Untuk Luka

92 6 0
                                    

LUKA sayatan ini tak akan pernah sembuh. Darah segar masih mengalir dari pergelangan tangan kiriku. Sebenarnya aku masih punya cukup waktu untuk mengurungkan niatku. Tapi tangan ini bergerak begitu saja. Aku tercenung ketika melihat darahku sendiri membanjiri lantai Jacuzzi. Satu hal yang kutahu, ternyata aku masih normal. Darahku masih berwarna merah. Aku tersenyum tipis di tengah rasa kesakitanku.

"Dunia itu indah, Rissa. Buka matamu lebar-lebar."

Masih teringat jelas tutur kata Chayra yang menggema di kedua telingaku. Yah, indah jika kau tahu bagaimana cara menikmati sakit hati. Dan yeah, sangat indah jika kau terbiasa terluka untuk kesekian kalinya. Saking terbiasanya bahkan itu seperti candu buatmu. Sesungguhnya apa itu luka? Apa itu bukan sekadar kata? Sebuah nama kah?

Chayra selalu mengawali harinya yang baru dengan senyum lebar. Memamerkan sederet gigi putih merupakan salah satu senjatanya untuk menghadapi dunia yang ia buat. Entah jurus apa yang ia gunakan sehingga senyuman itu terkesan tulus tanpa pretensi. Dia sungguh pandai menipu orang. Mungkin kebanyakan orang mengira hidup Chayra begitu menyenangkan. Bergelimang harta, banjir tawaran ini-itu, dan dipuja sana-sini. Yah, setidaknya itu yang terlihat saat wajahnya menghiasi layar kaca, layar lebar, dan baliho-baliho raksasa. Sebagian orang memang ditakdirkan untuk menjadi pusat perhatian, dan mendapat peran penting di dunia ini. Sisanya ditakdirkan menjadi bayangan mereka. Sama sepertiku. Aku adalah bayangan Chayra yang hampir tidak akan tampak jika orang-orang tidak meminta Chayra menepi.

Lalu apa fungsi bayangan sepertiku? Bagi Chayra, aku tidak lebih dari tempat sampah yang menampung keluh kesahnya. Selalu ada sisi lain dari seorang manusia bukan? Dan aku sangat mengenal Chayra dari sisi tersebut. Tidak ada rahasia Chayra yang tidak kuketahui sampai akhirnya aku menyadari bahwa terkadang menutup kedua telinga lebih penting daripada menutup mulut. Setidaknya aku tidak perlu bersusah payah menyumpal mulutku jika tidak tahu apa-apa.

"Semua terlambat, Rissa. Terlambat."

Dari sederet drama yang Chayra persembahkan padaku, ada satu peristiwa tak terlupakan. Itu adalah titik terendah Chayra. Kelemahannya. Ketidakberdayaannya. Aku masih ingat ketika Chayra menangis di hadapanku. Ia duduk bersimpuh dan membenamkan wajahnya di kedua pahaku. Hatinya hancur berkeping-keping. Dan mulai saat itu tidak ada lagi Chayra yang ceria.

Berita kehamilannya menyeruak ke permukaan. Semua media menguliti Chayra luar dalam, dari urusan pribadi sampai pergaulannya. Semua orang yang semula mengelu-elukan mendadak menyudutkan Chayra sampai ia susah bernapas dan tidak memiliki tempat berteduh dari caci maki. Ia tampak menyedihkan.

Karena pria yang menghamilinya tidak ingin bertanggungjawab, akhirnya Chayra melakukan aborsi. Dia membunuh darah dagingnya sendiri pada bulan keempat masa kehamilannya. Ya, berita yang mencuat tentu saja bukan aborsi melainkan: Chayra depresi hebat dan mengalami keguguran. Seketika orang-orang yang menghinanya berbelok dan menaruh belas kasihan pada Chayra. Perempuan ini memang tahu benar bagaimana meramu cerita kehidupan agar alur ceritanya menarik untuk disimak. Jujur saja, dalam hal ini aku salut padanya.

Chayra tak membutuhkan waktu lama untuk mengukuhkan kembali eksistensinya di jagat hiburan. Cepat sekali ia bangkit dan menemukan pelbagai macam pria yang bisa ia pacari. Termasuk tunanganku. Titik terendah dalam kehidupannya tidak menjadikan Chayra lebih baik. Siapa yang menyangka ia akan menikam dari belakang dan membuat hidupku berantakan seperti sekarang ini. Dadaku sesak mengingat semua ini.

Mata pisau kembali kutorehkan di pergelangan tangan kiriku. Kali ini lebih dalam. Rasanya perih, pedih, tapi cukup menyenangkan. Menyenangkan kataku? Hahahaha... Aku bahagia karena ternyata aku masih dapat merasakan perih dan pedihnya sebuah luka. Ini menakjubkan. Benar-benar luar biasa.

Cinta itu ada untuk luka. Namun mengapa itu tak berlaku untukku? Bagaimana bisa seorang perempuan yang rentan seperti aku dapat mencintai laki-laki dengan sepenuh hati? Sudah tahu rentan mengapa aku terus saja mengambil resiko? Sekarang rasakan Erissa! Enak bukan ditusuk sahabat sendiri?

Ini luka pertamaku sejak aku tahu mengapa keluargaku begitu over-protective padaku. Mengapa keluargaku sekuat tenaga menjauhkanku dari pelbagai benda yang dapat melukaiku kapan saja. Tetapi pada kenyataannya aku sendiri yang lalai dan membiarkan hemophilia mengambil peran dalam kehidupanku.

Bulir-bulir air mataku jatuh tatkala aku tak mampu menopang tubuhku sendiri lagi. Aku terkulai lemas tak berdaya. Aku sadar dengan bersikap seperti ini pun tidak akan mengembalikan Bagas padaku. Aku hanya akan menimbulkan masalah baginya. Keluargaku jelas akan menyalahkannya jika aku mati. Untuk mencapai titik kebahagiaan, ada harga yang harus dibayar mahal kan, Gas? Kita semua tahu itu.

Ya, tidak akan lama, Gas. Semuanya pasti akan melupakanku dan jelas tidak akan mengungkit namamu lagi. Mendengar namamu pun akan muak. Cepat atau lambat tragedi ini pun akan surut. Sampai bertemu di alam baka, Gas.. Itu pun jika aku masih mengingatmu. Dan kau Chayra, semoga kau selalu bahagia. Semoga kau tidak berada dalam kesulitan apapun. Sampai jumpa! 

* TAMAT *

Yogyakarta, 19 Mei 2006

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang