Menjauhnya Sano

2.3K 273 7
                                    

Bab 12. Menjauhnya Sano

"Siapa dia?"

"Dia teman kelasku. Kami sedang mengerjakan tugas berkelompok."

"Anggap saja Ayah percaya. Dan kau, apakah kau tidak pulang ke rumahmu? Bertandang ke rumah seorang gadis hampir malam seperti ini, itu bukanlah perbuatan yang baik."

"Maaf, saya akan pulang." Arga beralih menatapku, " Rin, maaf merepotkan. Nanti tugasnya aku lanjutkan di rumah." Ia melanjutkan kebohonganku. Benar-benar improvisasi yang bagus.

"Mari, pak." Arga menyalimi tangan Ayah dan berlalu pergi. Hingga sosoknya hilang di balik pintu.

Ayah meneguk sedikit kopinya. Ia meletakkan lagi cangkir itu ke meja, "Inilah yang membuat Ayah khawatir, Rin. Ayah tidak tau pergaulanmu disini. Dan tidak ada yang menjagamu. Ayah cemas. Kau anak perempuan Ayah. Ayah takut kau kenapa-kenapa."

"Aku bisa menjaga diri Ayah dan melindungi diriku sendiri."

"Tapi, wanita tetaplah wanita. Mereka lemah. Kau mungkin bisa menjaga diri, tapi lingkunganmu tidaklah lemah Rin. Ada banyak kejahatan di luar sana yang tak bisa kau tandingi. Ayah cemas memikirkanmu. Pulanglah nak. Ibumu juga mencemaskanmu."

"Dia bukan ibuku."

"Apakah kita akan membahas ini terus?"

"Ya, selama Ayah masih tidak percaya. Aku tetap akan pada pendirian."

"Ayah tidak pernah melihat ibumu berlaku buruk padamu. Kau mungkin salah orang. Jangan terlalu percaya gosip."

"Ini bukan gosip Ayah. Aku sendiri yang mengalaminya! Apa jika aku mati dihadapan Ayah, baru Ayah akan percaya?"

"Jangan berkata seperti itu, Rin! Ayah tidak suka. Jika ibumu berlaku buruk sebutkan apa yang pernah dia lakukan padamu. Apa dia pernah memukulmu?"

"Tidak."

"Berlaku tidak adil?"

"Kadang-kadang."

"Berlaku jahat saat Ayah tidak ada?"

"Dia sering membedakan aku dan putrinya."

"Baiklah, Ayah akan menegurnya. Selain itu?"

"Tidak ada."

"Tidak ada lagi yang perlu dicemaskan kan? Ayo pulang."

"Tidak. Ayah tidak mengerti."

"Kalau begitu jelaskan."

"Dia mengirim pembunuh untuk membunuhku. Agar bisa mendapatkan seluruh harta Ayah."

"Kau terlalu banyak nonton sinetron, Rin. Hanya gara-gara kau tidak suka, lantas kau mengarang cerita?"

"Ini benar-benar nyata Ayah. Bukan karanganku!"

"Ah sudahlah, dijelaksan sampai mulutku berbuih juga Ayah tidak akan paham. Pokoknya aku tidak mau pulang."

"Rin, hanya kau yang Ayah miliki, nak. Kaulah harta yang paling berharga buat Ayah.

Aku tetap dengan kebisuanku. Sampai Ayah menghela napas lelah. Meletakkan uang bulanan, mengecup dahiku, dan pergi bersama mobilnya ke kota.

Aku menaruh kepalaku di meja. Merasakan dinginnya kaca menempel di pipiku. Dengan pikiran kusut.

✍✍✍

Hari-hariku setelahnya menjadi tidak sepi lagi. Setiap hari diiringi perdebatan dengan Arga. Baik masalah kecil lalu dibesar-besarkan. Atau penolakan akan keberadaan dirinya. Dan ujung-ujungnya aku yang akan menjadi pihak yang mengalah. Seumpama kebiasaannya yang sering tidur di kasurku dan memeluk diriku kala tidur. Aku tidak bisa menolak karena dia selalu melakukannya pada waktu yang tepat. Misalnya saat bawaan aku mengantuk atau antara sadar dan tidur. Lalu setelah paginya, aku akan meminta Arga untuk tidak mengulangi kegiatan itu lagi. Tapi, percuma. Keesokan malamnya, ia akan melakukannya lagi. Dan aku tidak bisa mencegahnya. Kadang-kadang juga aku menikmatinya. Inilah yang membuatku kesal pada diri sendiri.

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang