Eugene dan Langit Kelana

35 2 0
                                    

PS: Sorry for typos, darls :)

Eugene datang bak semilir angin deru-menderu. Langit Kelana menghampiri Eugene seperti cookies yang senantiasa menemani secangkir Hazelnut Coffee dalam pertemuan terakhir mereka. Lalu Eugene pergi laksana angin tornado berpindah haluan, menepikan semua harapan pada kebobrokan yang tertinggal. Tak mengapa memang. Namun Eugene memang berbekas di hati para orang yang ia tinggalkan dalam satu momen. Yang pasti, ia tak jemu dinantikan oleh pemujanya yang selalu bergairah. Termasuk oleh Langit Kelana, sahabat terbaiknya semasa kuliah di satu angkatan yang sama.

Langit Kelana pada pertemuan itu berujar bahwa Eugene harus berhenti berlari. "Capek Gen. Kurasa capek benar dengan semua ini."

"Kau capek, aku tidak." Dengan permen lollypop rasa cola di mulutnya, ludahnya menjamah semua sisi dimulutnya. Air liurnya mulai getir karena rasa manis luar biasa menyeruak di mulutnya, sedang hatinya hampa dan pahit.

"Elo capek. Gue tahu itu. Gue sahabat elo, Gen."

"Hentikan gaya bicaramu yang barusan. Roaming! Dan aku terlalu miskin buat bayar abonemen," sembur Eugene, berhambur keluar dari kedai kopi pinggir jalan meninggalkan Langit Kelana.

Idealisme tak tergoyahkan, itulah ciri khas dari Eugene yang paling menonjol. Semua harus serba mengikuti aturan mainnya. Tak terkecuali masalah bahasa sekalipun.

Langit Kelana tercenung. Kelu rasanya. Tak ada niatan pula untuk mengejar Eugene yang minggat. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya ke cangkir kopi. Kopi yang belum dingin menguap panas, membuat embun kabur di kacamata minus yang Langit Kelana pakai. Rasa lapar yang sebelumnya menyerdadu akhirnya bubar. Kenyang sudah oleh tumpukan emosi yang belum kelar. "Elo memang selalu miskin. Gue enggak tahu kapan elo bakal kaya hati," Langit Kelana membatin hampa.

Eugene berjalan sesuka hatinya. Menyusuri pinggiran trotoar Jalan Braga yang mulai ramai. Riuh rendah bunyi klakson membahana. Membuat ia semakin pusing. Kian bosan dengan keadaan mematikan yang tak jenuh membelenggunya. Ini hari yang indah, Eugene. Ini pesta rakyat yang mestinya kau ikut larut. Ini bukan bagian dari polemik yang kau debatkan tempo hari lalu tentang tata kota yang sungguh berantakan. Ini hari yang ceria. 17 Agustus 2007 yang cerah.

Cinderella itu rumit. Kompleksitasnya tak terduga. Siapa duga wanita karir lengkap dengan serba tahunya menjadikan Eugene hilang akal. Ini bukan soal cinta. Jauhkan pemikiran itu. Tak selamanya lelaki dan wanita dalam pertemuan kesekian kali bicara soal cinta. Mana sempat! Atau lebih tepatnya memang tidak sempat.

Eugene pusing bukan main. Vertigonya kambuh lagi. Ruang-ruang kosong di otaknya kini jadi permainan gempa bumi yang dahsyat. Tubuhnya terhuyung ke depan; terpental lagi ke belakang—dan seterusnya. Kedua kakinya terseok-seok mengikuti ritme vertigo di kepalanya. Eugene rubuh.

Langit Kelana, berdasar intuisi belaka akhirnya memutuskan untuk mengejar Eugene. Dia pun yang kali pertama menemukan Eugene terkapar pingsan. Reaksi Langit Kelana datar. Dia sudah menerka apa yang akan terjadi pada Eugene.

* * *

Sepasang loafers warna mid brown terlepas dari kaki Eugene. Dengan telaten, Langit Kelana melepaskan kaos kaki Eugene sekaligus.

"Aku lapar," desis Eugene, siuman dari pingsannya.

"Sama. Apalagi gue?! Sampai bubar gara-gara liat elo ngomel," dumel Langit Kelana, membesengut.

"Pejabat-pejabat itu kejam," Eugene bangun dari rebahannya. Ia beranjak berdiri.

"Bukan pejabat-pejabat yang kejam. Tapi dimana-mana struktural itu ikut aturan main, sedikit menyimpang bukan urusan lagi sama lembaga sama rata tapi masuk kantong urusan petinggi," tempa Langit Kelana. "Dan lagi, wanita itu harusnya lebih elo hormati."

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang