Kesempatan kedua

1.3K 67 1
                                        

Entah, sampai kapan aku akan seperti ini. Merenung menatap lurus dengan kosong. Aku terlalu bingung untuk bertindak, hanya ketakutan yang berputar - putar dibenakku. Ketakutan akan jalan yang ku ambil menjadi salah dikemudian hari. Dan yang tertinggal hanya penyesalan tak berujungku.

"Ra, ini abang. Kamu liat kesini"

Apakah masalah kecil ini bisa membuatku berhalusinasi? Mengapa aku seperti mendengar suara bang irgi didekatku. Sangat jelas abangku itu sudah benar - benar kembali ke tempat kost nya.

Apakah masalah ini berpotensi membuatku gila?

Bergelut dengan pikiranku yang bercabang entah kemana. Seseorang menyentuh kedua pipiku. Memegangnya seakan - akan aku adalah bola. Menariknya menghadap iris mata tajam itu. Iris mata yang selalu aku kagumi dan terkadang aku hina. Iris mata abangku tersayang.

"Abang"

"Kalo emang belum puas nangis, nangis aja.. Tapi janji sama abang, setelah ini oke"

Tanpa aba - aba aku menangis kembali.. Terus menerus menangis seperti anak kecil tak dibelikan mainan.

Lelah dan penat dengan masalah sekecil ini yang tidak bisa kuanggap enteng. Perasaan kacau yang tak berujung membuatku terjerat dengan kegundahan tak berarti.

...

"Kamu maunya gimana sekarang?"

"Aku ngga tau bang"

Tanpa sadar pembicaraan aku - kamu dengan abangku ini terus berlanjut. Kebimbangan hatiku ini membuat hampir seisi rumah pusing. Mungkin jarang sekali melihat aku yang memperlihatkan sisi kelamku.

"Kalau kamu mau, kamu pindah ke paris. Disana ada om juan dan tante mala"

"Apa bunda sama ayah ngizinin?"

Bang irgi mengangguk lamat - lamat. Aku tercenung, apakah aku selebay ini? Namun jika aku pergi, berarti aku mengakui bahwa semua masalah ini salahku. Walaupun hampir 90% benar.

"Ngga bang, kalau aku lari. Aku akan jadi pengecut"

Pletak

"Aww.. Abang!"

"Itu baru ade gue"

Bang irgi tersenyum simpul, tanpa sadar aku mengikutinya tersenyum. Sepertinya aku harus menebalkan mata dan telinga.

Memasang headphone atau earphone mungkin lebih baik, dari pada aku mendengar ocehan tak bermutu yang mereka karang sendiri demi kepentingan gosip.

Lebih - lebih melihat vania yang menjauhiku. Mungkin menjadi diriku yang dulu tak akan mudah.

"Kalau ada apa - apa cerita sama abang"

"Ya"

Tidak cukup sulit untuk melakukan semua itu. Melihat kepribadianku yang keras kepala. Sepertinya akan susah untuk berbicara langsung. Mungkin aku harus melakukan gaya komunikasi jaman dulu. Dengan mengirim vania surat.

Baiklah, itu kuanggap sebagai awalan.

Aku tersenyum pada bang irgi yang berada di depan pintu. Ia bersiap untuk keluar dari kamarku. Setelah dilihatnya abangku itu menutup pintu, dengan gesit aku berlari kearah meja belajar. Mengambil secarik kertas, lalu menuliskan semuanya. Semua hal yang membebaniku.

Hai, eh..
Rasanya awkward yah, vania. Gue mau minta maaf, sebelumnya. Mungkin lu ngerasa,

'Apaan sih?'

'Kenapa ngga ngomong langsung'

'Pengecut dan lain - lain'

gue cuma mau bilang, sebelum lu hadir.. sebelum kita kenal, gue adalah orang yang.. mungkin bisa dibilang pendiam atau ansos. gue sadar, dan maaf sebesar - besarnya.. bukan maksud gue ngga cerita karena gue ngga ingin.

Daybreak RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang