Takluknya Sang Raja Bully

2.5K 352 15
                                    

Bab 10. Takluknya Sang Raja Bully

Malam telah larut. Hatiku masih cemas. Bertanya-tanya tanpa ada satupun jawaban yang bisa menenangkan hatiku selain melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan Arga. Kenapa aku tidak menanyakan kabarnya saja? Tapi, aku tidak punya nomor handphonenya. Lagian, untuk apa juga. Bukankah aku bukan siapa-siapanya? Lalu cowok yang mencium cewek dua kali itu disebut apa?!

Ayolah, Rin. Tak biasanya kau seperti ini. Ini hanya khawatir sesama teman. Dan dia pasti akan baik-baik saja. Arga, cowok yang kuat. Ia bisa menjaga diri. Sebaiknya kau tidur dan lupakan yang bukan urusanmu. Yap, aku harus tidur. Besok aku harus bangun pagi.

Tapi, rasa kantuk itu tidak ada! Aku menghembuskan napas kasar. Mengubah posisiku menjadi telentang. Hei, otak. Berhentilah berpikir pada sesuatu yang tak penting. Baik, tidur itu cukup mudah. Cukup pejamkan mata maka rasa kantuk itu akan menghampiriku.

Apakah aku sudah mengunci pintu? Ok, sudah. Aku mengingatnya. Bagaimana pintu belakang? Rasanya sudah. Setelah mencuci piring, aku menguncinya. Jendela? Tunggu, biarkan aku mengingat. Setelah mengoleskan krim wajah, aku langsung berbaring. Astaga aku belum menguncinya!

Mataku terbuka lagi. Bangkit duduk. Dan menoleh ke jendela, rautku berubah masam melihat jendela itu sudah terkunci rapat. Ya, tentu saja sudah. Karena sebelum maghrib aku mengunci semua pintu dan jendela! Rasa cemas berlebihan ini sungguh menyebalkan!

Aku mengempaskan tubuh dan menatap jam dinding. Waktu sudah berlalu cepat. Tau-tau sudah jam setengah dua belas padahal tadi jam sepuluh saat aku membaringkan tubuh. Aku menarik selimut sampai leher, dan mulai memejamkan mata.

Eh, kompor tadi sudah ku matikan, kan?

Diamlah kau pikiran menyebalkan!!!

Berusaha tidur bagaikan sedang belajar matematika. Harus fokus dan teliti. Hingga aku merasakan keheningan panjang. Sepi yang membungkus. Dan ketenangan. Napasku menjadi teratur. Dan rasa kantuk itu hadir. Perlahan-lahan menyeretku masuk ke pusaran mimpi.

Lalu aku merasakan gerakan di sebelahku. Sentuhan ringan di kulit lengan baju tidur tipisku. Kemudian sesuatu yang menimpa perut. Dan menarikku ke dalam kehangatan. Yang semakin membuatku tenggelam dalam tidur. Dan benar-benar jatuh ke alam mimpi yang panjang seiring ku rasakan usapan lembut di kepalaku.

"Tidurlah."

Aku pernah mendengar suara ini. Namun, otakku memilih tidak ingin berpikir justru menikmati usapan halus ini dan tidur.

Pagi harinya, aku bangun dengan pikiran penuh tanya. Siapa semalam yang tidur denganku? Apakah Arga? Karena suaranya terasa mirip. Tapi, itu tidak mungkin. Untuk apa dia melakukan itu semua? Dia memang tau rumahku tapi masa sih dia? Seakan tidak ada orang lain saja. Lah, kenapa aku berharap ada penguntit gila yang tidur denganku? Ah pusing. Lebih baik aku segera bersiap untuk ke sekolah.

Ketika aku ke ruang makan. Aku menemukan omelet hangat di atas piring dan segelas susu. Ini seperti kejadian kemarin. Aku melirik sekitar cemas. Fixs, ada stalker gila yang membobol rumah ku. Aku harus menelepon ayah. Eh, bukannya aku sedang menjaga jarak dengannya? Lalu kepada siapa aku meminta pertolongan?

Pulang sekolah saja ku pikirkan. Tidak mau mengambil resiko, aku memilih pergi dan membiarkan makanan itu. Takut saja jika ada racun atau obat bius.

"Kenapa tidak sarapan?"

Aku mengangkat pandanganku dari buku. Menoleh ke samping, Arga meletakkan tasnya. Lalu duduk dan menunggu jawabanku.

"Dari mana kau tau?" Balikku bertanya. Kedua alisku menyatu heran.

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang