16

3.1K 379 14
                                    

Perutku sekarang terasa nyeri, entahlah saat kubuka mata ternyata aku bukan dikamarku ataupun rumah. Ini rumah sakit. Pasti terjadi sesuatu padaku.

Kulihat disekelilingku ada Mama dan Mom yang menangis, lalu ada Kak Andy dan papa. Aku tidak melihat Calum dan Dad, mungkin mereka belum pulang meeting.

"Hai," ucapku sambil melambai pada mereka, "ini ada apa?"

"Bagaimana keadaanmu sayang? Baik-baik saja kan?" Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan dari papa. Namun Mama semakin keras menangisnya membuat aku bertanya-tanya.

"Sebenarnya ada apa sih pa?" Tanyaku pada papa, papa hanya tersenyum lalu disalah satu matanya meneteskan air mata. Ia menyekanya cepat lalu mencium keningku singkat.

"Kamu keguguran sayang," aku terpaku beberapa saat. Aku mencari letak nada humor dari yang papa ucapkan, kutau pasti papa bercanda. Namun sayang, ia mengatakannya sambil meneteskan air mata, membuatku semakin yakin apa yang ia katakan adalah benar. Jadi benar aku keguguran.

"Seriously? But I just--" kataku menggantung, tenggorokanku tercekat, aku menangis. "Apa ini benar?"

"Maaf sayang, dokter tak bisa menyelamatkan bayimu," aku langsung mengalihkan pandangan ke jendela. Menutupi segala dukanya, aku lekas-lekas menyeka air mataku.

Penantian panjang yang gagal.

"Aku ingin pulang," ucapku tiba-tiba.

"Tapi dek, kamu belum boleh pulang," ucap kak Andy.

"CALISTA MAU PULANG!" aku berteriak sekuat tenaga. Aku marah dan kesal pada semuanya.

"Calista calm do--"

"Diam! Calista mau pulang sekarang juga!" Papa keluar, aku pastikan ia memanggil dokter untuk meminta persetujuannya aku dibawa pulang.

Sekarang aku tidak bisa berpikir dewasa. Rasanya sakit untuk mendengar bahwa seseorang yang aku tunggu lahir di dunia ternyata ia sudah tidak ada. Aku memijat kedua pelipisku sambil menangis tersedu, aku tidak bisa merasakan kelembutan hati seorang Calista. Ya aku memang sedang marah.

"Calista kamu dibolehkan untuk pulang," ucap papa yang baru masuk di kamar inapku. Tanpa basa-basi aku langsung meminta mereka mengantarku lalu meninggalkanku karena aku ingin sendiri.

"Ma, tolong tinggalin Calista sekarang. Calista takut mama kena marah dari Calista, calista marah," ucapku pada mama yang masih berdiri didepanku saat kak Andy sudah meletakkanku di ranjang rumahku dan Calum.

"Tapi kamu ga bisa tinggal sendirian disini, kamu perlu ditemenin" aku menggeleng cepat, "Calista"

"Tolong ma, calista engga mau," Papa pun menarik mama lalu menutup pintunya. Aku langsung mengeluarkan semua tangisku dan kemarahanku. Tak ada yang bisa kutahan, aku benci mengakui hal ini semua. Baby Hood-ku meninggal

"Argghh, kenapaaa?" Aku menjambak rambutku kesal. Kekesalanku membuat aku semakin marah dan tidak bisa menerima kenyataan, ini sakit dan lebih sakit dari apapun. Tidak kupedulikan ponselku yang sudah berbunyi sedari tadi. Aku ingin mengeluarkan semua kekesalanku dan amarahku hari ini.

"Ya Tuhan," aku mengerang saat perutku kembali terasa nyeri. Kududuk bersandar pada ranjangku, entahlah aku malas menggapai ponselku untuk sekedar mengabari Calum. Sepertinya juga Calum belum tahu apa yang terjadi padaku, kuharap begitu.

Entah kenapa aku merasa aku sudah ikhlas untuk Calum tinggalkan, i mean--kita berpisah. Aku sudah pasti mengecewakan, tidak mungkin tidak. Baby Hood--tidak ada lagi sapaan seperti itu. Dan tidak ada lagi acara mencium perutku sebelum tidur, sudah tidak ada lagi. Lenyap tanpa sisa.

Ya aku memang Calista yang payah. Sangat-sangat-sangat payah. Menjaga seorang anak yang masih berumur 2 minggu saja aku tidak becus, apalagi jika ia sudah lahir?

Sekarang aku juga merasa bersalah pada Baby Hood-ku, belum sempat ia melihat indahnya dunia--belum juga sempat melihat wajahku, wajah Calum. Ataupun mendengar cerita bahwa ayahnya pernah menjadi anak band yang payah. Dia belum sempat, "Maaf, kupikir kita bertemu nanti disana, kuharap begitu," lirihku.

Aku berjalan ke arah kamar mandi. Aku berniat untuk mencuci wajahku, aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa di wajahku seperti mati rasa.

Kulihat pantulan wajahku di cermin, buruk, pucat, dan lusuh. Di cermin itu ada pantulan seseorang yang kehilangan seseorang, seseorang yang sempat ia cintai. Amarah itu muncul lagi, ku tonjok keras-keras cermin itu tepat diwajah hingga pecah. Kini darah segar mengalir lewat jemari tanganku. Kutidak pedulikan darah itu, yang ada aku terduduk didepan wastafel dan masih menangis. Sakit hati itu kembali lagi.

"Arrrgghh," aku menggeram sekuat tenagaku. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka, aku melihatnya sekilas lalu menunduk lagi. Dia Calum, masih menggunakan jasnya.

"Calis," ia berjongkok disampingku, tangannya untuk menggapai kepalaku lalu kutepis. Sakit. "Cals, ini Calum. Calum Hood," aku tidak bergeming. Sakit hatiku malah semakin menjadi-jadi karena ada Calum disini. "I'm okay, and you should to be okay,"

Ia menggapai tanganku yang sudah berdarah itu, lalu ia melihat kaca wastafel itu. Ia menggendongku dengan bridal, aku tidak menolaknya. Ia mendudukanku di dekat ranjang. Ia mengambil sebungkus tisu dan perban dari kotak PPPK.

"Kalo sakit bilang ya," aku mengangguk. Calum membersihkan lukaku dengan hati-hati. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, mungkin ia sudah tau.

"Cal lo pulang?" Ia menatapku lalu mengangguk. Dan itu membuat air mataku menetes lagi. Ia pasti sangat kecewa padaku sekarang.

"Udah," ia membereskan obat-obatnya dan menggendongku keatas ranjang. Ia langsung memelukku dan air mataku sudah tak tertahan lagi, aku benar-benar menangis dipelukannya. "Udah gapapa gausah nangis,"

"Gue ga becus Cal, gue ga becus jagain anak kita, gue bodoh banget Cal," kupastikan jas Calum basah karena tangisanku. Calum menggosok punggungku untuk berusaha menenangkanku.

"Engga kok, lu sehat-sehat aja gue bahagia banget. Udah gausah dipikirin, gue gapapa," Calum memegang kedua bahuku dan menyeka air mataku yang sudah mengalir deras.

"Gue tau lo bakal ninggalin gue karna kekecewaan lu kan?" Tanyaku.

"Ya Tuhan, engga Calista. Mau lo kaya gimana pun lo tetep lo dan tetep jadi milik gue," ia mengecup keningku dan menggenggam tanganku.

Ia mencium tanganku yang terperban, "lo jangan lakuin kaya gini. Karena mau gimana pun elo, gue ga bakal berubah," lagi, Calum memelukku sangat erat.

"Maaf Cal," ucapku.

"Ga ada yang salah dari elo, ini memang takdir Tuhan," pelukan Calum memang menenangkan. Jika dipelukannya, serasa semua bebanku hilang. Kehangatannya, membuatku aman.

"Sekarang lo istirahat ya, gue mau beres-beres sama ganti baju," ia mengecup keningku lagi lalu pergi keluar kamar.

Aku sangat bersyukur memiliki Calum. Ia pengertian, meskipun otaknya sangatlah kotor. Ia lucu, meskipun dalam hal sesulit apapun. Ia selalu merangkulku saat semua beban yang kupikul sangat berat. Dan yang terpenting, ia sabar.

Saat seluruh dunia terasa berat bagimu, percayalah aku akan memberikan salah satu bahu untukmu.

To be continued...

30++ VOTE FOR DA NEXT!¡
Jangan lupa baca poprock star  ya!¡

Me And Hus-band : Calum Hood[Sequel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang