Monsieur

2.5K 106 5
                                        

Kuno bukan menyukai seorang guru? Tapi hal terkuno inilah yang terjadi di hidupku. Bahkan sering terbayang di pikiranku, kalau aku adalah pemeran utama dalam sebuah anime Jepang.

Bukankah menyukai seorang guru itu hanya ada di dalam cerita fiktif? Karena setelah pertemuan-ku dengan guru Bahasa Prancis yang sangat tampan rupawan itu, aku berasa hidup di dunia dongeng.

Ditambah lagi, aku seorang pengkhayal akut. Sifat itu sudah terlihat jelas dari namaku, Imarginny Valerie. Imarginny yang berasal dari kata Imagine yang berarti khayalan. Aku bisa membayangkan apa saja yang ku mau. Lalu bagaimana aku bisa melupakan Pak Albert kalau aku terus saja membayangkannya?

Hari demi hari ku lewati saat di sekolah, layaknya seorang mahasiswi pada umumnya, belajar, mengerjakan tugas kelompok, hingga tertidur pulas di saat jam pelajaran.

Tiba saatnya hari kamis, semangatku berkobar dihari ini untuk pelajaran favoritku yaitu Bahasa Prancis, tidak hanya pelajarannya. Gurunya pun favoritku.

Mungkin Pak Albert bukan hanya favoritku, tetapi ia guru ter-favorit di sekolah. Hal itu terbukti saat diadakannya voting pada hari guru lalu.

"Bonjour" Sapa-nya semangat saat memasuki kelasku. Aku langsung terkesiap untuk memulai pelajaran ini. "Bonjour, Monsieur" Serentak murid membalas salamnya.

Hari ini Pak Albert tampak rapih, dengan menggunakan kemeja biru dengan lengan panjang yang digulung hingga 3/4 lengan, dan celana bahan warna hitam pekat. Ditambah dengan sepatu pantofel layaknya guru pada umumnya.

"Kenapa?" Tanyaku sambil cengar - cengir kearah teman sebangku-ku.
"Apa kau deg degan?" Goda Aurel, yang sekarang sedang melirik-ku penuh senyum jahilnya. Tetapi aku hanya diam saja dan kembali memperhatikan Pak Albert.

"Saya lihat hari ini, kalian kurang bersemangat. Kalau begitu, saya akan memberi kalian quiz"

Ya senyum indahnya, tak pernah lepas dari ketampanannya. Anyway, selain Pak Albert tampan tetapi hatinya sangat baik, dan ia sangat berbaur dengan murid - muridnya. Terlihat dari ia mencoba mendekatkan diri kepada murid - murid yang di ajarnya.

"Saya tanya, ini berapa? (Mengangkat jari telunjuk di tangan kanannya)"
"Satu" Serempak satu kelas menjawab dan di benarkan dengan sebuah anggukkan olehnya.
"Saya tanya lagi, kalau yang ini berapa? (Mengangkat jari telunjuk dan jari tengah)"
"Dua" Lagi - lagi Pak Albert meng-iyakan dengan anggukan
"Dan kalau yang ini berapa? (Mengangkat ketiga jarinya)"
"Tiga"

Sekarang permainan diacak, awalnya aku tidak paham. Tapi lama - kelamaan, aku menyadarinya. Perhatikan kalimatnya bukan jarinya. Jadi saat Pak Albert menyebutkan "Ini berapa?" Tapi saat mengangkat 4 jari. Kita tetep saja menjawab satu.

Kurang lebih seperti itu permainan yang bisa membuat anak - anak semangat lagi. Tapi, saat sebelum bel berbunyi, pertanyaan terakhir ditunjukkan kepada teman yang duduk di depan ku persis, Reva.

"Reva, kalau yang ini berapa?" Tanyanya. Namun kali ini berbeda, ia membentuk pola hati dengan jari jarinya. Disaat orang lain dan aku pun menjawab dua. Bahkan, Reva pun menjawab dua.

Namun Pak Albert hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum genit.

"Yang ini satu" Jawabnya singkat membuat hatiku berdebar. Aku tidak percaya, dia bahkan se-manis itu saat mengucapkan kalimat itu.

Mungkin benar kata orang, aku ini orang yang berpikir lemot. Aku hanya tertawa mengikuti temanku yang lain meskipun aku tidak mengerti apa maksudnya.

"Kenapa itu bisa satu?" Tanyaku pada Aurel.
"Ya kan manusia hanya memiliki satu hati" Seketika jawaban Aurel membuatku menelan ludah.

Maksudnya, Pak Albert doing a flirting with Reva?. Tidak. Aku tidak cemburu, namun teman-temanku yang lainnya justru heboh memandangiku sambil berkata "harusnya itu kau Gin".

Immarginny Valerie.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang