"Menangislah, Lu!"

Lu mulai meronta sekuat-kuatnya, Ia selalu menyebut nama Ibu.
Reza berjalan menghampiri Lu hingga Ia mengusap kepala Lu. "Tenanglah, ibumu sudah bahagia disana. Sekarang, kita harus pergi dari sini."
Lu hanya mengangguk sambil mengusap pipinya.

Semua berjalan keluar, menaiki mobil Van. Namun, mereka serempak mengekok ke lantai tiga dimana pintu itu tiba-tiba menutup.

Sesosok wanita muda berpakaian zaman kerajaan eropa menatap mereka dari balik kaca, kemudian menyeringai memunjukkan semua gigi taringnya.
"Itu!"
"AAA!"
"Semuanya masuk!" pekik Juan setelahnya.

Emy berlari menuju depan mobil. Yuni dengan cepat membuka pintu. Semua telah masuk kedalam.
Juan mulai menyalakan mobil, tapi tiba-tiba tidak bisa.
Emy menoleh ke jendela Juan.

Wanita itu berdiri tepat di depan pintu. "Kak!" pekik Emy karena panik.
Juan menoleh ke sampingnya, wanita itu mulai berjalan pelan menuju mobil. "Nyalakan mobilnya, Juan!" Karina juga panik.
Mobil telah menyala, Juan langsung melajukan mobil dengan kencang meninggalkan apartemen.

"Gila! Itu siapa Juan? Aku memang suka dengan film horror. Tapi barusan itu.." Ujar Yuni masih takut.
"Aku tidak akan lagi menonton film horror." Keluh Reza.
"Yang penting kita selamat, oke." Sahut Juan.
Karina menoleh pada Fahri. "Kita mau kemana sekarang?"
"sudah pasti, Kota Veis." sahut Fahri.

***
Paman Ehsan terus mensgendarai mobil hingga pagi pun datang.
Paman Ehsan menguap panjang sampai Adi terbangun dari tidur. "Paman.. mau gantian?" tanyanya setelah menguap di awal.
"Boleh.."

Mobil berhenti dipinggir jalan, Adi menjadi supir menggatikan Paman Ehsan.
Mobil kembali melaju, di belakang Joe mulai terbangun, Ia mengusap muka kantuknya agar tersadar. Jalanan kali ini benar-benar sepi, tidak ada mobil maupun Biter terlihat.

Joe sesaat menghela napas. "Akhirnya, sesaat aku bisa merasakan ketenangan."
Setelah itu mobil berbelok kekiri, Joe heran dan mengetuk kaca belakang.
"Paman--oh Adi, ada apa?"
"Bensin tinggal sedikit." Seru Adi.

Mereka akhirnya sampai di Pom Bensin daerah bernama Majalaya. Paman Ehsan keluar mengisi bensin, mereka suntuk menunggu.

"Tolong!" teriakan lelaki kencang berasal dari jauh samping mobil.
Joe, Adi, serta Paman sontak menoleh.
Satu remaja lelaki berlari cepat. Di saat itu juga mereka berlari mengejar remaja itu.
"Paman tidak mau terulang lagi ke tiga kalinya!"

Bayang kerumunan Biter mulai terlihat jelas dari belakang. Paman Ehsan yang telah sampai langsung berada di belakang tubuh remaja itu menembak kawanan Biter.

"Lari cepat!" pekik Paman Ehsan seketika.
Joe membopong remaja itu berlari menuju mobil, sementara Adi membantu Paman Ehsan.
Paman Ehsan terus menembak dan Adi kembali menebas dengan Katana kesayangannya.

Namun, di saat tengah menembaki para Biter, peluru Paman Ehsan habis. Satu Biter dengan cepat menyergap tangan Paman Ehsan, dan menggigit sela jempolnya.

Adi langsung menebas kepala Biter. "Lari, Paman!"
Paman Ehsan lari sembari merintih kesakitan. Adi mulai menembak beberapa Biter dan kabur.
Joe mencopot selang bensin dan menjadi supir, Lelaki itu di sampingnya, dan Paman Ehsan di bak belakang.
Adi melompat ke atas bak.
"Joe, jalan." Perintah Adi setelah di atas.
Mobil kemudian melaju meninggalkan Pom Bensin dengan satu penumpang baru.

Adi mengambil kotak P3K dari tas dan mengobati luka gigitan Paman Ehsan. Paman Ehsan merintih sesaat.
"Diamlah, Paman. Aku masih mengobati luka, Paman." Adi mulai cemas.
Paman Ehsan setengah tersenyum. "Bunuhlah, Paman."
Adi benar-benar tercengang, mulutnya membeku beberapa detik. "Ke.. kenapa?"
"Karena Paman telah tergigit."

Sontak Adi mengambil pistol juga Hp. Ia melihat jam hpnya, setengah sembilan pagi. Adi langsung menodongkan pistol tepat di dahi Paman.
Wajah Adi mulai pucat. "Jika.. jika dalam 5 menit Paman tidak berubah. Aku akan bunuh."
"Bunuh, Paman. Sekarang!" bentaknya.
"Tidak.. aku tidak akan membunuh Paman sebelum Paman berubah!"

Di depan, lelaki itu murung, menunduk ke bawah penuh gundah. Joe mulai berbicara pada dia.
"Hey nak, kau tidak apa-apa?"
"Maafkan.." Lelaki itu mulai menangis. "Maafkan aku karena seperti ini, lebih baik aku mati saja."
"Ya.. ini semua salahmu."
Lelaki itu tertegun.
"Jika kau ingin menebus kesalahanmu, bergabunglah dengan kami." Sambung Joe.
Lelaki itu mengusap air matanya. "Apa ini cara menebusnya?"
Joe menangguk penuh percaya diri.
"Baiklah. Aku siap."

Di belakang Adi terus memegang hp dan pistolnya, sedangkan Paman Ehsan hanya duduk diam.
Tidak ada reaksi seperti pada Andi sampai 4 menit setelahnya. Adi nampak heran, pada menit kelima, tidak ada perubahan ekstrem pada Paman Ehsan.
"Sudah berapa menit?" tanya Paman Ehsan tiba-tiba.
"B.. Baru dua menit," sahut Adi.
"Jangan bohong, sekarang menit ke tujuh bukan?"
Adi menelan ludah pahit. "Iya."
Sebuah portal telah dilewati, Adi bersama Paman Ehsan menengok ke samping.

Terlihat papan bertuliskan: SELAMAT TINGGAL KOTA FROYER.

Adi dan Paman Ehsan saling menatap, kemudian merekabmengisi ulang senjata masing-masing.
"Kalau bisa, kau berikan P-90 itu pada lelaki sana." Ujar Paman Ehsan yang mengisi ulang amunisi.
"Bagaimana kalau dia tidak mau?"
Paman Ehsan mulai tersenyum. "Coba saja. Dan jika Paman meninggal, berikan kunci motor dan golok pada Istriku."

Adi mengangguk lesu. "Baik, Paman."

Biter: Dead JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang