13. Kematian Laras
Jantungku bergemuruh hebat. Napasku berkejaran bagaikan orang terserang asma. Belum ada yang kuucapkan. Bibir masih terkatup kaku. Entah raip kemana rasa percaya diriku tadi. Sudah didepan kelas dan ditatap puluhan orang, yang kurasakan malah rasa gugup yang berlebihan. Tenggorokanku terasa tercekik. Ingin rasanya kabur saat mata Sano beralih ke arahku.
Sano menunggu reaksiku dengan tangan bersedekap. Suasana kelas menjadi hening. Seluruh tatapan mata terfokus pada kami berdua. Sebelum aku mengeluarkan suara cicitan menyerupai suara tikus terjepit. Dan mempermalukan diriku sendiri. Punggung Arga menutupi pandangan. Laki-laki itu berdiri membelakangiku, menyembunyikan diriku dibalik tubuhnya.
"Tidak bisa mengalahkanku lalu kau memilih perempuan menjadi sasaranmu. Aku baru tau, kau sebanci ini." Sindir pedas Arga.
Wajah Sano berganti, ekspresinya mengeras. Dan matanya memicing, "Bangsat! Jangan menghinaku! Nyatanya kau tak lebih baik dari ku! Kau itu gila! Psikopat!"
Pandangan Sano mengitari kelas, telunjuknya menuding Arga," orang yang berdiri di depan ku ini, tiga tahun yang lalu ia berada di rumah sakit jiwa! Kalian bisa mengecek namanya di rumah sakit itu. Dia gila! Tidak waras! " Teriakan suara Sano menggema seisi kelas.
Aku mematung di tempat. Walau sudah tau, tetap saja informasi itu terasa janggal dipendengaran. Sekelas terlihat berkasak-kusuk. Mereka saling berbisik. Menanyakan diteman terdekat. Padahal temannya juga tidak tau apa-apa. Gosip itu memanas, disertai bumbu-bumbu cerita. Menyebar dalam hitungan detik.
Arga tetap tenang dalam diamnya. Dan sebelum Sano berucap lagi untuk mengompori. Miss Anna masuk.
"Kembali ke tempat duduk. Dan kau, punguti barangmu." Ucap Miss Anna cuek.
Beliau memang tidak pernah peduli dengan siswa. Bahkan, jika ada yang saling membunuh di kelasnya. Ia tidak akan peduli. Yang penting materinya selesai dan ia mendapat gaji.
Aku membantu memunguti barang-barang Laras, memasukkannya dalam tas. Gadis itu nampak terkejut ketika aku menyodorkan tasnya dan inhaler. Aku menyunggingkan senyum tipis dan kembali duduk. Begitupun Laras, ia nampak berjalan ke bangkunya.
Aku menyadari, matanya sesekali melirikku. Seolah-olah tak percaya, aku menolongnya.
Sepanjang pelajaran bahasa Inggris, aku melihat Laras menelungkupkan kepalanya ke meja. Ketika bel istirahat berbunyi.
"Mau kemana? " Tanya Arga, ketika aku tergesa-gesa keluar dari meja.
"Tunggu sebentar." Seruku tanpa memberi penjelasan.
Aku berjalan ke pojokan kelas. Mendatangi meja Laras.
"Kau mau ke kantin?" Tanyaku.
Tangannya membuka celah. Kepalanya masih menelungkup. Ia tersenyum, "Tidak, terimakasih untuk bantuanmu tadi."
"Sama-sama." Aku menilik wajahnya, kulit dan bibirnya nampak pucat. Dari tadi aku ingin menanyakan keadaannya tapi aku terlalu gengsi dan malu.
"Oh, ok. Aku duluan."
Bibirnya masih menampilkan senyum. Aku menghampiri Arga yang menunggu disamping pintu kelas. Waktu istirahat berlalu dengan cepat. Banyak jam kosong sepanjang menunggu bell pulang. Dan Laras masih dengan keadaan yang sama, menelungkupkan kepala sampai jam pulang.
Tak ada yang menanyakan keadaannya termasuk diriku. Sisi pengecutku masih dominan. Apalagi melihat rombongan Sano dan Eta penghuni barisan depan.
Jika aku ke meja Laras, otomatis aku akan melewati mereka. Arga tak ada di bangkunya. Ia sedang ada di toilet. Aku benci diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Mystery / Thriller"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...