Dejavu

2K 290 2
                                    

14. Dejavu

Pagi ini sekolah terasa berbeda. Aku menemukan rangkaian bunga yang bertuliskan kabar duka atas nama Laras. Tidak semua warga sekolah ini tau siapa Laras. Tapi, begitu disebut siapa yang sering di bully geng Eta. Maka orang-orang saling berbisik. Dan membuat karangan cerita dalam benak mereka sendiri. Aku menuju pelataran kelas. Ku lihat wajah-wajah penuh penyesalan dan ketakutan. Terutama Eta dan teman-temannya. Mereka tampak tersudut oleh pandangan-pandangan yang menatap mereka.

"Bukan aku pelakunya! Itu Sano!"

"Apa maksudmu, Eta?!"

"Dokter mendiagnosa bahwa Laras mati karena benturan di bagian kepalanya. Dia menderita pendarahan otak dalam. Dan kau yang menyebabkannya!"

"Jangan menuduh sembarangan! Semua orang tau,kau yang suka menbully Laras! Kau tidak mau disalahkan karena ulahmu dan menyalahkan orang lain. Munafik Eta!"

"Penyebab mati Laras karena benturan! Dan kemarin, kau yang mendorongnya hingga kepalanya terbentur di meja. Saksi mata banyak Sano."

"Bagus, kau berharap aku takut karena analisamu yang tak jelas? Aku baru satu kali melakukannya dan kau sudah berkali-kali membuatnya terpuruk. Dia sudah lama hampir mati gara-gara ulahmu. Dan hanya kebetulan saja aku kemarin yang melakukannya maka dia seperti itu. Semua orang juga tau, kau membunuh dia sedikit demi sedikit. Hingga tewas di kelas. Itu semua karena kau!"

Tanganku di genggam seseorang. Aku menoleh.

"Kenapa masih disini?" Tatapan Arga berganti ke perdebatan sengit Sano dan Eta yang belum berakhir. Sebelah tangannya yang lain memegang kantung transparan. Ada beberapa roti coklat, susu kotak dan dua botol aqua. Kami tidak sarapan pagi ini. Aku terlalu larut dalam lamunanku sendiri. Arga tidak bisa memasak. Alhasil, saat tiba di sekolah. Ia langsung ke kantin. Dan datang membawa makanan.

Ia menyodorkan kantung itu saat di meja kami.
"Makanlah walau sedikit. Kau punya magh."

Aku mengambil roti dan mencubitnya sedikit. Memakan dalam diam.
"Jangan terlalu dipikirkan."

Aku mengangguk pelan.

Ibu Inaya masuk, meskipun bel masuk belum dibunyikan.

Menghentikan perdebatan Sano dan Eta. Mereka berdua dan juga yang lain sontak duduk di kursi masing-masing. Beliau mengatakan kabar duka yang sudah kami tau. Menuntun membaca doa untuk Laras. Dan terakhir yang membuat seisi kelas menatap Sano dan rombongan Eta.

" ...Keluarga Laras ada di sini sekarang..."

Sano terlihat tegang di tempat duduknya.

"Beliau ingin mengusut kematian anaknya. Menanyakan kronologi penyebab kematian Laras. Mencari saksi dan pelaku..."

Aku menatap Ibu Inaya. Apakah orang tua Laras sudah tau?

"Mereka menebak, kematian anaknya adalah pembunuhan..."

Sekarang wajah orang-orang yang dulu menyengsarakan Laras nampak pucat bagai terkuras darah.

"Dan Sano, Eta, Aci, Ilda, kalian berempat di panggil menghadap ke kantor sekarang. Serta untuk Rin dan Arga,"

Seluruh pandangan tertuju ke kami berdua. Aku meneguk ludah dipandang penuh tanya seperti itu. Mereka nampaknya sedang mengira-ngira. Apakah keterkaitanku dengan kematian Laras?

"... kalian juga dipanggil sebagai orang yang membawa Laras ke rumah sakit."

Mata Sano langsung tertuju ke arahku. Aku bungkam di tempat.

✍✍✍

Sudah dua kali aku bertemu orang tua Laras. Di rumah sakit dan di sekolah. Dan reaksi ibunya yang histeris menangis apalagi saat membawa buku diary anaknya. Menceritakan kisah anaknya yang di bully, bertambahlah ia menjadi histeris dan marah.

Ia menunjuk-nunjuk  ke tempat duduk Sano, Eta dll dengan ekspresi berang tak terimah anaknya di perlakukan begitu. Dan aku baru tau, kalau Laras anak yatim. Ayahnya sudah meninggal saat kecil. Itulah kenapa ia tertutup dan menyimpan ceritanya sendiri tidak ingin membebani beban ibunya. Sementara kakaknya nampak terkontrol di samping ibu Laras yang meledak-ledak.

Pria itu hanya diam, mengamati dan sesekali menenangkan ibunya. Usianya mungkin tak jauh dari Arga. Tinggi mereka hampir sama.

Namun, aku tidak nyaman dengan tatapannya. Bukan tatapan laki-laki berhidung belang. Tapi, tatapan yang tak mampu ku jabarkan. Entahlah, aku hanya tidak suka. Selalu ada firasat yang menyelusup hati. Dan aku tidak bisa memahaminya.

"Pokoknya aku mau membawa kasus ini ke polisi dan memenjarakan mereka!"

"Coba ibu pikirkan lagi, mereka masih SMA. Terlalu kecil untuk masuk penjara."

"Jadi, kau pikir kematian anakku adalah sebuah keharusan?!"

"Bukan, maksudku tidak demikian. Laras kan sudah meninggal. Ia sudah ditenang di alam sana. Apa baik mengungkit-ungkit orang yang sudah meninggal? Laras juga meninggal karena terjatuh---"

"Terjatuh apa?! Dia meninggal saat di kelas. Dan tiga puluh delapan orang
yang ada disana mustahil tidak tau bahwa anakku sekarat kalau memang sengaja membiarkannya!!! Anakku mati karena di bunuh! Apanya yang tenang?! Kau juga kepala sekolah yang tidak becus! Anakku di bully selama ini dan kalian hanya diam saja! Dimana hati kalian?!!! "

"Aku akan tetap membawa kasus ini ke ranah hukum." Ujar ibu Laras lagi.

"Tapi bu, bukankah lebih baik kita memakai jalan damai saja---"

"Bangsatmu yang damai!!! Kau hanya memikirkan reputasi sekolah ini, tidak memikirkan kondisi anakku. Pokoknya aku akan menuntut semuanya! Cepat panggilkan orang tuanya, agar mereka tau kebejatan anaknya!"

"Rin, ayo keluar. Tugas kita sudah selesai."

Aku menyambut tangan Arga yang terulur. Bangkit berdiri. Dan melangkah pergi. Ketika Arga membuka pintu, kepalaku menoleh ke belakang. Dan bertatapan dengan mata Kakak Laras yang memandangiku entah sejak kapan.

Aku cepat-cepat mengalihkan tatapan. Dan mengeratkan tautan tanganku dan Arga. Rasa dejavu ini pernah ku rasakan. Aku ingat. Saat aku untuk pertama kalinya bertemu dengan Arga. Dia di halte dan aku di bis.

✍✍✍

16 Agustus 2019
Mohon kritik dan saran 😉
Vote dan komen ya 😉

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang