Bab 9. Lawan atau Kawan
Ketika waktu istirahat tiba. Aku dan Arga berada di atap. Laki-laki itu yang membawaku kemari. Dengan sekantung makanan yang dibeli di kantin dan salep. Sebelah tanganku memegang donat dan tangan kiriku diatas pangkuannya. Sedang di olesi gel yang terasa dingin ketika diserap kulit.
Rencana awal menjauhinya, pupus sudah. Karena aku sedang butuh orang sekarang. Tangan yang tadi di tarik Sano nampak memar dan berdenyut sakit. Namun, sekarang tengah di obati Arga. Pria itu tak banyak bicara. Hanya diam seraya meniupi pergelangan tanganku. Malu sih, tapi enggan menarik tangan. Baiklah, aku jujur. Aku suka perhatiannya.
Aku kembali menggigit bagian donat. Mengunyah perlahan sambil kepalaku melirik sekitar. Tidak ada apapun di atap ini. Bahkan sampah. Hanya ada dedaunan pohon yang mengering berasal dari pohon besar yang menjulang tinggi di samping gedung. Sehingga daun-daun yang harusnya jatuh ke tanah malah terbawa angin kemari. Yang berarti atap ini jarang di singgahi orang atau tidak pernah sama sekali.
Tak terasa, donat di tanganku sudah raip ke perut. Tapi perut ku belum kenyang. Aku mengambil satu donat lagi di dalam kantung. Dan kembali memakannya. Ku lihat Arga menutup tutup salep. Artinya tanganku sudah di obati. Aku menarik tanganku dan meletakkannya di atas rok.
Mata Arga mengamatiku.
"Kau ... mau?" Aku mendorong kantung yang masih tersisa beberapa jenis makanan ringan ke arahnya. Padahal itu memang miliknya. Dan dia yang membeli, dengan uangnya dan tanpa malu, aku yang memakannya. Salahkan Arga kenapa dia menarikku kesini, seharusnya jam istirahat ini aku ke kantin dan mengisi perut.
"Aku tidak suka makanan manis."
"Tapi, kau belum makan apapun."
Arga menarik tipis sudut bibirnya mendengar ucapan khawatirku. Sementara aku menyesalinya. Harusnya aku tidak peduli saja. Namun, kenapa kata itu yang keluar? Arrrggg... kesal.
"Baiklah, aku akan makan sedikit."
Aku mengira, dia akan mengambil makanan di kantung kresek yang sudah ku dorong ke dekatnya. Nyatanya, tangan Arga menarik tanganku yang memegang sisa donat. Aku terlalu terkejut hingga membiarkan apa yang Arga lakukan. Mulutnya membuka dan meraup semua sisa donat itu dalam sekali suapan. Dan yang membuatku hampir mati berdiri, disertai rasa geli di perut, bibirnya mengulum jariku. Lidahnya menyentuh kulit. Entah sengaja atau tidak. Jariku terasa hangat dan lembab bahkan setelah ia melepaskannya. Dan mengunyah donat itu perlahan. Matanya membidikku lekat.
Wajahku terasa terbakar. Bukan karena sinar matahari yang mulai naik. Atau angin yang bertiup kering. Ini murni dalam diri. Aku cepat-cepat memalingkan wajah. Jantungku bergemuruh hebat. Tangan bergetar pelan. Menelan ludah terasa sakit bagai menelan sebongkah kerikil. Rasanya aku mau sembunyi ke tempat dimana Arga tidak bisa menemukanku.
Aku berdiri, mengepalkan tangan, "Ak--aku mau ke kelas."
Dan tepat selesai perkataanku, bel tanda istirahat berakhir berdering. Arga ikut bangkit.
"Ayo."
Aku memejamkan mata dan menarik napas. Rencananya aku mau sendiri. Untuk menenangkan diriku sebentar. Tapi waktu seakan berkomplot untuk membuatku malu dan gugup berkepanjangan. Semoga habis pulang dari sini, aku tidak terserang penyakit jantung.
Aku berjalan dengan langkah panjang. Sengaja, untuk tidak dekat-dekat dengan Arga. Dan pria itu seolah membiarkan. Walau ia mengiri langkahku di belakang.
Saat aku memasuki kelas, banyak tatapan tertuju padaku. Kebanyakan perempuan. Aku tidak bisa mengartikan lirikan mereka. Ekspresi mereka terlalu beragam. Dan aku bingung menerjemahkannya.
Fina, siswi penghuni bangku didepanku. Melirik bangku di sebelahku yang masih kosong lalu pandangannya mengedar seperti mencari. Paham apa yang dicarinya, aku hanya diam. Mendekatkan kepala. Ia berbisik kecil, "Kalian saling kenal?"
Aku tau siapa yang ia maksud, jadi aku menggeleng lalu menoleh ke arah lain, "Tidak."
"Tapi, kalian tampak akrab?"
"Dia kan teman sebangku ku."
Fina manggut-manggut. Kemudian matanya melirik rombongan Eta, Aci dan Ilda, "Aku dengar, Eta mau menargetkan Arga jadi cowoknya. Katanya sih cinta pada pandangan pertama. Dan dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Arga. Kau taulah cara Eta. Aku hanya memperingati. Aku tidak mau ada Laras kedua. Dan melihat seseorang diperlakukan tidak manusiawi didepan matamu. Tapi, kau tidak bisa berbuat apapun."
"Terimah kasih."
Fina tersenyum. Ia kembali ke kursinya lalu berbincang dengan teman sebelahnya. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab denganya. Hanya karena sering satu kelompok tugas dan dia dekat dengan mejaku. Bukan berarti kami dekat. Pembicaraan kami pun tak lebih seputar sekolah dan tugas. Karena aku memang tak dekat dengan siapapun di kelas ini. Mereka semua hanya teman sekelas. Bukan teman dekat untuk berbagi cerita.
Aku orangnya sulit bersosialisasi. Tapi, untungnya nasibku masih baik dari Laras. Tidak ada yang membully ku kecuali Sano yang sering bermain-main dan membuatku kesal.
Arga baru muncul dari kelas. Tak tau apa yang menahannya di jalan. Ia duduk di kursi sebelah. Baru semenit dia duduk disana. Eta dengan wajah habis berbedak. Mendatangi meja Arga. Berdiri di sebelah meja itu seraya memasang senyum lebar-lebar hingga terlihat barisan gigi. Seolah menunjukkan ada dua gigi ginsul di mulutnya. Beberapa orang mengamati penasaran termasuk aku. Walau aku berpura-pura membuka buku.
"Hai, kita belum berkenalan. Namaku Eta Septiana." Eta mengulurkan tangannya.
Berharap mendapat uluran yang sama. Namun, yang kulihat justru hal sebaliknya. Arga menatap wajah Eta yang berhias senyum lalu ke arah tangannya yang terulur. Tanpa ada niat membalas jabatan tangan bahkan senyum tipis sedikit saja, pria itu dengan coolnya mengeluarkan handphone. Memasang earphone di kedua telinganya dan menyalakan lagu seraya bersedekap. Dengan tatapan mata lurus ke depan.
Aku hampir menyemburkan tawa jika tidak ada guru yang baru masuk. Eta ke kursinya dengan raut sebal ditambah hentakan kaki. Beberapa orang yang menjadi pengamat nampak tertawa kecil.
Waktu bergerak cepat. Tak terasa bel pulang telah tiba. Aku menyampirkan tas. Arga lebih dulu keluar dan berdiri di samping meja. Aku pikir dia sengaja keluar lebih dulu biar aku tidak susah keluar dari kursinya tapi ternyata ketika aku berjalan menuju pintu kelas, Arga melangkah beriringan di sampingku. Ia menungguku.
Menyadari itu aku menundukkan kepala. Dan berusaha mengabaikan perhatian kecil ini. Keluar dari gerbang mataku menangkap rombongan Sano yang nongkrong di warung pinggir jalan. Disamping kiri bangunan sekolah namun terpisah dua rumah. Ada beberapa motor terparkir di depan warung yang ku yakini milik Sano and the geng. Mereka sedang merokok dan menunggu sesuatu. Dan saat Sano melihat ke arah kami. Ia melemparkan rokoknya ke tanah dan menginjaknya. Ia berdiri dan naik k atas motor di ikuti temannya yang lain.
"Aku tunggu di bekas gedung footbol jalan xxx." Sano menunjuk Arga yang berdiri di sampingku. Lalu lenyap menyisahkan asap knalpot tebal.
Aku melirik Arga, berharap dia mengatakan sesuatu. Namun, sayangnya Arga tetap menjadi sosok Arga yang pendiam. Menyimpan masalahnya seorang diri.
Hingga sampai di depan pintu rumahku. Ia juga tetap bungkam. Aku mulai risau tapi masih gengsi untuk bertanya.
Saat ia beranjak, aku menarik ujung seragamnya. Menahannya ia pergi. Arga menatapku bertanya. Aku menundukkan kepala.
"Kalian mau berkelahi?"
Namun bukan jawaban menenangkan yang aku dengar melainkan usapan di kepalaku.
"Kunci semua pintu dan jendela." Ujarnya. Melepas tanganku dan benar-benar pergi.
Jika dulu dia mengirimkan ketakutan sekarang, aku merasakan kekhawatiran.
✍✍✍
3 Juni 2019Ada yang kurang?

KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Mystery / Thriller"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...