Don't Go

18.7K 888 37
                                    


Aya POV :

Sudah hampir empat bulan, namun tak kunjung ada tanda-tanda perkembangan dari kondisi Ayah.

Bunda, bundaku yang sangat aku cintai telah berpulang kepangkuan-Nya tadi malam.

Roy suamiku pun tak ada kabar hingga saat ini, harusnya dia ada di sampingku saat aku mengalami duka.

Salahku juga karna terlalu mengharapkannya yang padahal sangat membenciku.

Sejak kepergian bunda semalam aku terasa hampa, aku terasa kosong, bagai kehilangan topangan yang selama ini menjadi penopangku, yang selama ini menjadi sanggahanku.

Kuperhatikan Ayahku secara cermat, kerutan diwajah tampanya mulai menambah, rona hangat tubuhnya tergantikan dengan rona pucatnya.

Hanya dia harapanku satu-satunya, hanya dia yang kumiliki dunia ini satu-satunya.

"Permisi nona, saatnya tuan Atmadja menjalani pemeriksaan rutin." ucap seorang perawat melerai lamunanku.

"Bolehkah... Bolehkah, aku tetap didalam selama proses pemeriksaan?" tanyaku ragu, perawat itu tersenyum bersalah.

"Maaf sebelumnya, tapi ini sudah menjadi prosedur rumah sakit." balasnya sopan.

Aku mengangguk kemudian, menjalankan kursi rodaku keluar.

Diluar aku iseng-iseng berkeliling sepenjang koridor ini, saat melihat ruang dokter kandungan tak sengaja mataku menangkap dua sejoli yang bau saja keluar dari ruangn itu tampak berangkulan gembira.

Tak salah lagi, itu Roy suamiku dan satu lagi adalah seorang wanita cantik dan juga modis, aku memiliki segala seperti yang wanita itu punya, namun sayang aku tak seberuntung wanita itu.

Aku tak punya lagi kebahagiaan, aku tak punya pendamping yang mencintaiku dan aku tak bisa berjalan.

Perih, sangat perih...
Tak kupungkiri rasanya bagaikan tertikam jutaan jarum sulam...
Sayatannya amat sangat terasa,bagai dikuliti oleh pisau...
Suamiku, setidak suka itukah dirimu terhadapku, sebenci itukah hatimu padaku?...

Kurasakan tangan seseorang menutupi mataku, tangannya terasa sangat halus dan wanginya terasa familiar.

"Jangan dilihat jika itu melukaimu." ucapnya, sambil membalikan kursi rodaku, mungkin dengan sebelah tangannya, lalu menyingkirkan telapak tangannya yang menghalangi penglihatanku.

"Plasidia..." lirihku, dia memelukku lalu kubalas dengan pelukkan yang lebih erat, kutumpahkan segala tangisanku dipundaknya, aku sakit, hatiku sakit, diriku tersakiti.

"Kumohon, jangan menangisi orang yang bahkan tak melihat kearahmu, Om Prabu lebih membutuhkan kehadiranmu saat ini..." ucap Plasidia lembut.

Dia gadis yang sangat baik,aku heran Pria mana yang rela meninggalkannya demi perempuan lain? hanya pria bodoh lah yang melakukan itu.

"Hei, aku paham betul pikiran apa yang yang tercantum di otak cantikmu, tapi tolong ya nona, pikirkanlah dirimu itu, kau terlihat sangat memprihatinkan" ucapnya.

Mau tak mau aku tersenyum melihat senyuman tulus yang terpampang diwajah cantiknya, semoga suatu hari dia mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintainya.

"Ayo." ajaknya, lalu mendorong kursi roda yang kutumpangi.

Sesampai di depan ruangan Ayah aku melihat beberapa perawat dan dokter berlari masuk keruangan ayah.

"Ayah." apa yang terjadi dengan Ayah, dengan panik ku jalankan kursi rodaku dengan cepat, meninggalkan Plasidia yang masih kebingungan.

Aku harus masuk untuk melihat ayah, harus...
"Maaf nona, keadaan pasien sedang sangat menghawatirkan, jadi kami mohon pengertian anda." ucap perawat tersebut panik, lalu buru-buru menutup pintu, sebelum aku masuk.

"Aaarrrghhhhhh..." aku menjerit histeris, sesak sangat sesak kurasakan.

Aku memang anak yang tak berguna, ayah sedang membutuhkanku disana dan aku hanya bisa pasrah pada takdir yang telah digariskan pada kami.

"Aya,tenang Aya,kita harus berdoa supaya om Prabu baik-baik saja, hanya itu yang bisa kita lakukan." ucap Plasidia mencoba menenangkan.

"Aya sayang..." panggil tante laila yang baru saja sampai.

"Ya ampun sayang, tenang ya, tante yakin Ayah kamu baik-baik saja, dia orang yang kuat,tenang ya sayang...." tante laila memelukku, mencoba menenangkan ku.

"Mom, aku tinggal sebentar ya, aku harus ke administrasi, aku harus mendata ulang pasien, aku titip Aya ya...." ucap Plasidia berpamitan lalu pergi.

Tak lama setelah kepergian Plasidia, salah seorang perawat yang menangani Ayah keluar sambil membuka maskernya.

"Saudari Aya?" tanyanya.

"Ya, saya suster..."balasku cepat.

"Pasien sudah sadar dan mencari anda, tapi hanya anda sendiri ..." ucapnya kubalas dengan anggukan lalu dia menggiring kursi rodaku masuk.

Sesampainya didalam aku lihat ayah yang tersenyum melihat kedatanganku.

"Ayah..." panggilku saat tiba disamping ranjangnya.

Ayah melihat kearahku dan tersenyum lemah.

"Aya, buah hati Ayah dan bunda, lambang cinta kami berdua..." gumam ayah lemah sambil mengelus pipiku lembut dengan tangannya yang lemah dan hampir dingin.

"Ya Ayah, ini Aya, Putri Ayah..." balasku menangis.

Dia menghapus air mataku, lalu menggeleng lemah.

"Ayah mohon jangan menangis sayang, ayah mohon... air matamu itu akan membuat Ayah takkan bisa tenang." dia merentangkan tanganku bagaikan siap menerima pelukan dariku. Aku pun berusaha menggapai pelukannya, dia membelai rambutku penuh kasih sayang, kemudian mengecupi puncak kepalaku berkali-kali.

"Apa kau bahagia bersama Roy sayang?" tanya ayah, aku mengangguk.

"Ya Ayah, Aya bahagia, sangat..." balasku lirih.

'Maaf Ayah, aku harus berbohong...' batinku sedih.

"Berbahagialah sayang, Ayah dan Bunda menyayangimu...." ucap ayah mencium keningku, kemudian ku cium kedua tangannya.

"Ayah..." panggilku,namun Ayah tak mau membuka matanya lagi.

"Ayah..." panggilku dengan suara kian parau, namun ayah tetap tak kunjung membuka matanya.

"Ayah..." tangisanku sudah pecah, namun ayah tetap tak kunjung membuka matanya.

Kumohon jangan,jangan pergi, aku tak mau sendirin

"Ayah, AYAAAHHHH..."

"AYAH...."

.

.

.

.

.

.

To Be Continued....

.
.
.
.
Makasih ya udah nyempetin baca,maaf kalau kurang memuaskan,

See you in the next part

Brink Wedding [BOOK 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang