Mereka Bilang Aku Gila!

567 17 4
                                    

Aku gila. Tidak! Aku tidak gila! Peristiwa itu terjadi jauh hari sebelum aku bertolak dari Melbourne, Australia. Pada hari dimana peristiwa itu terjadi, jelas-jelas aku masih mengikuti Short Summer Class. Aku bahkan masih ingat runutan kegiatan yang kulakukan dengan detil. Pada jam yang sama, aku tengah berada di sebuah coffee shop dekat dorm, tempat tinggal sementaraku di sana. Barangkali pada detik yang sama pula aku sedang menyesap caramel macchiato dan berpikir tentang apa yang akan kulakukan esok hari. Espresso yang dipadu dengan karamel dan busa susu panas itu seolah menjadi saksi bisu yang tak dapat membuktikan alibiku.

Dua hari setelah kepulanganku dari Melbourne, aku masih sempat merasakan segarnya udara luar. Kuhirup banyak-banyak udara Jakarta yang sarat akan polusi. Karena -jujur saja- meski aku benci dengan polusi udara, Jakarta adalah tempatku pulang. Rumah dan semua orang yang kucintai berada di kota metropolitan itu.

Ah ya, semua orang yang kucintai..

Semua yang seketika membenciku.

Mereka bilang aku pembunuh! Mereka bilang aku sudah gila. Aku sudah tidak waras dengan segala perubahan yang ada padaku. Oh c'mon, lihatlah! Tidak ada yang berubah dariku. Aku masih seperti dulu. Aku tetap Shyrlane Yuwono, sampai kapanpun.

You know what? Bahkan petugas imigrasi sempat memandangku lekat-lekat ketika aku mengurus kepulanganku ke Indonesia. Aku sempat heran mengapa demikian. Tampaknya memang ada yang janggal. Ada sesuatu yang membuat orang-orang memperhatikanku bak artis luar negeri yang bertandang ke Indonesia. Pemandangan yang luar biasa aneh.

Soal peristiwa yang aku tidak-tahu-menahu itu, membuat orang di sekelilingku kekeuh mempertahankan apriorinya. Aku gila. Aku kelewat gila karena menghilangkan banyak nyawa tak berdosa dalam sekejap. Nyawa yang seharusnya tidak kumusnahkan dengan keji.

Baiklah, aku akan menjelaskan hal yang kuketahui. Sedikit. Ya, karena aku bukan pelakunya, aku tidak tahu banyak tentang itu. Jangan paksa aku menceritakan hal yang tidak kualami sendiri. Aku tidak memaksa kalian untuk mempercayaiku. Tapi setidaknya aku memiliki teman berbagi.

Ada sebuah berita yang menjadi headline ratusan surat kabar, seminggu sebelum aku pulang dari Melbourne. Hampir seluruh surat kabar memampang beberapa foto kronologis kebakaran hebat sebuah gedung apartemen yang berlokasi di bilangan selatan Jakarta. Foto diawali dengan gambar seorang remaja putri yang ke-gap melempar batang korek api ke suatu tempat yang diperkirakan sebagai pusat kebakaran. Kemudian, entah secara ajaib atau memang sudah direncanakan dengan matang, api sekecil itu tiba-tiba dapat menyulut kebakaran besar di gedung apartemen itu. Aku sendiri tidak percaya. Bagaimana mungkin gedung setinggi dan sebesar itu dengan mudahnya luluh lantak hanya karena sebatang korek api. Mustahil.

Mungkin aku akan masa bodoh dengan hal itu jika bukan karena suatu hal yang membuatku sangat terganggu. Wajahku dengan remaja putri itu sama. Sangat mirip. Malah bisa dibilang identik. Terang saja, itu jadi urusanku dan urusan keluarga besarku yang sangat menjaga kehormatan. Seketika semua orang menyorotku. Mencercaku tanpa tahu mana yang benar. Manusia memang selalu hebat dalam mencari kesalahan orang lain bukan? Itu bakat alami.

* * *

"Dia depresi. Maksudku, gila," tukas Om Surya menyambar Papa yang belum menyelesaikan kata-katanya.

"Kau yang gila! Dia sudah seperti anakku sendiri, Surya!" tegas Papa, frustasi.

Aku yang duduk meringkuk di salah satu sudut kamar tidurku langsung membuang muka. Aku mendesah halus. Rasanya lidah ini pun kelu ketika bibirku kaku. Bukannya apa-apa atau aku tak berusaha membela diri, tapi ini memang gila. Aku sudah lelah. Aku capek dengan semua ini. Ketika aku mengeluarkan statement: aku nggak gila atau bukan aku pelakunya, orang-orang itu malah semakin menuduhku. Semakin mendorongku ke jurang terdalam. Dan aku semakin kehilangan diriku sendiri.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang