t i g a b e l a s

53.3K 4.2K 63
                                    


"Ayo dong, Nek. Makan lagi yang banyak, biar cepet sehat," Barra mengangsurkan sendok berisi penuh nasi dan lauk ke depan muluk nenek Asih.

Nenek Asih menggeleng, "Sudah kenyang. Kalo sudah tua itu, porsi makannya sedikit," tolak nenek Asih, diakhiri dengan batuk.

Sudah beberapa bulan ini Barra dekat dengan nenek Asih, Barra sudah menjadikan nenek Asih sebagai ibu keduanya, setelah Bunda. Bahkan Bunda dan nenek Asih pernah mengobrol lewat telpon.

"Nenek mau apa lagi? Biar Barra ambilin," nenek Asih menggeleng.

"Nenek mau istirahat aja."

"Yaudah. Nenek istirahat ya. Kalau gitu Barra pulang dulu," pamit Barra.

"Iya, terima kasih."

Barra hanya tersenyum lalu berjalan ke luar rumah. "Tan," panggilnya begitu melihat Intan sedang menjemur baju di depan rumah. "Kakak balik pulang dulu. Nanti kalo ada apa-apa, langsung ke rumah Edo aja."

Intan mengangguk, "Iya, Kak. Hati-hati," pesan Intan di barengi senyum.

Iya, ini Intan yang sama yang dulu memarahi nenek Asih. Dulu Intan ngotot berkerja untuk membantu nenek Asih, tapi dilarang. Buat nenek Asih, Intan harus sekolah dulu, baru boleh berkerja, tapi intan keukeh ingin berkerja. Karena Intan merasa sudah besar, dia tidak enak kalau harus merepotkan nenek Asih terus. Apalagi Intan sudah menunggak biaya sekolah Terjadilah perdebatan.

Sampai akhirnya nenek Asih bercerita sama Barra, semua urusan selesai.

Barra yang bicara ke kepala sekolah Intan langsung, meminta keringanan untuk biaya, dan membayarkan setengahnya. Dengan syarat, Intan harus jadi anak baik dan nurut sama omongan nenek Asih yang disanggupi oleh Intan.

Dan selama beberapa bulan ini Barra tau, apa yang diucapkan nenek Asih itu benar, Intan itu anak yang baik. Cuma terkadang ada keadaan dimana mengharuskan dia untuk jadi jahat. Tapi dia enggak jahat, Barra. Intan anak yang baik.

○●○●○

Tok ... tok ... tokk ....

Ketukan pintu terdengar, semakin lama semakin jelas.

"Assalam'mualaikum. Kak Barra, Kak ...."

Sekarang sudah jam 10 malam, mungkin kalau di kota besar macam Jakarta masih sangat ramai, tapi ini Bangka, jam 6 sore pun sudah tak ada orang yang di luar rumah.

"Ada apa, Tan?" tanya Barra begitu melihat Intan dengan peluh yang mengalir disepanjang jidatnya, serta nafas yang terlihat seperti orang yang habis lari marathon berpuluh-puluh kilometer.

"Nenek, Kak. Nenek."

Barra yang sadar akan situasi langsung berjalan masuk ke dalam kamar Edo. "Do, temenin Kakak ke rumah Nenek Asih, sekarang!"

Edo yang kaget karena dibangunkan dengan cara yang sedikit tidak manusiawi bertanya, "Ada apa, Kak?"

"Ayo, Do. Nanti Kakak jelaskan!"

Mereka bertiga bergegas pergi ke rumah nenek Asih.

"Nek, Nenek. Bangun. Ini Barra." Barra menepuk-nepuk pipi nenek Asih pelan begitu tiba di kamar nenek Asih. "Nenek, nenek ...."

Barra menangis, nenek Asih sudah tiada. Ternyata Allah jauh lebih sayang kepada nenek Asih.

Intan yang melihat Barra menangis langsung memeluk tubuh nenek Asih.

"Nenek, jangan tinggalin Intan. Intan cuma punya Nenek. Nenek jangan pergi, Nek. Ya Allah ... Nenek, Nenek udah janji mau liat Intan sukses dulu, Nenek juga udah janji mau liat Intan nikah terus punya anak," sendu Intan sambil memeluk tubuh nenek Asih.

Barra dan Edo yang mendengar rintihan Intan ikut menangis.

"Intan, yang sabar. Ikhlas, biar Nenek Asih tenang di sana," hibur Barra seraya menepuk bahu Intan.

Hanya menepuk. Karena Intan ... bukanlah makhromnya.

"Enggak, Kak. Nenek masih hidup. Ayo Kak bangunin, ini Nenek cuma tidur doang."

"Intan ...."

"Tapi Nenek, Kak," rintih Intan.

"Sedih boleh, wajar banget malah. Tapi jangan berlarut. Ayo sekarang kita urus Nenek biar diperlakukan segimana mestinya," Intan mengangguk.

Edo berjalan ke rumah pak RT, dan ke mushola terdekat untuk menyiarkan kematian nenek Asih.

Intan masih menangis, biarlah. Biar dia lega.

Barra menatap tubuh nenek Asih yang sudah ditutupi kain. Dan memikirkan obrolannya beberapa minggu lalu saat pulang dari puskesmas mengantar nenek Asih yang sakit.

"Nenek takut," kata nenek Asih tiba-tiba.

Barra sedang menemani nenek Asih sambil menunggu Intan pulang sekolah.

"Takut kenapa, Nek?"

"Kalau Nenek enggak ada, nanti Intan sama siapa. Dia masih muda gitu. Kasian nanti hidupnya," Barra mengerutkan jidatnya.

"Nenek kok ngomong gitu, Nenek sehat terus makanya biar bisa jaga Intan," kata Barra akhirnya. Bingung dia mau menimpali ucapan nenek seperti apa.

"Enggak, Nak. Nenek tau umur Nenek udah enggak lama lagi," nenek Asih terbatuk. "Kasian Intan," kata nenek Asih lagi.

"Barra yang jaga dia, Nek. Nenek tenang aja. Intan itu udah kaya adik buat Barra, mirip sama Rere," ucapan Barra membuat bibir nenek Asih tersenyum.

"Rumah ini," nenek memperhatikan rumahnya yang sudah reot "nenek berikan untuk Intan. Tolong kamu urus ya."

Barra mengangguk. "Iya nanti Barra urus semuanya."

Sekarang Barra mengerti, ucapan nenek Asih beberapa minggu lalu adalah sebuah tanda.

Sebuah permintaan.

Permintaan nenek Asih kepada Barra untuk menjaga Intan.

Innalillahi wa innailahi rojiun.
Selamat jalan, nenek Asih.
Semoga ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah swt.

○●○●○

Mau ngerjain tapi enggak tega. Haha.

Jangan terlalu serius ahh. Jomblo sampai halal bakal selesai di wattpad. Percayalah.

Buat para siders sekalian, kalian enggak ada niat memperkenalkan diri aja?

1 April 2017
Ayas.

Jomblo Sampai Halal [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang