Perangkap

15.4K 1K 19
                                    

Bab 4. Perangkap

Suasana temaram dan gelap melingkupiku sekarang. Rasa sakit di  tangan akibat tarikannya yang menyeretku kesini dan ikatan yang kencang dibalik tiang ini, pasti akan menimbulkan bekas di tanganku jika ini akan di lepas. Darah menetes dari pelipis dikarenakan terbentur sesuatu yang keras yang tak  tau apa itu akibat pria ini yang mendorongku dengan tenaganya. Yah, dia adalah pria yang mengejarku di jalan pintas  tempo hari. Terpaan sinar dari pisau  yang ia mainkan di tangannya memberitahuku akan ada bahaya yang mengancam, cahaya yang menerobos dari ventilasi membantuku melihat dari gelapnya ruangan. Ini adalah gudang bekas dari bangungan perusahaan yang hancur, yang letaknya jauh di pemukiman. Menandakan bahwa tidak akan ada yang mendengarku jika aku  berteriak nanti.

"Apa salahku padamu? Sehingga kau ingin membunuhku?" Aku menahan isak tangis diujung lidah. Aku tidak tahan lagi. Tubuhku sudah lelah. Jika dia ingin membunuhku pun aku sudah pasrah.

"Membunuhmu? Haha itu adalah tugasku, sayang. Tadinya ku pikir sulit saat mengetahui orang itu melindungimu. Tapi ternyata ini sangat mudah, kau sendiri yang datang padaku."

"Orang itu? Maksudmu siapa?" Tanyaku mengulur waktu.

"Orang yang kau sebut sebagai penjahat.  Aku juga tidak mengerti kenapa ia melindungimu, tadinya ku pikir ia akan membunuhmu. Tapi ternyata salah. Aku tidak tau apa yang membuatnya mati-matian melindungimu, asal kau tau orang itu jauh lebih sadis dari padaku. Aku sampai mengidolakannya. Banyak yang telah ia bunuh dengan kedua tangannya, jika kau sudah menjadi targetnya. Jangan berharap kau bisa lolos. Ke ujung duniapun akan ia kejar. Aku sampai iri, bahkan ia memiliki julukan "bayangan" seakan ia selalu di sekitar targetnya tanpa mangsanya sadari. Tapi sekarang ia seakan ditelan oleh bumi, tidak yang tau dimana. Namun sekarang aku menemukannya." Mata itu berbinar-binar dengan senyuman mengerikan.

"Tolong maafkan aku, kumohon." Hibaku seraya menangis. Tidak ada yang ingin dibunuh, termasuk diriku. Aku masih berharap dia mempunyai setitik rasa iba dihatinya.

"Sayang sekali gadis kecil, ibu tirimu yang gila harta itu menginginkanmu mati. Haha... tapi sebelum aku membunuhmu bagaimana jika aku mencicipimu." Aku mengernyit jijik mendengarkannya. Ia mendekatkan wajahnya kearahku, kesempatan itu tidak kubuang dengan pecuma . Kuludahi dia dan mengenai pipinya.

"Brengsek! Kau berani sekali padaku." Ia terlihat murka.

Sebuah pukulan mengenai rahangku, membuat cairan kental berwarna merah mengalir dari sudut bibir ini. Belum sudah redah sakit yang ia pukul di wajahku, sekarang dengan tangan besarnya ia tarik rambutku kebelakang. Kulit kepalaku seakan ingin lepas dari tengkoraknya.

"Kau sendiri yang membuat kematianmu menjadi sulit, gadis kecil." Suaranya merendah. Ia menguatkan tarikannya.

Aku memejamkan mata kesakitan. Oh tuhan ini benar-benar sakit. Sebuah suara mengagetkan kami.

"Lepaskan dia."

Dibalik gelapnya ruangan, aku mengenal  suara ini. Dia. Dari mana dia tau aku disini? Aku membuka mataku. Melirik dari ujung mata. Ia menatapku yang terlihat mengenaskan  ini. Ada sedih disana dan juga amarah. Rahangnya tampak mengeras namun bisa terlihat di minim pencahayaan. Pandangannya kembali beralih ke pria yang menyeretku kesini.

"Waw, sepertinya pahlawanmu telah datang." Ia melepaskan cengkraman di rambutku,"aku tidak tau, kalau kau tau kami disini. Benar kata orang, kau adalah lawan yang cukup sulit di taklukkan, terbukti dari indra pelacakmu yang mengetahui kami disini. Tapi bagiku tidak." Ia menatap sombong, "Dan akan ku buktikan itu sekarang. Sebuah kehormatan bisa membunumu, Tuan Arga."

Lalu ia melesat menerjang Arga, sementara yang dihadapinya tampak santai seperti telah terlatih. Mereka saling baku hantam. Satu pukulan telak mengenai rahang Arga, ia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. Tatapan membunuh itu berkilat dikedua mata hitamnya, tangannya terkepal kencang. Ia berjalan pelan dengan wajah serius tidak main-main seperti tadi. Sementara pembunuh itu tersenyum mencemooh. Arga membalasnya dengan senyuman disudut bibirnya. Nampak mengerikan.

Aku berusaha meloloskan tanganku dari ikatan kencang tali yang memerangkap tubuhku ke tiang. Menggerak-gerakkannya agar longgar.
Sementara disana mereka terlibat perkelahian. Pembunuh itu mengeluarkan pisaunya sebagai senjata sedangkan Arga berkelahi dengan tangan kosong. Sebuah gerakkan tak terduga dilayangkan Arga kepada pria yang di hadapinya, hingga pisau yang dimiliki oleh orang itu mengenai dirinya sendiri, tepat dirusuk kirinya. Dilemparnya tubuh itu hingga membentur dinding dan jatuh berguling tak jauh dari tempatku. Mulut dan pisau yang tertancap di tubuhnya mulai mengeluarkan darah. Pembunuh itu mulai bangkit dari posisi tengkurapnya, dan melihat Arga dengan tatapan penuh kebencian. Dicabutnya pisau hingga darah mulai berceceran mengenai lantai. Tanpa sengaja mata itu menatapku yang sedang ketakutan, seulas senyum miring tercetak di bibirnya yang penuh darah. Ia berjalan menuju Arga dengan pisau dalam genggamannya, namun ketika hampir dekat ia malah berbelok kearahku. Berlari ke arahku yang tidak bisa menggerakkan tubuh. Di belakangnya Arga berlari dengan cemas, ia tidak berpikir pembunuh itu akan kearahku. Pisau itu telah terangkat  tinggi, hanya tinggal hitungan detik nyawaku akan melayang. Padahal ikatan tali itu sudah lepas dari tubuhku, namun aku terlalu syok dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Ayah, ibu sepertinya aku akan menyusul kalian. Tunggu aku.

Ku pejamkan mata,tak beberapa lama sebuah dekapan hangat dan erat memeluk tubuhku. Apa aku sudah mati? sesuatu mengenai pipiku mengalir tetes demi tetes, ini bukan air, ia lebih kental.

Apa ini...

*****

Terimah kasih telah membaca, karyaku yang abal-abalan ini ^ ^

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang