Aku berjalan memasuki koridor sekolah. Semester satu sudah kulewati dengan hati yang terombang ambing. Banyak diantara murid yang menatapku dengan bisik - bisik. Ah, pasti karena kabar aku dengan haris.
Entah mengapa, kalau urusan tentang orang lain mereka sangat gesit. Membicarakan tak ada habisnya. Dari mulut kemulut.
"Ra"
Aku menoleh, yoshua dan vania berjalan kearahku. Aku hanya memberi senyum tipis. Pasti mereka sudah tau dari kabar burung.
"Huh, akhirnya ketemu juga lo.. Kemana aja wey?"
"Apaan sih lu su"
"Elu yang apaan ni"
Yang mereka lakukan malah bertengkar, bukannya mendengar penjelasanku. Aku menepuk baku mereka bersamaan.
"Jadi kalian mau denger penjelasan gue?"
Mereka mengangguk seperti anak anjing.. Ups. Aku hanya menarik mereka untuk mendekat. Dan membisikan sesuatu.
"Kepo"
"Ish"
Aku tertawa dan berjalan meninggalkan mereka yang tersungut - sungut. Kakiku melangkah memasuki kelas, pandanganku menatap penjuru kelas yang mulai ramai.
Tatapanku terhenti pada manik mata yang tengah menatapku intens. Bisik - bisik kelas semakin terdengar jelas. Dengan cepat kupalingkan dan berjalan menuju bangkuku. Meninggalkan tatapan yang terus mengikutiku.
Bisik - bisik itu tak kunjung henti sampa aku duduk. Mereka sesekali menunjukku dan arfan, atau melirik dengan bola mata yang tajam. Suara nyinyiran mereka bagai simfony bagi telingaku.
Mataku terpejam mendengar keluh kesah mereka. Mengiringinya bagai angin sepoi - sepoi dipadang rumput dengan bunga bertebaran dimana - mana.
Bisik - bisik itu berhenti sampai seseorang menggebrak meja dan berteriak kesal. Perlahan kubuka kedua mataku. Melihat siapa yang telah menghentikan nyanyian merdu dari hati para murid. Arfan.
"Bisa kan kalian berhanti ngomongin seseorang tanpa tau dengan jelas apa yang telah terjadi"
"Kalian semua cuma menarik kesimpulan dari apa yang kalian lihat"
"Memangnya kalian siapa?"
Ugh, semenjak jadian dan putus dengan haris. Aku menjadi pribadi yang diam, dan lebih cuek. Entah mengapa aku merasa malas meluruskan segala kesalah pahaman mereka. Memangnya aku siapa bagi mereka.
"Lalu kami harus apa? Ngeliat cewe itu mainin hati lo sama si haris? Atau sampe dia mengeluarkan taringnya?"
"Atau sampe dia jadi playgirl..?"
"Bukanya dia udah jadi playgirl ya"
Suara riuh dan saut - sautan terjadi. Aku hanya diam dan melirik kearah jendela. Melihat kerumunan anak - anak tengah bermain futsal. Melihat kearah satu orang yang sangat menonjol dari pemain yang lain. Haris.
Dengan peluh membasahi dahinya, ia tertawa lepas. Dalam hati aku berbicara, sebenarnya siapa yang telah memenangkan hatiku. Siapa yang menjadi juara dalam perlombaan tak tertulis ini.
Rasanya hormon labilku selalu berputar - putar ketika menyangkut masalah haris atau arfan. Bathinku berteriak meminta suatu titik temu yang berujung pada kejelasan hidupku.
Kejelasan yang membuat hilangnya rasa bimbang. Bimbang yang terus menghantui hari - hariku. Merengkuhku dengan abu - abunya, membuat pandangan akan jalan kebenaran terlihat samar.
"Kalau gue suka sama raina ada hak apa kalian semua ngomong seperti itu. Lagi pula itu hak gue sama haris untuk menyukai raina"
Aku menoleh kearah haris setelah ia berkata demikian, membuat beberapa pasang mata menatapku sinis. Wajah datarku yang menampilkan ketidak tertarikan akan topik yang mereka ambil.
"Terus rena gimana? Mau lo apain rena"
"Itu urusan hidup gue, lagi pula kenapa kalian repot - repot mengurusi kehidupan orang lain. Memangnya kalian sudah lebih benar dari rain"
Aku bangkit dan berjalan keluar. Mulai jengah dengan apa yang mereka ucapkan, tidak lebih baik. Semua terasa kejam di mataku. Hatiku mulai terketuk, mencintai dan dicintai itu memang sangat repot.
Seperti beban yang dipikul bertambah seiring masalah yang datang hanya karena satu kata cinta.
Cinta itu indah, Bulls**t.
Yang berbicara seperti itu hanya merasakan indahnya cinta dan mengabaikan sakitnya cinta.
Entah lah, mungkin kata cinta itu hal yang aneh dibicarakan seorang gadis SMA sepertiku. Namun, perasaan ini.. Perasaan bimbang, suka dan semua hal ini. Berujung pada kata cinta.
Aku menghela nafas lelah, duduk dimeja kantin dengan segelas es jerukku. Entah apa yang kutunggu, karena hari pertama masuk sekolah kembali kbm belum diterapkan dengan benar. Banyak dari murid - murid yang berseliweran disekitar kantin.
"Ra jangan bengong"
Kebiasaan vania kalau tak ada kbm seperti ini, mampir di kantin dengan es teh manis dan gorengan. Tak lama yoshua muncul dan duduk disampingku, menaruh soto dan jus mangganya.
"Kebanyakan bengong nanti kepintarannya kurang. Kasian lu udah bego tambah bego"
Berbicara sinis sambil menyuapkan sesendok soto kedalam mulutnya. Seperti biasa, mulut pedas yoshua tak pernah absen kalau berbicara denganku.
"Kampret"
Kembali meminum es jerukku sesekali vania bercerita tentang rio yang sudah mempermainkannya. Membuat hatinya nelambung tinggi lalu menghempaskannya sekali hentakan.
Ingatanku berputar pada saat aku dan haris berbicara serius. Membicarakan hubungan kami yang sudah diujung tanduk dan berakhir tragis. Apa aku juga seperti rio? Melambungkan haris setinggi - tingginya, lalu melemparnya jatuh.
"Woy, elah gua lagi cerita. Lu mah ra. Kalo ada masalah cerita, kita berdua udah nahan diri dari sebulan lalu"
"Apaan sih gua ngga ada apa - apa"
"Mau sampai kapan? Kita udah ngalah selama liburan ini, cuma buat lo buka mulut doang. Apa susahnya sih cerita, ada kita ini"
"Lo ngga ngerti"
"Bagian mana yang ngga gua ngerti? Lo ngejauh, asyik dengan seribu khayalan lo itu. Apa gunanya kita kalo lo lebih milih mendem sendiri"
Vania bangkit meninggalkan aku dan yoshua. Ah, yoshua? Dia dengan tenang memakan sotonya, padahal barusan ada perdebatan yang cukup sengit antara aku dan vania. Aku menyeruput es jerukku yang sudah habis. Bunyi seruput - seruput terdengar semakin kenjang saat aku menyeruputnya.
"Lo harus minta maaf"
"Hah?"
"Lo salah, lo harus akui itu, dan kalo boleh gua bilang. Bukan kita yang asyik dengan dunia kita, tapi lo yang asyik dengan dunia lo sampai melupakan kita. Gua ngejar vania dulu"
Aku terdiam cukup lama, merenung apa yang telah diucapkan yoshua. Bukan mereka yang sibuk, namun aku. Aku terlalu sibuk dengan perang bathin ini. Dengan semua masalahku yang tak pernah surut. Dengan semua keegoisanku yang hanya dapat menyalahkan orang lain.
Disini, saat ini juga. Aku yang bersalah.
-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-
Eihoi~
Lama tak jumpa, sebenarnya ini saya lagi setres. Ditinggal dirumah sendiri, semua pada pindah.. Sedihnya.. Okelah gpp, maap apdet lama, and ini cerita yang makin absurd.. Yaudah lah ya..
Oh iya, jangan lupa mampir ke cerita daku ya. Judulnya candy jelly love.. Macem spin-off gitu.. Tapi itu bakal dilanjutin ketika ini selesai.. Yaudah gitu aja.
Salam hangat,
Xoxo~

KAMU SEDANG MEMBACA
Daybreak Rain
Fiksi RemajaHidup itu tak selamanya mulus, semulus jalan tol. bahkan jalan tol saja ada lika - likunya. sama seperti kehidupan, entah itu percintaan atau pun masalah sosial lain. seperti takdir yang mungkin tak bisa kita ubah. tapi, ketetapan hidup itu tergant...