#18

46 3 0
                                    

Adeera POV

"Oke, segitu aja rapat kita hari ini Jangan lupa tugasnya masing-masing." Ketua Jurnalis, Devan, mulai mengemaskan kertas-kertas hasil rapat kita hari ini. Kacamata yang semula bertengger di matanya mulai dilepaskan, menampilkan sosok lain dari Devan. Gue bahkan gak pernah ngelak kalau Devan emang ganteng.

"Deadline hari kamis depan, ya." Dan semua kegantengannya hilang sudah saat dia mulai mengeluarkan serentetan kalimat sialan itu. Gue melengos malas yang membuat cowok itu melirik sebentar ke arah gue, bahkan sempet-sempetnya ketawa.

"Yaudah, kalian boleh pulang," ucap Devan yang membuat anak-anak lain langsung mengemasi barang-barangnya dan keluar dari Ruang Sekretariat Jurnalistik. Berbeda dengan anak lain yang langsung dengan semangat mengemaskan barang-barang, gue masih duduk di kursi gue sambil menyenderkan punggung. Gak berniat sama sekali bergerak bahkan untuk sekedar membereskan kertas.

Sapaan beberapa kali adik kelas ataupun yang seangkatan hanya gue jawab dengan anggukan. Begitu juga dengan Devan yang hanya bergumam pelan. Dan disinilah gue sekarang, masih di tempat duduk yang sama dan posisi yang sama, lagi mikirin kalimat yang pas untuk membujuk seorang Devan.

"Lama banget," ucap Devan tiba-tiba yang langsung membuyarkan lamunan gue. Gue mengalihkan pandangan ke arahnya, dan cowok itu masih sibuk menatap berkasnya. Padahal tadi dia baru aja ngemasin kertas-kertas menyebalkan itu.

"Hah?" gue masih gak ngerti.

"Lo cuman mau ngomong sama gue aja mikirnya lama banget," jawab Devan sambil terkekeh. Perlahan kedua bola matanya mulai mengarah ke gue, bukan ke berkasnya lagi.

Melihat cowok itu terkekeh, gue entah kenapa juga jadi ikutan.

"Malah ikutan ketawa," sindir Devan yang membuat gue langsung berhenti terkekeh. Tapi membuat gue langsung jadi kaya orang bodoh.

"Jadi, kenapa?" tanya Devan akhirnya.

Gue menghela napas sebentar, lalu mulai menegakkan tubuh. Gue menatap Devan yakin. "Gue gak mau kebagian tugas buat ngewawancarain anak basket," ucap gue dalam satu tarikan napas.

Devan menaikkan kedua alisnya tinggi, "Kenapa?"

"Gak mau aja," jawab gue sambil mengangkat bahu.

Devan mendengus geli dan kembali menatap berkasnya, "Bilang aja takut gamon."

Gue membalalakkan mata gak percaya. Bukan gak percaya sih sebenernya, lebih ke gak terima. Devan secara gak langsung bilang kalo gue gagal move on sama Bagas. Please...

"Gue gak gamon!" jawab gue gak terima.

"Terus kenapa gak mau?"

"Lo tau sendiri kan, Van, gimana nakalnya anak basket? Butuh sembilan nyawa buat bisa ngewawancarain anak basket sampe dua jam full," jawab gue mencoba menjelaskan. Tapi gue serius, anak basket itu kenakalannya udah terkenal banget seantero sekolah. Gak cuman liar, tapi juga bandel. Belom lagi slengean-nya. Gue pernah ngewawancarain anak basket sebelumnya, dan bahkan jadwal yang harusnya cuman dua jam jadi molor sampe lima jam. Cuman gara-gara tingkah mereka yang kayak bocah.

Lari sana, lari sini. Lompat-lompat kursi. Ngelemparin popcorn kemana-mana. Ngocokin minuman kaleng bersoda, terus bukanya arahin ke gue. Semuanya ancur. Kacau. Status gue yang waktu itu masih sebagai pacar Bagas bahkan gak bisa memengaruhi apapun. Malahan cowok itu ikutan bandel. Ngelepasin ikatan rambut gue, ngobrak-abrik berkas-berkas, keluarin semua isi tas gue. Dan berhubung di tas gue ada lipgloss, malah dipakein ke temannya.

Cuman nginget kejadian itu gue bahkan udah pusing duluan.

"Lo kan mantannya Bagas. Gak mungkin dibandelin," jawab Devan santai. Dan nyaris membuat gue maki tepat di depan mukanya, kalau aja gue gak inget kalo dia Ketua Jurnalis.

Surat Untuk AdeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang