Game is ( Not) Over

1.9K 259 14
                                    

21. Game is (Not) Over

Hari berlalu sangat cepat. Pagi telah datang. Ini adalah hari ke tiga belas dari kematian Sano, seminggu kematian Ilda, tiga hari kematian Aci, dan kemarin aku ke rumah Eta. Jika dilihat, ini seperti rumus angka prima. Apakah kematian Eta akan terjadi hari ini?

Tapi, itu pemikiran yang tak berdasar. Sudahlah, mungkin Eta baik-baik saja disana. Sebaiknya aku bergegas ke sekolah karena setengah jam lagi bel akan masuk. Seperti biasa aku datang berdua ke sekolah dengan Arga. Heran, kenapa ini terdengar seperti rutinitas yang biasa? Apa keberadaan Arga sudah memiliki tempat tersendiri dihidup dan aku tanpa sadar sudah membiarkannya masuk dalam kehidupanku? Inilah yang tidak ku suka dari namanya kebiasaan. Kebiasaan yang akan berujung membuatku ketergantungan akan kehadirannya.

Bagaimana jika dia tiba-tiba hilang? Atau aku yang menyuruhnya pergi? Apakah aku akan terlihat seperti wanita yang depresi atau justru bergabung dengan wanita yang gagal move on? Memusingkan. Dan kenapa aku memikirkannya? Sadarlah, Rin. Kalian tidak memiliki hubungan apapun.

Aku melirik Arga yang berjalan disisiku. Akhir-akhir ini, ia sering diam. Kedua alisnya juga sering berkerut seperti sekarang. Dan seperti yang kutangkap akhir-akhir ini. Apa yang dia pikirkan? Kadang aku sering heran dengan diriku sendiri. Kenapa aku begitu penasaran dengan apa yang dipikirkannya? Apa aku pernah ada di dalamnya? Aish, pemikiran konyol apa lagi itu. Fokuslah, Rin. Masalah berat sudah membentang di depan sana. Jangan pedulikan degupan aneh yang kadang-kadang datang saat kau di dekatnya.

Ada pemandangan berbeda di gerbang sekolah. Banyak murid-murid yang berkumpul disana dengan beragam ekspresi. Ada yang ketakutan, menangis dan ada juga yang memilih pergi, kembali pulang ke rumah. Bahkan beberapa guru ku lihat disana dengan mimik wajah yang sama. Tak kudapati satpam yang biasa berjaga. Ada apa? Kenapa mereka tidak masuk? Bukankah hampir pukul 7?

Suara sirine polisi terdengar mendekat. Arga sama bingungnya denganku. Karena penasaran aku memilih menerobos masuk lebih dalam. Menyempilkan tubuh kecilku di sela-sela orang-orang sementara Arga tertahan didepan sana karena tubuh besarnya.

Beberapa guru didepan gerbang nampak melarang siswa-siswi untuk masuk. Disana ada kepala sekolah dan wakilnya yang ikut berjaga. Semakin aneh saja. Dan aku kian tertantang. Akhirnya dengan segala upaya, aku berhasil meloloskan tubuh kecilku dan melihat dari jauh apa yang menjadi sumber ketakutan itu. Sekolah masih sama. Beberapa sampah terlihat dimata. Tidak ada satupun siswa disana semuanya tertahan disini termasuk diriku. Sulit masuk, beberapa perangat sekolah seperti wakil kesiswaan, pemimbing osis dan pramuka berdiri didepan. Menyuruh murid untuk keluar dan menahan orang-orang yang penasaran seperti diriku. Tapi, itu tak perlu. Sebab asal sumber itu sudah terlihat sangat nyata didepan sana. Di atas tiang bendera.

Sesosok tubuh digantung dengan tali bendera di ujung tiang bendera. Wajahnya hancur seperti disiram air keras, kedua tangannya dikuliti dan rambutnya digunting serampangan. Darah masih menetes dari luka-lukanya yang terbuka. Dan tanpa harus mendekat untuk mengenali siapa itu, aku sudah bisa menebak siapa sosok mayat yang tergantung di sana.

Wajahku berganti pias. Sekitar tangan mendingin. Aku kehilangan orientasi. Kebingungan sekaligus takut melandaku bertubi-tubi. Ku sadari jantungku berdetak sangat kencang sekali. Hingga napasku ikut berkejaran dibuatnya. Dan saat itu aku menangkap tulisan besar dengan tinta merah, entah itu darah atau apa, terpampang di kaca depan kantor.

Game ini belum berakhir, masih tersisa satu orang lagi. Bersiap-siaplah, aku akan menjemputmu.

Jelas, itu ditujukan untuk diriku. Aku ketakutan sontak melirik sekeliling. Orang-orang masih saling berdesakan. Aku terperanjat saat tanganku digenggam oleh seseorang itu.

"Arga, itu... "

"Kita harus keluar darisini."

"Tapi---"

Dia tidak mendengar ucapanku, karena langsung saja Arga menarik tanganku. Menerobos masuk ke kerumunan untuk keluar. Setelah saling dorong dan menyikut kami berhasil keluar. Arga begitu erat menggenggam tanganku seakan tidak mau lepas.

✍✍✍

Cangkir itu nampak bergoyang dalam genggaman tanganku yang gemetar. Riak airnya tak beraturan, membentur dinding kaca. Airnya tinggal setengah, setengahnya lagi sudah kutelan. Aku meletakkan cangkir itu di atas meja makan. Tanganku sudah kebas menggenggamnya. Aku menengok ke belakang. Di mana Arga baru saja turun dari tangga, membawa koper besar di tangannya.

"Untuk apa itu?" Tanyaku.

Perlu jeda beberapa menit untuk Arga menoleh ke arahku.

"Kita akan pergi."

"Pergi kemana? Kita baru saja pulang dari sekolah, lantas sekolahku bagaimana jika aku pergi?"

" Apakah itu penting, Rin? Tidak ada yang penting selain keselamatanmu saat ini. "

"Apakah aku akan aman jika aku pergi? Dia tidak mengejarku?"

Arga diam untuk waktu yang lama. Kemudian ia mendatangiku, bersimpuh di depanku, menggenggam kedua tangan mungil ini, dan menatap bola mataku tanpa keraguan.

" Aku akan berada di barisan terdepan saat kau perlukan, aku akan melindungimu apapun yang terjadi, dan aku akan mengorbankan nyawaku bila diperlukan. Genggam tanganku saat kau rapuh, panggil namaku saat kau takut, datang padaku saat kau meminta bantuan. Aku akan lakukan apapun, asal kau baik-baik saja, Rin. "

Tidak ada yang bisa ku ungkap. Air mataku menggenang, menggigit bibir yang getir. Dan ketika aku ingin berbicara, tangisku pecah. Arga memelukku erat.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Arga. Aku takut mati hiks ... Aku ... hiks ... takut ..." tersedu- sedan aku berkata mengungkapkan kerisauan hatiku yang gamang dan bimbang.

✍✍✍
30 Agustus 2019

Mohon kritik dan saran 😉
Vote dan komen ya 😊
Oh, iya aku sedang ngelanjutin hidden. Semoga saja sampai end.

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang