Sebuah Nama

72 3 0
                                    

OH, MON DIEU , hatiku masih berdebar-debar. Getaran ini kembali menggema setelah semuanya terlanjur. Getaran ini masih tetap sama seperti dulu. Sebelum aku bercengkrama dengan satu sosok dan memilihnya sebagai pasangan hidupku. Dan rasa ini tiba-tiba menyergapku. Tak hanya menyergapku malah. Bahkan rasa ini mulai singgah lagi di hatiku. Lagi dan lagi.

Ruang hatiku pun terbagi lagi. Inilah susahnya. Padahal selama dua tahun ini, aku membuka hatiku hanya untuk pasangan hidupku. Hanya dia tempatku berbagi. Aku dan dia saling melengkapi. Kami berbagi banyak cerita meskipun aku yang mendominasi topik perbincangan kami. Banyak cerita beda topik yang kami bagi bersama. Kehidupan sehari-hari, bisnis, ekonomi, politik konspirasi, sejarah, alam, spiritual, demo, kriminal sampai masalah-masalah yang menjurus terlalu wanita. Dia mengerti dan paham betul dengan apa yang ingin kutuangkan.

Ide brilian.

Semangat.

Satu yang kusuka dari pasangan hidupku ini, adalah semangatnya. Banyak nasehat yang ia rangkum dalam sebuah cerita. Brilian, dia bilang. Maka dari sebuah ide gila dariku dan sedikit bumbu asa yang terpendam, aku memuntahkan di depan pasangan hidupku itu. Jika sudah terlarut dalam pengembangan ide brilian, aku sering melupakannya. Oh, Cody... maafkanlah aku. Aku sudah mengkhianatimu. Dan sekarang, aku seribu kali lebih mengkhianatimu. Tiada lagi ide brilian yang kubagi denganmu sejak dua minggu yang lalu. Karena ada dia. Ada dia yang datang lagi.

Cinta itu datang lagi setelah lama meninggalkanku. Sialnya, dia adalah cinta yang sama dengan cintaku terdahulu. Tentunya, dengan orang yang sama. Laki-laki yang sama. Oh, aku bingung harus berbuat apa? Aku takut terlalu bahagia. Tapi aku juga takut terlalu sedih. Aku tak mau memilih keduanya. Dan semoga saja keputusanku benar adanya. Bahwa aku memilih dia. Bahwa aku meninggalkan Cody untuk dia. Hanya dia yang aku cinta. Cinta lama yang datang lagi.

Laki-laki itu masih sama seperti dulu. Dia masih saja mempesona dengan sex appeal-nya yang kuat. Aku hangat bersamanya. Ketika ia menggamit tanganku, aku merasakan getaran hati yang lebih kuat. Ketika ia mendekapku kuat-kuat dan hampir meremas tulang rusukku, aku sangat bahagia. Semuanya tak tampak klise lagi. segalanya nyata. Aku harap tetap demikian sampai kapan pun.

Dia masih sering bercerita tentang kecintaannya terhadap Bimasakti. Entahlah, kenapa ia sangat mencintai galaksi tempat di mana matahari menjadi salah satu bintang terbesar di sana. Ada seratus milyar bintang di sana. Dan dia tak jemu menamai satu persatu bintang-bintang itu. Mungkin aneh bagi kebanyakan orang. Ya bayangkan saja, ada beribu-ribu juta bintang dan dia memberi nama satu persatu dengan sabar? Hahaha lucu sekali. Namun itulah yang selalu aku rindukan darinya. Obsesi gilanya selalu membuatku rindu.

Bersamaan dengan menamai sebuah bintang, ia akan berseru riang seperti anak kecil, "Oh lihatlah, bintang itu tersenyum. Sama seperti senyumanmu yang mempesona." Aku jelas tertawa mendengarnya. Kenapa semua bintang memiliki senyuman yang mirip denganku? Ada-ada saja dia itu. Namun karena ia tekun mengada-ngada aku justru semakin menyayanginya.

"Manusia itu ibarat setitik debu," katanya, mengutip sebuah buku yang baru saja ia baca.

Saat itu aku begitu takjub dan membenarkan perkataannya dengan mantap. Tapi hati manusia lebih dari setitik debu. Besarnya pasti lebih dari bintang, matahari atau galaksi Bimasakti yang kau cintai, timpalku dalam hati. Layaknya hatiku, hatinya, ataupun hatimu.

***

Cinta ini menafasiku, menghempaskanku, dan menghampiriku sekali lagi. Tidak! Beribu-ribu kali sampai aku jenuh, jengah, dan jemu. Sampai aku merasa bahwa kesempurnaan cinta tidaklah benar adanya. Huh! Bahkan sampai aku terkapar di rumah sakit karena hampir bunuh diri karena cinta. Yah, cinta. Cinta itu penyakit dan obat. Cinta berhak memilih di mana ia harus berperan di satu pilihan dengan konsekuen.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang