Bagian 17

96 5 0
                                    

Joe mencari sebuah rumah setelah bergerak dari perempatan jalan karena siang telah datang. Mobil akhirnya terparkir di depan satu rumah dekat dari gapura besar.
Semua turun dari mobil, Adi memanggil lelaki itu.
"Siapa namamu?"
"Tara," sahut cepat lelaki itu.
Adi menghampiri Tara. "Kau ingin ikut bersama kami?"
"Dia mau," jawab Joe mencoba membuka pintu rumah berwarna hitam.

Adi menganga. "O.. oke." Kemudian Adi mulai membuka tasnya. "Aku punya satu senjata untukmu. Tapi ini harus dirakit lagi."
Paman Ehsan menepuk pundak Adi dari belakang. "Aku rakit ini, sekalian mengajari dia menembak. Kau bantu Joe membuka pintu."

Pintu yang terkunci terpaksa dibobrak oleh tendangan Joe dan Adi. Suara benturan keras terdengar diikuti pintu telah terbuka.
Ruang tamu di dalam ternyata cukup rapi. Joe mulai masuk, disusul Adi, dan Paman Ehsan bersama Tara.

Joe duduk diatas sofa panjang berwarna kuning, Adi berjalan menyusuri seluruh ruangan.
"Adi, mana kotaknya?" panggil Paman Ehsan.
"Oh, iya." Adi mengambil kotak senjata P-90 dari tas, kemudian memberikan pada Paman Ehsan. "Nih."
Selanjutnta Paman Ehsan mulai merakit senjata di atas meja kaca, sedangkan Tara mengamatinya dari samping.
"Besok, kita baru berangkat." Ujar Paman Ehsan sembari merakit.
"Iya, aku juga lelah belum tidur." Aku Adi.

Suara dengkuran keras mengagetkan Paman Ehsan, Adi, serta Tara. Mereka sontak menengok ke Joe.

Mulut terbuka lebar, salah satu kaki di atas sofa, suaran dengkuran keras keluar dari mulut, Joe benar-benar tertidur lelap di atas sofa.
Adi sempat ingin mendekati Joe.
"Jangan, Di. Biarkan dia beristirahat." Tegas Paman Ehsan.
"Hehe.. baiklah." Adi lalu pergi ke belakang ruang tamu.

Beberapa menit kemudian Paman Ehsan selesai merakit senjata FN P-90, Ia sesaat mencoba membidik.
Tara menunjuk senjata yang dipakai Paman Ehsan. "Itu, senjata apa?"
Paman Ehsan melihat senjata yang Ia pegang. "Oh, laras panjang ini namanya FN-90. Buatan Belgia, termasuk kategori SubMachine Gun atau Pistol Mitraliur. Memiliki 50 peluru dalam satu amunisi, berat 3 kilo jika amunisi peluru dimasukkan."
"Oh, boleh saya coba?"
Paman Ehsan mengisi peluru senjata dengan cara amunisi dimasukkan dari atas. "Kita istirahat dulu, nanti sore kita bisa coba."

Adi kembali berjalan menuju ruang tamu, gelas kaca berisi air putih dipegang tangannya. Terlihat Paman Ehsan serta Tara tidur di sofa pendek, Adi lalu duduk di depan meja. Secara perlahan Adi merebahkan badan tepat di atas lantai, tidak lupa tangan yang direntangan.
"Ah..."
"Kenapa kau?" sahut Paman Ehsan.
Adi terdiam sesaat. "Paman, masih sehat, kan?"
Paman Ehsan menatap atas, "Masih. Oh iya, Di."
"Iya?"

Paman Ehsan yang terduduk menoleh ke wajah Adi begitu serius. "Jika Paman berubah, kalian bertiga harus bunuh Paman."
Wajah Adi menegang. "Paman yakin?"
"Yah.. Panji, putra sulung Paman sudah tiada. Yang tersisa hanya Julia, Putri Paman dan Nina, Istri Paman."
Adi kali ini terdiam tidak menyahut perkataan Paman Ehsan.
"Adi?"
Adi memalingkan wajah dan tertelang di lantai. "Aku ingin tidur."

***

"Tara, kau sudah mengerti kan cara menggunakan senjata ini?"
Tara mengambil P-90 dari tangan Paman Ehsan. "Seperti ini?" sahut Tara sambil memeragakan.
Paman Ehsan mengeluarkan satu Revolvernya. "Iya.. oh iya, Tara. Kau bisa miliki Revolver ini jika Paman sudah tiada, Oke."
Raut wajah kebingungan terlihat pada Tara. "Maksud, Paman?"

Joe bersama Adi berjalan menuju mobil pick-up, Joe tetap menjadi juru kemudi sedangkan Adi berada di belakang.

"Ayo, Pagi makin menipis." Seru Joe pada Paman Ehsan.
Paman Ehsan bersama Tara mulai berjalan dan menaiki mobil pick-up. Tara duduk di depan mendampingi Joe.
Mobil telah dinyalakan, kemudian bergerak melewati jalan yang sama.

Biter: Dead JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang