8

3.2K 478 12
                                    

Aku langsung menggebrak pintu kamar dimana Calum sedang duduk menyandar sambil membaca bukunya, "Oh jadi lu main dibelakang gue Cal?".

Calum hanya mengernyitkan dahinya heran, "Maksudnya?".

Aku langsung melempar ponselku yang masih tersimpan pesan singkatnya tadi pagi, "Lo ngecewain gue anjing". Calum hanya diam, itu tandanya ia memang bermain dengan Selena. Aku terduduk disamping lemari, menangis sesenggukan dan sesekali melihat Calum yang masih menatap layar ponselku.

"Gue--"

"Diem lo, ga usah lagi lo bela diri lu". Aku menjambak rambutku kasar, sumpah demi Tuhan rasanya sakit sekali. Lebih sakit dari jari yang terkena pisau sekalipun.

Aku menyeka air mataku dengan tangan secara kasar lalu bangkit berdiri mengambil tas gendong dan memasukan baju-bajuku kedalam tas. Aku harus pergi dari sini.

"Calista lo mau kemana?". Ucap Calum, namun aku tidak menjawab dan terus memasukan bajuku. "Cals lo mau kemana?". Aku sengaja tidak menoleh ke arahnya karena aku tidak tega melihat wajahnya yang masih lebam.

Lalu aku berbalik dan menghadapnya, ia seperti mencoba berdiri namun sepertinya punggungnya sakit.

"Cal, gue harus pergi. Maaf". Aku langsung berjalan ke arah pintu namun saat aku menutup pintu aku kaget melihat Calum yang seperti menahan sakitnya agar bisa berdiri.

Yang kuat Calis, yang kuat..

Aku terus terusan mendengar Calum yang memanggil namaku. Namun sayang tekadku sudah bulat untuk pergi dari rumah ini.

"Calista..arghh". Calum terjatuh saat berhasil membuka pintu, "Cals jangan pergi". Aku menatapnya dari lantai bawah, ia terduduk di besi pembatas lantai atas.

Namun sayang, aku tetap pergi.

***

Aku tidak berpikiran untuk pulang ke rumah Mama. Karena aku tahu apa jadinya jika aku pulang kesana, aku pasti bisa menyelesaikan masalah ini tanpa orang tua.

Aku terduduk menyandar di ranjang baruku. Aku menginap di hotel ini untuk beberapa hari ke depan, mataku sudah sembab karena menangis tadi. Aku terus terngiang dengan wajah Calum sebelum kutinggal pergi, aku memilih pergi karena aku tidak mau bertengkar dengan Calum apalagi ia sedang sakit.

Cukup kutahan dan pergi.

Kuhidupkan ponselku lalu mengubahnya ke flight mode. Lalu kubaca terus pesan singkat yang langsung mengubah semuanya, meruntuhkan semua kebahagiaanku dan kepercayaanku.

"Calum...lo jahat sama gue". Lagi-lagi air mata itu datang, setiap kukedipkan mataku pasti ada saja air yang turun.

Sesak, dadaku sangat sesak hingga sulit bernafas.

"Lo bilang, bakal jagain gue dan sayang sama gue. Tapi apa?". Sekarang aku mirip orang yang kurang waras karena berbicara sendiri. Aku langsung berdiri dan mencuci wajahku di wastafel, ya, mata merah dan bengkak. Rambut berantakan dan kumel, memang seperti orang gila.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang baruku, tapi sayangnya rasa sesak itu datang lagi saat aku ingat biasanya aku tidur dengan siapa. Namun hanya guling yang sekarang kupeluk, "Good night Cal, i miss you". Ucapku

Esoknya, aku berangkat kuliah seperti biasa. Aku tahu jelas, pasti Calum akan mencariku. Namun aku tidak bisa menghindar karena hari ini ada kuis, jika aku ingin mendapat nilai yang bagus, aku harus bisa mendapat nilai bagus di kuis ini.

Saat sampai di kelas, Alena sudah membaca materi. Untung saja, tadi malam kusempatkan untuk belajar meskipun bukuku habis basah karena menangis. Tak lama kemudian, dosen pun datang, aku langsung berdoa dalam hati agar siap mengikuti kuis yang lumayan menyeramkan ini.

Lalu kuis pun dimulai, aku mencoba fokus menjawab seluruh pertanyaan yang jawabannya perlu dengan logika. Setelah berpuluh-puluh nomor sudah kujawab, aku mengumpulkan jawabannya ke meja dosenku. Tak lupa berpamitan pada Alena yang duduk disampingku tadi.

Saat keluar kelas, aku tidak melihat tanda-tanda Calum, mungkin memang akunya yang ke-ge-eran. Aku berjalan ke arah kantin, karena 2 jam lagi aku ada kelas. Daripada bolak balik ke hotel lebih baik aku menunggu di kantin saja.

Aku menghidupkan ponselku yang semalaman aku matikan. Ingin rasanya aku menelpon Calum sekedar menanyakan sarapan dengan apa dia, aku benar-benar merindukannya. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengannya.

"I miss you Cal". Lirihku

"I miss you too". Aku menoleh ke asal suara itu, itu dia menggendong tasnya dengan penampilan yang semerawutan, "Gue emang yakin bisa nemuin lo disini". Aku membuang muka

Ia berjalan sedikit demi sedikit, wajahnya masih dipenuhi luka lebam, dan urusan punggungnya aku masih belum tahu, "Calista, gue minta maaf".

Hatiku sudah terkoyak, sedangkan ia hanya bisa mengucapkan maaf tanpa penjelasan sekalipun?

"Gue emang buruk buat lo, gue emang cuma nyusahin, gue emang ngerusak masa depan lo yang harusnya jadi sastrawan inggris tanpa ribet ngurusin gue. Gue emang ga baik, selalu ga baik". Aku menunduk, Calum duduk disampingku namun membelakangi meja yang ada didepanku.

"Tapi, gue berusaha ngelakuin hal yang terbaik saat gue ternyata ga bisa ngelakuin yang dianggap baik sekalipun". Bisakah ia berhenti mengoceh? Ia membuat lukanya semakin terasa perih.

Punggungnya bergetar, nafasnya seperti tertahan saat ia mengucapkan kalimatnya tadi. Ya aku menangis, menangisi hal yang membuatku terjaga sampai malam, dan hal yang membuat mataku bengkak.

Aku langsung pergi sebelum Calum melanjutkan kalimat-kalimat menyayat hati yang tadi. Ia tidak mengejarku, aku juga tidak ingin dikejar karena itu lebih baik.

Lalu aku duduk di rerumputan sekitar UNSW sambil memainkan ponselku, namun tiba-tiba Michael muncul dari semak-semak. "Anjir, dari mana lu Mike?".

"Gue abis bolos kelas, lu ga ada kelas?". Aku menggeleng, "oh bagus, temenin gue ya".

"Iya". Lalu Michael rebahan disampingku berbantal tasnya yang cukup menggembung. Ia menatap langit biru yang menyelimuti Sydney, "Kenapa lu Mike?".

"Engga, gue tiba-tiba kangen Ashton". Bicara soal Ashton, ia sekarang menetap di LA sejak lulus dari Sekolah Menengah dulu. Ia bilang, akan sering-sering ke Sydney namun sampai sekarang ia belum kesini, terakhir kali saat pernikahanku dengan Calum dulu.

Calum lagi:(

"Mellow amat, makanya jangan jomblo". Michael langsung menoyor kepalaku lalu kubalas dengan cubitan di perutnya.

"Gue tau lu ada masalah sama Calum, sok sok bahagia lagi didepan gue". Aku memutar mata sarkas lalu melanjutkan kerjaanku melihat-lihat isi ponselku. "Cerita aja kali".

"Males gue". Jawabku singkat

"Yah gitu amat, lu harus inget, masalah itu bisa diselesaikan dengan ngomong baik-baik". Ucap Michael

"Diem anjing".

Aku dan Michael pun langsung diam, larut dalam pikiran masing-masing. Apa masalahku ini bisa diselesaikan dengan ngomong baik-baik?

Butuh waktu yang lama agar otakku bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan, daripada aku memilih jalan pintas dan mengucapkan perpisahan?

"Mike, bilang ke Calum, untuk sementara dia harus bisa jaga diri baik-baik". Michael mengernyitka dahinya, "Jangan lupa ya, bye Mikey". Aku berdiri meninggalkan Michael dan melambaikan tangan ke arahnya.

To be continued..

Eh, baru nyadar kalo setiap part yang baca ratusan, tapi yang ngevote ga nyampe 50. Berpikiran buat berhenti update nih, sequelnya ga rame kaya trilt anj:( wdyt?

Me And Hus-band : Calum Hood[Sequel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang