20. Cerita Penghantar Tidur
Dalam sinar rembulan terakhir, aku kisahkan padamu sebuah kematian paling kelam dan tragis. Dan untuk cahaya yang tiba dalam kegelapan, kau harus menghentikan langkahmu. Sebelum aku menyeretmu dalam kepekatan dan meredupkan cahayamu.
Jelas, itu untuk diriku. Tapi, aku justru berada disini. Memberanikan diriku sendiri. Dan berjuang dengan nekat. Mencoba meruntuhkan keegoisan sosok ini yang rasanya mustahil.
"Aku tidak peduli pada apa yang kau katakan."
"Setidaknya kau tidak sendirian di rumah," sela Arga.
"Aku bisa menemanimu atau kau mau tinggal di rumahku." Aku berharap Eta mengangguk.
Namun justru yang kudapat, tatapan datar, dagu terangkat tinggi, kedua tangan bersedekap, dan decihan meremehkan.
"Ayahku mengirimkan sepuluh bodyguard yang berjaga disetiap sisi rumahku. Walau kedua orang tuaku sedang pergi ke luar negeri karena urusan penting, tapi di rumahku ada lima pembantu yang siap sedia melayaniku. Aku tidak membutuhkan benalu seperti kalian."
"Bisahkah kau menelpon polisi? untuk berjaga."
"Apakah kau tidak percaya orang tuaku? Bahkan Tuhan saja tidak bisa merusak sistem keamanan yang dibuat oleh orang tuaku! Bye!" Eta menutup pagar besi itu didepan kami.
"Pulang, Rin. Kita sudah berusaha. Dan orang keras kepala sepertinya sulit diluluhkan meskipun kau berlutut sampai subuh."
"Apa sebaiknya kita menjaganya diluar sini saja?"
"Kau tidak mendengar katanya tadi? Tuhan saja kalah. Percaya saja padanya walau aku tidak yakin."
Aku mengangguk lesu. Menatap rumah besar dihadapan kami seraya menghela napas. Sebaiknya aku mengikuti ucapan Arga. Semoga Eta baik-baik saja.
+++
"Terimah kasih atas makanannya."Aku menoleh ketika Bi Ijah kaget melirikku.
"Kenapa?"
"Oh itu, Non. Nggak ada. Cuman nggak biasa saja Nona ucap terima kasih. Tapi, sama-sama, Non."
Aku mengendikkan bahu dan melenggang santai menuju kamar. Dipertengahan jalan, aku mendengar bunyi benda pecah. Ku hentikan langkah dan menengok ke belakang. Nampak salah satu pembantu dengan tangan bergetar dan menatapku takut-takut, ia sedang mengambil beberapa pecahan beling dari cangkir hias Mommy yang dipajang di lemari.
"Itu kenapa?"
"Nggak sengaja ke senggol, Non saat bersih-bersih tadi. Maaf, ampun nanti saya bakal ngomong ke Nyonya untuk tanggung jawab. Tolong jangan hukum saya, Non."
"Berapa yang pecah?"
"Sa---satu, Non."
"Oh."
Ku biarkan wajahnya yang terperangah menatapku.
"Kenapa sih mereka? Apa make upku luntur? Tapi, sepertinya tidak." gumamku sambil berjalan.
Aku meletakkan handphone diatas nakas. Mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur, lalu bergegas tidur. Malam ini nampak hening.
Suasanya yang biasa senyap justru tidak membuatku nyaman. Terasa ada yang lain. Jadi, aku membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Gorden kamar berkibar di dekat jendela, memang sengaja kubiarkan terbuka. Kebiasaan yang sering kulakukan. Namun, ada rasa terbesit untuk menguncinya malam ini. Hingga aku sendiri heran dengan alasan yang tidak ada. Jadi, aku membiarkannya. Rasa kantuk tak juga hinggap padaku. Beberapa menit berlalu hening. Lalu, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Sebuah pesan dari nomor asing.
Aku akan bercerita padamu mengenai kejadian yang akan terjadi pada malam ini. Kejadian mengerikan yang akan terjadi beberapa menit lagi.
Ah, orang iseng abaikan saja.
Kemudian terdengar bunyi notifikasi pesan baru beruntut. Mengerang kesal, aku mengecek orang tidak punya kerjaan yang mengerjaiku malam ini. Masih dari nomor yang sama. Siapa sih dia? Orang yang tidak suka padaku? Awas aja siang nanti. Ini sudah kesekian aku dikerjai oleh orang yang berbeda-beda dan dari anak di sekolahku sendiri yang benci padaku. Akan kubalas dan kubuat ia seperti orang yang ku siksa dulu. Terlebih itu, aku harus melihat isi pesannya untukku jadikan barang bukti.
Bulan bersinar sangat terang di luar sana. Memancarkan cahayanya yang misterius di bawah sana. Seseorang sedang berjalan melintasi halaman rumput. Orang itu mendongak memandang sebuah kamar yang terbuka jendelanya.
Apaan ini? Apa isi pesan ini benar?
Kakiku melangkah mendekati jendela. Melihat kebawah sana. Dan betapa terkejutnya aku mendapati orang asing itu bersembunyi dibalik pohon sedang menatap ke arahku. Aku sontak mengunci jendela.
Aku melihat pesan kedua.
Karena penasaran kau berdiri didekat jendela dan memandang ke bawah. Rasa takutku langsung menyergap kala melihat dibawah sana ada seseorang. Dan kau merasa cerita ini semakin nyata.
Kau menelpon pembantu-pembantmu. Namun, tidak tersambung. Karena sosok itu sudah masuk ke rumah dan memutus kabel telpon. Kau beralih ke bodyguard tapi tak satupun menjawab panggilanmu. Lalu, kau mendekati jendela lagi. Tidak terlihat bodyguard dalam pandanganmu.Sial! Kenapa benar semua? Siapa dia? Sebenarnya, apa maunya? Ini sudah kelewatan. Ku telpon nomor itu dan langsung diangkat.
"Siapa kau, Hah?! Jangan bermain-main dengan ku!"
"Lampu tiba-tiba padam," suara wanita.
Aku mendongak ke atas. Sekelilingku gelap gulita bahkan lampu tidurpun ikut mati.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?! Aku akan memanggil polisi!"
"Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kau mulai merasakan takut."
"Aku tidak takut, sialan!" Aku menatap pintu. Berjalan sepelan mungkin dan menguncinya. Aku mendengar langkah sepatu di lorong.
"Dan suara langkah kaki itu berhenti didepan pintumu."
"Matilah kau!!! Aku tidak peduli apapun yang kau ocehkan! " Aku mematikan telpon dan melemparnya ke kasur. Duduk ditepi ranjang, menormalkan detak jantungku yang menggila. Aku tidak sadar nafasku bergemuruh.
Aku tidak sengaja menangkap bayangan hitam disela bawah pintu yang wara-wiri didepan kamar. Berjalan kesana, aku membungkuk. Menurunkan kepala sejajar dengan lantai. Nampak, sepasang sepatu berlumpur yang kulihat disela pintu. Kenop pintuku bergerak-gerak. Aku terkejut dan mundur. Kuraih handphone dan menghubungi siapa saja.
"Ayah! Ada orang dirumah kita! Dan ia sedang berada didepan kamarku."
"Mungkin itu Bi Ijah."
"Tidak, dia lebih tinggi dari Bi Ijah."
"Yah, mungkin salah satu bodyguard ayah."
"Tidak yah, dia mau mencelakakanku. Dia membawa pisau."
"Tidak mungkin, keamanan disana sangat ketat Eta."
"Mungkin dia pembunuh yang mengincarku."
"Kau berhalusinasi, dia tidak mungkin bisa masuk. Sudah, Ayah tutup."
"Tapi Ayah---"
"Ayah sangat sibuk, Eta. Mengertilah."
Tut tut tut
Aku menelpon ibu tapi pulsaku habis. Sial! Harus bagaimana sekarang? Aku teringat, aku menyimpan cater dalam tas. Baiklah, aku akan melindungi diriku sendiri. Aku berdiri dibalik pintu sambil memegang cater yang kuacungkan. Degub jantungku bergemuruh cepat. Aku berusaha menarik napas sepelan mungkin untuk menyamarkan keberadaan. Suara klik kunci dibuka membuatku waspada. Dan berkali-kali lipat kewaspadaan itu meningkat. Kala pintu terayun terbuka. Baiklah, aku siap apapun resikonya.
✍✍✍
28 Agustus 2019Mohon kritik dan saran 😉
Jika ada yang janggal, janan sungkan memberi tahu saya 😊

KAMU SEDANG MEMBACA
He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]
Misteri / Thriller"Aku selalu menunggumu, memerhatikanmu dari keramaian, dan menantimu dikala sepi. Karena..... Aku...Mencintaimu... . Aku jahat namun, aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki yaitu sebuah ketulusan" Dariku yang mencintaimu Arga Henanta Berkisah...