Part 7

38 4 0
                                    

I DON'T BELIEVE

Malam ini acara pertemuan Mama-Papaku dengan teman SMA mereka tiba. Mama dan Papa sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu spesial mereka. Sedangkan aku hanya bertengger di kamar. Kubiarkan mereka sibuk. Aku tidak mau ikut andil membantu mereka.

Aku sama sekali tak menginginkan pertemuan ini terjadi. Sepanjang hari aku berharap semoga tamu itu tidak jadi datang. Aku berharap semoga ban mobil mereka bocor, atau ada keperluan mendadak, atau salah satu dari mereka mendadak mulas. Pokoknya apa saja, yang penting mereka tidak pernah sampai di rumahku.

Namun harapanku pupus ketika kudengar suara klakson mobil di depan rumahku. Sial! Mereka datang! My nightmare.

Aku yang sedari tadi berdiam diri di kamar, keluar dari persembunyianku. Aku mengintip mereka dari ruang tengah. Kulihat Mama dan Papa menyambut tamu itu. Seorang laki-laki seumuran Papa dan istrinya seumuran Mama. Mereka bilang kedua tamu itu adalah teman akrab mereka sewaktu SMA.

Hanya dua orang itu yang kulihat. Aku masih mencari sesosok laki- laki yang pastinya lebih muda dari mereka berdua. Laki-laki yang akan dijodohkan denganku.

Tadi Mama bilang mereka akan membawa anaknya. Tapi dimana dia? Aku tidak melihat batang hidungnya? Aku penasaran, seperti apa rupanya laki-laki yang akan dijodohkan denganku?

"Kezia.. sini, dong. Jangan disitu terus." Mama memanggilku.

Rupanya Mama menyadari sedari tadi aku mengintip.

Walau enggan, aku melangkah ke ruang tamu.

"Ini Kezia, anakku." Kata Mama mengenalkanku pada temannya,..Tante Cecil.

"Udah gede ya, anakmu. Dulu terakhir ketemu kayanya anakmu masih kecil. Aku sampai pangling." Komentar Tante Cecil yang kubalas dengan senyum kecutku. Sulit sekali memunculkan senyum tulus dikala hati sedang kalut.

"Mana anakmu, Cil ? Kok belum kelihatan?" tanya Mama.

"Sebentar, anakku lagi ngambil HP nya yang ketinggalan di mobil."

Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki di ambang pintu rumahku. Laki-laki itu tingginya sekitar 170 cm, putih, tampan, dan . . . berjaket biru gelap. Aku terkejut melihat lelaki yang juga terkejut melihatku. Rasanya aku hampir tak mempercayai pengelihatanku. Itu kan. . .

"Dikky?" Gumamku pelan.

"Apa, Kezia?" tanya Mama yang ternyata mendengar gumamanku.

"Enggak, nggak papa." Sahutku masih syok.

Tante Cecil juga menyadari gelagat aneh anaknya saat melihatku.

"Kamu kenapa ngelihatin Kezia kaya gitu? Kamu inget dia?"

"Iya, kita pernah ketemu." Kata Dikky.

Aduuh . . . nih cowok pake acara ngaku segala lagi!

' "Enggak. Kita nggak pernah ketemu sebelumnya." Ujaku cepat- cepat.

Mama mengerutkan dahi menatapku. "Masa kamu nggak inget dia, Kezia? Dia kan..."

Tiba-tiba aku mendengar ponselku berdering.

"Ma, aku ngangkat telepon bentar ya." Kataku sebelum Mama sempat menyelesaikan ucapannya. Tanpa menunggu Mama bicara lagi, aku berlari ke kamar.

Dengan segera ku sambar ponselku, melihat siapa yang menelpon. Ternyata Aldy. Aku tersenyum senang. Tahu saja dia kalau aku sedang membutuhkan seorang penyelamat.

"Halo, Sayang!" Sapaku ceria.

"Halo juga, Sayang. Kok kayanya kamu sumringah banget?" tanya Aldy.

I'm Sorry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang