Bab 7. Teman Sebangku
"Kau bisa duduk di kursi yang kosong, Arga."
"Baik, Bu."
Jangan kemari. Aku mohon, jangan duduk di sebelahku.
Dan tentu saja, permohonanku tidak terkabul. Laki-laki itu berjalan ke barisanku. Menuju ke arah belakang. Dengan mata menghunus tajam menelitiku. Lalu berhenti di seberang meja. Aku memejamkan mata seraya menarik napas saat ia menaruh tas di bangku sebelahku dan duduk disana. Pandangannya masih lekat terarah padaku. Saat guru sedang sibuk membahas materi pelajaran kemarin dan para siswa sibuk mengeluarkan buku. Arga, dengan pikirannya yang tak pernah bisa ku tebak. Mengambil tanganku dan meremasnya pelan. Tubuhnya mendekat dan berbisik rendah.
"Aku merindukanmu. Tolong, jangan berbalik dan pergi dariku lagi. Itu sangat menyakitkan."
Kepalaku menoleh. Dalam jarak wajah yanh sangat dekat. Aku menelisik ekspresinya, sungguh sia-sia. Arga adalah sosok yang takkan pernah bisa ku pahami. Wajahnya datar. Hingga tidak bisa membedakan, apakah ucapannya serius atau tipuan lainnya. Walau ia tidak pernah berbohong padaku. Matanya kelam yang menenggelamkan aku sampai ke dasar. Tersesat dalam iris kelam laki-laki itu. Dan mencari sesuatu tanpa tau apa yang sebenarnya ku cari.
Tanganku masih tergenggam. Terasa hangat. Tidak bergetar seperti dulu. Kala aku menatap sosok ini dengan ketakutan. Namun, rasa takut itu sendiri tidak hinggap di hatiku, mungkin sejak tragedi itu sudah hilang. Bibirku membuka. Ingin mengatakan sesuatu. Tapi otakku buntu, tak tau jawaban apa yanh pas untuk membalas ucapannya. Marahkah? Kesal? Sedih? Atau justu aku ... menyesal? Dan akhirnya bibirku hanya terbuka tanpa sepata kata. Ku lihat matanya menurun mengamati bibirku. Lama ia menatap disana. Sampai rona merah merangkak di pipiku dan aku mengatupkan bibir. Matanya kembali memandangku. Tapi, aku justru membuang wajah.
"Coba kalian buka halaman seratus tiga puluh. Dan selesaikan soal disana. Nanti kumpul di meja ibu. Ibu ada rapat sebentar."
Aku meloloskan tanganku darinya. Degub jantungku masih terdengar kencang. Meneguk saliva, aku berusaha meredam gugup yang menggetarkan kedua tangan. Dengan mengalihkan ke arah lain, mengambil buku matematika di tas. Dan membuka halaman yang di perintahkan Ibu Inaya.
Di saat mengerjakan tugas, siku-ku tak sengaja menyenggol lengan Arga yang terdiam santai. Aku melirik dari ujung mata, Arga balik memandangku. Kami saling tatap. Aku mengalihkan tatapan ke mejanya yang kosong. Tidak ada buku atau alat tulis.
Aku pikir ia tidak bisa menulis karena tidak punya buku paket. Wajarkan, anak baru. Jadi, aku mendorong buku matematika itu ke tengaj meja agar ia bisa menglihat juga. Begini juga aku masih ada kepedulian antar teman.
Tak disangka, kedutan bibirnya yang ku dapat. Bagai menahan senyum di bibir tipisnya.
Kesal seperti di remehkan, aku bertanya dengan nada tidak suka, "Kenapa? Kau perlu buku kan untuk memenuhi tugas guru? Atau kau mau menjadi siswa urakan?"
"Kau tidak berpikir usia kita samakan, Rin?"
Penaku berhenti bergerak. Ku tatap ia secara keseluruhan. Wajahnya memang tampan. Tidak ada ciri yang menyiratkan dia berusia puluhan. Walau tingginya memang lebih tinggi dari anak SMA kebanyakan. Atau ini kamuflase? Bisa jadikan, ia seorang pria yang sudah berumur dua puluh ke atas namun masih awet muda. Atau Om-om yang menyamar jadi murid SMA? Rasanya tidak logis. Dan suaranya yang memanggil namaku, mengingatkan aku tentang kejadian kala ia memanggil diriku dengan sarat kesedihan sementara aku berlari menjauh darinya.
"Jangan berpikir terlalu jauh. Kita hanya berbeda dua tahun."
Lantas, kenapa dia bisa sekolah disini?
"Uang bisa mengubah segala hal yang tidak mungkin." Jawabnya seolah bisa membaca isi pikiranku.
Aku tersenyum masam. Tapi, pertanyaan yang sedari tadi berputar sejak kedatangannya belum terjawab. Jika dia sudah dua tahun lebih tua dariku. Tentu, ia pasti sudah mengenyam pendidikan. Dia tidak terlihat seperti orang susah yang putus sekolah. Atau anak yang bodoh, yang tidak naik kelas. Lalu, untuk apa dia membuang waktu dan berada disini? Tunggu, ini seperti kejadian waktu dulu. Jangan bilang dia ...
"Kau sudah tau, Rin. Kemana pun kau pergi, aku akan mencarimu. Selalu berada di dekatmu layaknya bayangan yang tidak pernah lepas. Aku akan selalu disampingmu apapun yang terjadi. Karena kau milikku. Jadi,jangan mencoba pergi lagi. Karena itu hanya perbuatan sia-sia."
Penaku terlepas. Menggelinding di atas meja kemudian jatuh berdenting di lantai. Mimpi itu nyata. Senyata aku menatap raganya yang ada di sebelahku.
Sama seperti waktu sebelum-sebelumnya. Tanggapanku hanya membisu. Terdiam dalam naungan mata coklat gelapnya yang membius. Tak tau apa yang haru ku perbuat. Otakku nyaris kosong. Dan jatungku hampir meloncat keluar ketika dia dengan beraninya. Mendekatkan wajah, mendaratkan bibirnya pada bibirku. Diantara keriuhan siswa-siswi yang sibuk mencari contekan.
✍✍✍
1 Juni 2019
Jadwal update Senin dan Jum'at
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Mystery / Thriller"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...