05

18.8K 1.2K 73
                                    

One Call Away, Charlie Puth

"Gimana Dek rencana selanjutnya?" kode Leo kepada adiknya.

Keita berfikir beberapa menit. Mulutnya masih mengunyah kripik pisang sambil mencari ide. Setelah tahu tidak menemukan jawaban, ia membuang napas sambil menjawab, "Nggak tau kak, aku juga bingung."

Ingat kenapa mereka menggunakan aku, kamu, adik, kakak?

Ya, karena saat ini mereka berada di ruang keluarga. Di mana, ada mamanya yang sedang menatap layar laptop dengan kacamata baca.

Mau tidak mau, mereka dituntut menyembunyikan sifat asli. Selain itu, tidak bicara se-vulgar mungkin tentang rencana mereka untuk mengusir korbannya.

"Rencana apa sih, Kei?" tanya mamanya dengan pandangan lurus ke laptop dan tangan yang masih mengetik.

Nah kan. Bahkan disaat seperti itu mamanya masih bisa menyimak percakapan antara antara anak bungsu dan sulung.

"Itu Ma, kan ada pemilihan anggota OSIS nantinya, terus Keita dicalonin gitu. Tapi kan Mama tau, Kei paling males kalau disuruh pidato atau yang berhubungan dengan orang banyak," jelas Kei yang sepenuhnya berdusta.

Mana mungkin, Keita yang belum genap 24 jam menduduki bangku di kelas X-2 langsung dicalonkan menjadi anggota OSIS. Kecuali ia punya kenalan orang dalam.

Semua ini adalah cara untuk menutupi rencananya dari wanita berkepala empat itu.

"Ya udah, kan bagus kalau kamu jadi anggota OSIS. Bisa belajar sosialisasi ke sesama." Farah mengambil cangkir yang berisi teh di dekatnya. Kemudian meminumnya perlahan karena asap masih mengepul dari cangkir berwarna hijau itu.

Keita memasang ekpresi kesal. Omong-omong, ini masih bagian dari akting. "Kalau Kei mau, Kei langsung daftar jadi ketua daripada anggota."

"Wiih, kamu mau jadi ketos, Dek? Belajar dulu sama masternya, si Femma Ardian." Mendadak Leo menjadi promotor untuk temannya.

Itu semakin membuat Keita kesal, mengingat kejadian saat MOS kemarin, juga sikapnya yang sok tegas yang mengarah ke berkuasa.

"Jangan ngomongin, Femma!" ketus Keita. Kali ini bukan karena akting, tapi apapun yang berkaitan dengan Femma pasti membuatnya berapi-api. "Aku kesel sama ketos yang kakak banggain itu. Seenaknya aja ngehukum orang."

"Itu karena kemarin kamu telat. Aslinya dia baik, Kei," ucap Leo, yang masih melakukan pembelaan.

"Apa sih untungnya ngebelain dia? Dengan nyuruh lari 35 putaran buat Kei, sedangkan hukuman buat anak lain cuman minta tanda tangan?"

Leo menggaruk kepalanya bingung. "Kok jadi kakak sih yang dimarahin."

"Makanya jangan belain si Femmanji—" Keita menutup mulutnya dengan gerakan cepat saat menyadari Mamanya masih ada di jangkauan mereka. "Maksud Kei, Femmandibularis."

Leo mengernyit, menyingkirkan sejenak ponsel pintarnya. "Mandibularis? Itu apaan?"

"Ini nih, anak IPA kw. Ngakunya IPA tapi istilah itu nggak pernah denger. Kebanyakan main COC sih," sindir Keita. Mamanya hanya menggelengkan kepala mendengar percakapan mereka.

"Eh nggak usah bawa-bawa COC bisa kali," sengit Leo.

"Yaudah sih gitu aja marah. Kalau pengen tau cari di google apa itu glandula submandibularis."

"Ya kalau kamu tau, langsung jawab apa susahnya."

Keita pura-pura tak mendengar. Suara dering telepon yang berbunyi membuat mamanya menghentikan aktivitas dan beranjak untuk mengangkat panggilan itu.

Flower Crown [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang