Dua Sisinya

17.6K 1.3K 10
                                    

Bab 2. Dua Sisinya

Seharian yang kulakukan adalah berpikir bagaimana pergi dari tempat ini, lewat jendela? Tentu saja tidak, karena aku masih sayang nyawaku. Siapa pula orang yang mau loncat dari lantai dua dan dibawahnya ada pagar dengan ujung runcing diatasnya, kecuali ia tidak sayang lagi dengan nyawanya. Lalu aku harus bagaimana? kesal dengan pikiranku sekarang yang selalu bertemu dititik yang sama yaitu tidak menemukan apapun. Ada tidak cara melarikan diri tampa harus mengorbankan kakiku atau anggota tubuh yang lain. Huff...

Benang merah telah menghiasi langit, memanggil burung-burung pulang kesarangnya. Tak terasah hari telah beranjak malam, diiringi tubuh yang kian lemas. Semenjak aku disini, tak pernah sekalipun aku memasukan makanan kedalam tubuhku. Baik itu makanan yang di berinya kemarin ataupun pembantunya siang itu. Aku berguling ke kanan. Tempat tidur ini sangat nyaman dan empuk sekali. Rasanya aku ingin tidur seharian. Tapi dalam kondisi sekarang, kesadaranku sangat dibutuhkan. Laki-laki itu bisa saja melakukan yang tidak-tidak jika aku dalam keadaan tidak sadar.

Pintu itu terbuka menampilkan sosok kemarin namun dengan pakaian berbeda. Kemeja biru dan celana hitamnya tak mampu menutupi otot-otok yang tersembunyi dari balik lengannya. Seperti deja vu ia membawa baki makanan dengan lauk yang berbeda dengan kemarin. Pandangannya mulai menggelap dan rahangnya tampak mengeras manakala ia melihat beberapa baki makanan di nakas maupun di ranjang yang tak ku sentuh. Perlahan ia melangkah dan mendekati ranjang tempatku duduk sekarang. Di letakkannya baki makanan yang ia bawa di ujung ranjang. Dan baki-baki sebelumnya ia singkirkan ke lantai.

"Makan!" Ia mendorong baki itu mendekatiku.

"Tidak mau." Jawabku keras kepala. Walau nada suara yang terdengar lemah.

"Kubilang makan. Jangan sampai kata ini kuucapkan untuk ketiga kali." intonasinya halus namun sarat akan ancaman.

"Kenapa kalau tiga kali? Bahkan jika kau mengucapkan untuk seratus kali! Aku tidak akan menurutinya. Bagiku makan atau tidak, aku tetap akan mati, jadi percuma bukan?!" Aku balik menantangnya.

Ia nampak menipiskan bibirnya, "Kau ingin mati?" Kakinya naik ke atas ranjang.

"Kau mau apa?" Tanyaku menyelidik. Susah payah aku bangkit duduk diatas tubuh lemah ini.

"jika kau menginginkannya, akan ku kalbulkan."

Ia merangkak mendekatiku, lalu di tariknya pergelangan kaki hingga tubuhku berada dibawanya. Diikat kedua tanganku disisi kepala dan kakiku ditekan oleh kakinya. Ia mengeluarkan pisau dibalik sakunya. Mataku membelalak melihatnya. Pisau itu berkilat ketika cahaya bulan menimpanya. Tubuhku semakin memberontak ketakutan manakala pisau itu mendekat kearahku. Seakan sia-sia saja aku memberontak, tubuhku yang lemas semakin lemah dan pria yang ada diatasku tidak bisa kulawan karena tenaga tidak seimbang. Pasrah dengan apa yang akan dilakukannya padaku, seakan harapan tidak ada lagi. Kuputuskan untuk memejamkan mataku, tak kuat rasanya melihat pisau itu akan mengoyak tubuhku. Kusiapkan tubuh untuk menerima kesakitan yang tidak akan lama lagi datang. Lama aku menunggu pisau itu mengenaiku, namun yang kutunggu tak kunjung datang.

Hening, tidak terjadi apa-apa, tidak ada darah yang berceceran, hanya deru nafas kami yang semakin memburuh. Kubuka mata dan bertemu dengan sepasang Mata hitam yang menatapku dengan sorot lain, aku yakin mata itu yang tadi menatapku dengan amarah didalamnya tapi sekarang terasa lain. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan di balik tatapannya. Kerinduan, cemas dan khawatir yang kupandang dalam kornea matanya. Apa ini hanya terkaanku belaka? Atau memang adanya? Entahlah tatapan itu seakan membiusku untuk terus menatapnya. Ku alihkan pandangan ke sisi kepala untuk menghindari tatapannya, terlihat pisau menancap di samping kepalaku yang membuat rasa takut itu muncul kepermukaan dan membuat jantungku bekerja cepat. Adrenalinku terpacu kembali beserta deruh nafas yang semakin memburu. Tangan besar itu memegang daguku untuk terus menatapnya. Suara lirih dipenuhi keputus asaan menyadarkanku dari pikiran kalut yang baru saja menerjangku.

"Apa yang kau lakukan padaku?"lirihnya.

Belum sempat aku bertanya atas kebingunganku. Sesuatu yang lembab dan basah telah menempel dibibirku. Membungkam pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenakku. Membuatku tak bisa membedakan ilusi dan nyata.

Malam tengah merangkak , menampilkan bulan yang tengah penuh akan sinarnya. Bintang-bintang menghiasi langit malam yang kelam. Angin-angin berbisik membelai dedaunan. Menjadi saksi bisu apa yang terjadi dengan keturunan adam dan hawa.

*******

Tak lupa selalu kuucapkan terimah kasih atas yang sudah membaca, karyaku yang abal-abalan ini^ ^

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang