#4

100 10 0
                                    

Adeera POV

Gue memandang sekeliling dengan malas. Kantin yang penuh dengan siswa-siswi yang berebut makanan bahkan gak bisa bikin gue beranjak dari tempat ini dan nyari tempat lain yang lebih sepi. Tadi abis ada rapat osis sebentar dan dengan pertimbangan matang seperti faktor mood dan lainnya, gue memutuskan buat gak balik ke kelas dan duduk di kantin. Sebelumnya kantin keliatan sepi dan gak serame sekarang, makanya gue pilih di sini. Tau gitu tadi gue nyari tempat lain.

Tiba-tiba handphone gue bergetar menandakan bahwa ada panggilan masuk. Tertera nama Bagas di sana. Setelah agak lama, akhirnya gue memutuskan buat ngangkat panggilan telfonnya.

"Dee?" panggil Bagas lembut dari ujung sana. Bukannya menjawab, gue malah ngangkat kepala dan bergerak menatap ke sekeliling. Dan tepat, Bagas di sana. Berdiri dengan gagahnya di pintu masuk kantin. Dengan seragam yang agak berantakan, dia bahkan tetep keliatan tangguh dari sini. Walaupun ada memar di wajahnya, tapi...

Tunggu...

Memar?

Gue mengernyitkan alis bingung. Dengan langkah pasti gue berjalan keluar kantin dan melewati Bagas.

**

Gue dan Bagas masih berada dalam diam di taman belakang sekolah. Gak ada satu kata pun yang keluar dari mulut kami masing-masing. Yang berbicara hanya mata yang terus bertatapan sejak tadi.

"Gue udah peringatin jangan berantem," ucap gue akhirnya.

"Sorry , gue lupa ngasi tau kalo gue gak bisa jemput," jawab Bagas. Jawabannya bahkan gak ada nyambung-nyambungnya sama ucapan gue.

"Gue bilang gue udah ingetin lo buat jangan berantem lagi," ucap gue tetap. Gue udah pernah bilang gini sama Bagas sebelumnya, di masa-masa yang dia suka banget ikut tawuran. Gue gak bisa pungkiri kalo Bagas emang jago berantem, tapi sejago-jagonya Bagas tetep aja kita gabisa mastiin Bagas bakal baik-baik aja sehabis tawuran.

Dan itu terjadi sekali.

Ngeliat Bagas berlumuran darah dan memar di sana-sini buat gue marah, sedih, kesel, kecewa, semuanya.

"Cuman berantem kecil," jawab Bagas akhirnya.

"Tapi tetep aja itu namanya berantem."

"Dee, gue itu bukan anak kecil lagi–"

"Gue tau lo udah gede. Makanya itu, karena lo udah gede, harusnya lo bisa bedain mana yang baik mana yang engga," ucap gue hampir berteriak.

"Coba lo bayangin, gue, cewek lo, berantem sama anak SMA Pelita. Coba rasain gimana khawatirnya perasaan lo pas tau gue ngelakuin hal yang bahaya banget," sambung gue.

"Atau...," gue berkata lirih "lo emang gak pernah khawatir sama gue?"

**
Kring kring kring

Suara bel pulang sekolah akhirnya bunyi juga, tanpa menunggu lama gue langsung masukin buku ke dalam tas dan bergegas pergi ke luar kelas. Gue langkahkan kaki menuju gerbang sekolah dengan agak sedikit cepat.

"Dee!" gue berhenti jalan dan menoleh ke arah sumber suara saat mendengar seseorang memanggil. Gue melihat Sakha tengah berlari kecil ke arah gue dengan tatapan bingung.

"Kok lo disini? Bagas lagi nungguin lo di parkiran tuh," ucap Sakha masih dengan tatapan bingungnya.

"Lagi males sama dia," jawab gue.

"Kenapa? Gara-gara dia gak bisa jemput lo tadi pagi?" tanya Sakha, tatapannya mulai berganti tatapan curiga.

"Gue gak se-childish itu, Sakh," ucap gue kesal lalu beranjak pergi meninggalkan Sakha yang cuman bisa terdiam sambil memandang gue dengan alis yang berkerut.

Surat Untuk AdeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang