Closer

1.5K 72 6
                                    

Aku menarik kertas ini perlahan dan membukanya. Terpampang jelas nama Alifar Bernando besar - besar dan sebuah nama wanita, Fiskarin Ramadini. Apakah ini wanita yang tadi? Tunggu. Apa aku sedang membuka sebuah undangan pernikahan?

"Ginny, sudah kau taruh?" Suara Bu Risti menganggetkanku, refleks aku menutup 'sebut saja undangan pernikahan' ini dengan cepat. "Sudah bu" Jawabku tenang. "Terima kasih Ginny, kau boleh pulang sekarang"

Sedikit menyesal, karena begitu paniknya jadi lupa melihat tanggal pernikahannya. Ugh, kenapa aku menjadi gelisah seperti ini. Memang sudah waktunya juga Pak Albert menikah di umurnya yang sudah 25 tahun.

Bagaimana aku tahu? Jangan tanya. Aku ini handal dalam menstalking. Sampai - sampai beberapa temanku meminta aku untuk mencari info lengkap tentang crush mereka.

Apa yang aku harapkan dengan seseorang yang perbedaan umurnya 8 tahun denganku. Mungkin sudah saatnya aku move on ke orang yang sewajarnya. Yang umurnya setara denganku.

***

"Salika, ikut aku untuk meminta tanda tangan Pak Heri di ruang guru yuk!" Ajak-ku kepada Lika yang mempunyai jabatan sama denganku di kelas. Sekretaris. Iya, memang jabatanku mengganda. Sekretaris di OSIS, sekretaris pula di kelas.

"Yuk" Ia mengambil jurnal kelas dan memberinya kepadaku "Tetapi kau saja yang masuk ke ruang guru" "Iya". Jawabku singkat. Memang ada saja guru yang malas mengajar, contohnya Pak Heri. Jarang sekali masuk kelas untuk sekedar memberikan teori tentang olahraga. Alhasil, malah muridnya yang kena omel kalau tidak bisa menjawab soal darinya.

Tapi sudah menjadi kewajibanku dan Lika untuk mengisi jurnal kelas ini dengan lengkap. Lengkap dalam arti harus ada tanda tangan dari guru pengajar. Jujur, ini sungguh merepotkan jika ada guru yang lupa menanda tanganinya dan kami harus mencari guru tersebut.

Kembali jantung ini berdegup kencang saat mendekati ruang guru. Aku tidak mengerti kenapa hal ini selalu terjadi padaku saat aku ingin ke ruangan ini.

Tok! Baru saja aku sekali mengetuk pintu dan pintu langsung terbuka. Tidak biasanya, ada yang membukakan pintu. "Cari siapa Val?" Suara berat itu membuatku mendongakkan kepala. Tepat sekali di depanku. Pak Albert.

"Eh? Cari bu Yeni, pak. Mau minta tanda tangan" "Emangnya, bu Yeni artis dimintain tanda tangan segala?" Tawanya mengalihkan semua pikiranku. Mungkin sekarang sudah setengah otakku terbius dengan senyum manisnya.

"Ginny, kan mau cari pak Heri bukan bu Yeni. Bu Yeni aja baru masuk mengajar setelah istirahat ke dua ini" Sahut Lika menyadarkanku.

"Nah loh, sebenernya mau cari siapa, kok kalian ga kompak?" Kembali Pak Albert terkekeh meledek kami sambil mengenakan sepatunya yang aku yakini itu sepatu pantofel dan tidak seharusnya selama ini memakainya.

"Iya pak Heri maksud saya, pak"  Baru saja kaki kanan ku melangkah memasuki ruang guru sudah ditahan Pak Albert. "Pak Heri sedang tidak ada. Tanda tangan saya mau?" Entah apa yang harus aku lakukan, refleks aku malah menggelengkan kepalaku.

"Ya sudah pak, terima kasih" Lika langsung menarik lenganku tetapi aku masih belum bisa mengalihkan pandanganku dari Pak Albert. Ketika sudah mulai menjauh aku baru memalingkan kepalaku untuk melihat jalan di depan.

Immarginny Valerie.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang