Sebuah Pesan

2.1K 285 16
                                    

15. Sebuah Pesan

Keesokan harinya, berhembus gosip yang kurang sedap didengar. Sano, Eta, Ilda dan Aci dibebaskan. Kematian Laras diangap hanya terjatuh seorang diri. Tidak ada motif pembunuhan dan pelaku. Dan pukul kematiannya yang ganjil dianggap kelalaian semua pihak. Tidak ada yang disalahkan. Tidak ada barang bukti. Padahal kemarin aku sudah menerangkan secara jelas. Dan polisi hanya memberikan kejelasan seperti itu. Banyak orang menganggap ada orang dalam dan uang yang bermain. Orang tua Sano yang bukanlah orang biasa saja dan yang kudengar, kakaknya ada yang polisi. Belum lagi, Keluarga Eta yang rata-rata bergelar dan memiliki pekerjaan yang terpandang. Membuat gosip itu mudah dicerna.

Hanya heran, berasal dari orang tua yang berpendidikan tinggi tapi kelakuan anaknya jauh dari kata berpendidikan.

Pantas saja ibu Laras ku lihat digerbang tadi sedang mengamuk dan digiring oleh dua satpam. Mungkin dia merasa ketidakadilan untuk kematian anaknya. Aku saja kesal mendengarnya. Apalagi melihat raut tidak bersalah dan tanpa penyesalan di masing-masing wajah Sano, Eta, Ilda dan Aci.

Aku terus membungkuk saat pelajaran Ibu Yani bahasa Indonesia. Perutku melilit dan nyeri sekali. Tangan kuletakan di atas perut dan menekannya. Berharap itu akan mengurangi rasa sakit, tapi nyatanya, sakit itu tak kunjung reda. Ini jelas pertanda akan datang bulan.

Arga melirikku dari tadi, alisnya nampak bertaut, "Kau sakit?"

Aku menggeleng. Bahkan untuk mengeluarkan suara rasanya sungguh sakit.

"Lalu, sakit perut? Mau ke toilet?" Mata Arga melirik ke pintu kelas.

"Bukan." Lirihku. Kesal dia tak paham. Tapi, malu untuk mengungkapkan.

"Jadi apa?" Bisik Arga lagi.

"Ini permasalahan wanita."

Keningnya langsung berkerut cepat. Mencerna kata-kataku. Matanya menyipit. Dan melirik ke arahku lagi.

"Maksudnya?"

Arrrggghhh ....

Aku menbenamkan kepalaku di lipatan tangan. Berbicara dengan Arga menambah sakit perutku saja. Biarkanlah dia. Abaikan. Oh perut, kenapa harus di jam krusial seperti ini?

Dan beruntungnya jam istirahat segera berdering seakan Tuhan memang menjawab doaku.

Ouch... aku kembali duduk. Dan kembali ke posisi semula, duduk membungkuk ke meja. Sakit ini membunuhku. Kenapa setiap hari pertama harus sesakit ini?

"Apakah sangat sakit?"

Aku mendelik, tidak menjawab. Perutku bagai di peras. Aku menggigit bibir menahan sakit. Rasa sakit kembali datang.

"Ar ...ga."

"Ada yang kau butuhkan?"

"Bisakah kau membelikanku kiran*i?"

"Itu nama orang?"

"Minuman."

"Ok, tunggu sebentar."

Aku melirik sekeliling. Tidak ada orang selain diriku di kelas ini. Mereka semua pergi ke kantin, mungkin.

Aku menelungkup kan kepala. Sungguh sakit sekali. Rasanya mau mati. Kenapa aku tidak pingsan saja? Agar tidak merasakan sakitnya.

Di keheningan kelas, aku mendengar suara langkah kaki. Ku pikir itu Arga. Jadi aku memanggilnya. Namun, tidak ada sahutan justru suara benda jatuh yang menjawab panggilanku. Sontak aku mengangkat kepala. Menatap ke depan. Tidak ada orang. Apakah halusinasiku saja?

Aku kembali membenamkan kepala ketika rintihan perutku datang lagi.

Langkah kaki tergesa-gesa terdengar mendekat.

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang