22. Masa Lalu yang Kembali Diungkit
Aku melirik sekitar, sangat ramai. Orang-orang silih berganti melewatiku seraya membawa koper. Ada yang pulang dan juga pergi. Menghela napas sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Sudah 3 menit dan Arga belum datang. Ia mungkin masih di sana, mengurus surat-surat pasport dan kepindahan. Kabut resah tak juga hilang dari wajahku. Terus berprasangka membuat otakku penuh.
Aku mengusap wajah, menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Aku berusaha membuat diriku tenang. Arga tiba setelahnya dengan menggenggam beberapa kertas dan kartu serta kantong kresek putih di tangan satunya. Dia mengambil tempat duduk di sisiku.
"Kita akan berangkat satu jam lagi. Ini, ada beberapa makanan dan minuman. Makanlah, kau perlu mengisi perutmu untuk perjalanan panjang ini."
Aku hanya mengambil sebotol aqua disana. Kekhawatiran ini membuatku tak nafsu makan. Beberapa menit diisi keterdiaman kami. Aku yang sibuk dengan pikiranku dan Arga sibuk mengetik sesuatu di handphonenya. Aku meletakkan botol yang isinya sudah setengah disampingku. Berdiri dan menoleh ke arah Arga yang juga menatapku penuh tanya.
"Aku mau ke toilet sebentar."
"Aku temani."
"Tidak usah, aku bisa sendiri."
"Tak apa, ini hanya untuk berjaga-jaga. Aku akan menunggu diseberang toilet nanti."
"Arga, aku bukan anak kecil dan kita ada di bandara sekarang!" sentakku keras dan aku langsung menyesalinya. Seharusnya, aku tidak begitu. Niat Arga baik. Akhirnya aku berkata lagi dengan tatapan tertunduk.
"Maaf, tolong biarkan aku sendiri. Sebentar saja, tidak akan lama."
"Baik."
Aku mendongak memandang Arga yang tersenyum tipis. Ia mengangguk sebagai persetujuan lalu aku melangkah pergi menuju toilet bandara.
Setelah menuntaskan panggilan alam. Aku keluar dari bilik. Mencuci tangan di wastafel sekaligus membasahi wajahku. Mukaku nampak pucat dan muram. Ketika aku berbalik, tubuhku berjengit mundur terkejut. Melihat adik tiriku di sampingku dengan pakaian santai dan topi berpin keroppi.
"Sedang apa kau disini?" tanyaku cemas.
"Aku bebas kemanapun aku mau." Ia bersedekap, menatapku dengan tatapan menyudut.
"Kenapa kau tampak panik?" Katanya lagi. Tatapan matanya meremehkan.
"Bukan urusanmu."
"Jangan pergi dulu. Urusan kita belum selesai."
"Aku tidak memiliki urusan apapun denganmu. Minggir."
"Kejadian dulu, seharusnya kau mati. Maka, hari ini aku akan menuntaskannya." Wajahnya mendekat seolah ingin mengikis keberanianku.
Namun, aku bertahan seraya mempertahankan wajah tebalku, " Aku akan teriak dan cctv ada di mana-mana. Kau akan ditangkap." Kataku penuh keyakinan.
"Tentu saja tidak di sini, Kakak Tiri. Dan bukan aku yang melakukannya. Aku hanya sebagai perantara. Ada orang lain yang ingin bertemu denganmu."
" Aku tidak peduli." Aku berjalan cepat menuju pintu namun Karin menjegalku.
Kami terlibat aksi saling tarik dan menendang. Ku tarik rambutnya agar tangannya lepas dan berhasil. Aku langsung menuju pintu tetapi Karin menyergapku dari belakang. Sebuah sapu tangan membekap mulut. Aromanya sangat menyengat. Membuatku pusing dan mata berat mengantuk. Dan akhirnya aku pasrah ketika kegelapan merenggutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Детектив / Триллер"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...