19. Kematian Beruntun
"Kita belum berkenalan, namaku Diego. Namamu Rin, kan?"
"Ya." Aku mengangguk kaku.
"Laras pernah bercerita padaku tentangmu, di malam sebelum kematiannya."
Aku menoleh, memandang wajah Kakak Laras yang menatap lurus ke depan. Wajahnya masih berhias senyum. Tapi, aku merasa tidak nyaman baik dengan topik pembicaraan ataupun dengan yang lain.
"Katanya, di kelas ada seseorang yang beberapa kali menolongnya. Seseorang itu menolong Laras secara diam-diam. Dari roti yang ada di bawah laci meja saat bekalnya jatuh, guru olahraga yang memperbolehkan dia tidak berlari karena punya penyakit, dan orang yang memanggil satpam untuk membuka gudang saat Laras terkurung. Ekspresi adikku terlihat berseri-seri. Ketika mengatakannya, dia sangat senang. Tapi, dia tidak tahu orangnya. Dan hari itu, setelah pulang sekolah ia tahu siapa orangnya. Namanya Rin. Murid biasa di kelas. Ketika orang ikut membully adikku, gadis itu tidak ikut. Saat seisi kelas mentertawakannya, gadis itu hanya diam. Dan waktu dirinya di jahili, gadis itu datang dengan sembunyi-sembunyi untuk menolong. Itu kau, kan? Terimah kasih sudah menolong Laras."
Aku menundukkan kepala. Melihat kedua tanganku yang saling menaut. Itu benar. Itu diriku. Pengecut yang datang setelah kejadian. Tapi, Laras justru menganggapku bak pahlawan. Dan aku tidak tahu, dia tahu darimana itu diriku.
"Aku merasa itu bukan hal besar. Aku hanya tidak terbiasa melihat hal yang bertentangan dengan isi hatiku. Dan jujur, aku merasakan penyesalan pada kematian Laras. Aku bisa saja membantunya pada saat itu. Tetapi, aku tidak melakukannya. Maaf aku sangat menyesal."
"Tidak apa, kurasa Laras tau kesanggupan setiap orang. Kau membantunya pun, aku sangat berterima kasih. Kematian itu adalah takdir. Tidak ada satu pun yang bisa mengubah kematian seseorang. Termasuk kau, Rin."
Entah, ini perasaanku saja atau bukan. Perkataan itu seakan menyindir sekaligus memberi peringatan. Bahkan aku sempat terbesit pembunuhnya adalah Kakak Laras. Pemikiran konyol dari mana itu. Itu jelas tidak mungkin.
"Walau kematian Laras, membuatku dan ibu tidak rela tapi kami sebagai manusia hanya bisa merelakan. Itu takdir dari tuhan."
"Oh, maaf. Aku berbicara terlalu jauh. Sampai-sampai tidak terasa gerbang perumahan sudah lewat. Aku turunkan di halte saja ya atau sampai rumah." Tambah Diego.
Aku dengan cepat langsung menjawab," Di halte saja."
Berdekatan dengan Kakak Laras memunculkan perasaan tidak nyaman. Dan terjebak dengan dia lebih lama, tidak terima kasih.
✍✍✍
Aku melihat layar handphone. Kedua alisku sontak mengernyit. Ada sebuah pesan dari nomor Ilda. Bagaimana mungkin? Orangnya saja baru meninggal. Tetapi, apakah ini benar-benar Ilda? Atau rohnya?
Penasaran, aku membuka isi pesan itu. Pesan itu berisi beberapa gambar dan video. Mataku langsung membelalak melihatnya. Dari mana dia mendapatkan ini? Apakah ini ulah salah satu keluarganya? Mau apa mereka?
Aku segera menelpon nomor itu. Di dering ketiga handphoneku baru diangkat.
"Siapa kau? Apa mau mu? "
" ... Mauku? " ini suara perempuan, "kau mati dan bergabung dengan temanmu."
"Katakan siapa dirimu?!"
"Untuk apa? Toh kita tidak saling kenal. Dan aku tak mungkin melakukan hal bodoh itu."
"Kau mau mengancamku dengan video itu? Berapa uang yang kau inginkan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Mystery / Thriller"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...