Adeera POV
Bel sekolah berbunyi dengan nyaring seiring dengan helaan napas lega dari beberapa siswa. Dengan semangat mereka langsung meletakkan pulpen mereka dan menutup buku paket serta latihan yang tengah digunakan. Begitu juga dengan gue.
Gue menutup pulpen gue sambil melirik Vero yang masih sibuk mengerjakan latihan yang dikasi Bu Wati—guru Bahasa Jerman gue—. Beliau tadi emang berhalangan hadir dan hanya sempat menitipkan tugas kepada guru piket untuk kami kerjain. Dan kebetulan pelajaran Bahasa Jerman yang dua jam itu, di kelas gue kepotong sama jam istirahat.
"Gak istirahat lo?" tanya gue setelah melihat kalo Vero gak berniat menghentikan tugasnya terlebih dahulu untuk sekedar ke kantin.
Dia menggelengkan kepalanya yakin, kedua matanya masih fokus menulis jawaban di buku tulisnya. "Gak deh, lo aja," jawabnya.
"Tumben lo rajin," sindir gue. Vero langsung menghentikan aktivitas menulisnya dan melirik gue sinis. Bukannya takut, gue malah tertawa melihatnya.
Vero mencibir, "palingan entar lo nyontek gue," ucapnya sambil kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Tawa gue semakin kencang pas mendengar ucapannya.
"Liat ya entar?" bujuk gue sambil merangkul bahunya. Aku tertawa geli melihat Vero yang langsung memutar kedua bola matanya.
"Gue mau ke kantin, nih. Nitip gak?" tanya gue sambil berdiri dari duduk. Vero menggeleng yakin, yang langsung membuat gue beranjak dari kelas dan menuju ke kantin.
Sesampainya di kantin, gue langsung bisa melihat Bagas and friends yang lagi duduk di salah satu meja kantin. Seperti biasanya dan seperti seharusnya, satu kantin hanya penuh dengan suara dan kehebohan mereka.
Gue berjalan menuju ke arah mereka sambil tertawa geli. Ada aja tingkah-tingkah mereka yang selalu bikin orang-orang di sekitar mereka tertawa terbahak-bahak.
Kehebohan mereka langsung berhenti pas Rafa ngeliat gue jalan menuju meja mereka. Gak lama kemudian tiga lainnya —Bagas, Sakha, Alvin— langsung ikutan menoleh ke gue. Gue tersenyum lebar yang langsung dibalas mereka dengan senyuman juga. Namun enggak dengan cowok yang satu itu, cowok yang duduk di depan Bagas.
Siapa lagi kalau bukan, Sakha.
Gue bisa ngeliat raut wajah cowok itu langsung berubah pas sadar akan keberadaan gue, tawanya yang semula lebar langsung perlahan menghilang. Diganti dengan tatapannya yang susah diartikan.
Gue duduk di samping Bagas sambi menyapa mereka satu persatu. Semuanya menjawab dengan sapaan yang luar biasa heboh, namun lagi-lagi berbeda dengan Sakha. Cowok itu cuman bergumam kecil yang pastinya membuat gue mengerutkan dahi bingung akan sikap Sakha.
"Eh, gue duluan, ya."
Gue mendengar Sakha tiba-tiba pamit saat gue masih menatapnya dengan tatapan bingung. Dia udah berdiri dari duduknya dan tengah memindahkan handphone hitam miliknya yang pertama berada di atas meja kantin menjadi dalam saku seragam sekolahnya.
"Cepet banget?" Pertanyaan Alvin udah bisa mewakili rasa penasaran gue. Thanks to Alvin.
"Mau ketemu Mentari bentar," jawab Sakha yang langsung membuat gue merasakan sesak.
"Mentari?" Tanpa gue sadari gue mengucapkan pertanyaan itu yang membuat cowok berempat ini menoleh ke arah gue. Gue hanya bisa menjawab semua tatapan mereka dengan senyum meringis.
Bagas mengacak rambut gue sambil tersenyum manis, lalu mengalihkan tatapannya ke Sakha.
"Yaudah, sono," usir Bagas yang dijawab Sakha dengan lemparan tissu. Rafa dan Alvin sontak tertawa terbahak, tapi enggak dengan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Adeera
Teen FictionArsakha Gibran Alfahrizzi, cowok yang jatuh cinta sama pacar sahabatnya sendiri. Gak ada yang tau kalau dia menyimpan rasa kepada Adeera sama seperti gak ada yang tau kalau dia suka menulis surat khususnya ke Adeera. Baginya, Adeera adalah duniany...