Halte

34 2 0
                                    

No editing. Sorry for typo, darls :)

Kemana pun kau berlari, kau harus ingat bahwa hidupmu bermula di suatu tempat yang mau tak mau kau pun harus kembali ke sana ketika roda kehidupanmu nyaris terhenti. Kau tak harus melakukan penantian lagi yang tiada guna. Yang kau tahu saat itu adalah menyerah pada kepasrahan. Menunggu sebuah keajaiban. Menanti sesuatu yang dapat mengubahmu menjadi seseorang yang lebih dan lebih baik dari sekarang. Yang mengasyikkan dalam plot ini adalah ketika kau harus memilih antara: HIDUP dan MATI.

Ketentuan hidup dan matinya seseorang memang telah digariskan. Jauh sebelum kau menentukan sendiri hidup dan matimu. Hidupmu bisa berarti kau bernapas, kau merasakan, dan kau gelisah. Perasaan itu bermacam-macam. Seiring umurmu habis di dunia, kau akan mengenal masing-masing perasaan itu dengan kadar yang sesuai. Itu jika kau tidak melanggar etika yang ada.

Dan, apa itu mati? Seseorang dikatakan mati apabila ia tak lagi bernyawa. Ia tak lagi membelalakkan kedua matanya bila tak senang, ia tak akan mengeluarkan urat tegangnya saat marah, dan ia tidak lagi menangis tersedu-sedu karena hatinya perih. Lalu, bagaimana dengan hidup? Apa kabarnya hidup sekarang ini? Yang bertendensi kuat ke kontemporer dan mind set ibukota-isme (istilah bekennya, jet set – kaum borjuis yang sekenanya). Wah, apabila kita bermain esei soal hidup jaman-jaman ini, kita akan lebih banyak mengkritik dibanding memberi solusi yang ranah publik dan tepat sasaran. Pusing bukan? Bagiku, tidak juga.

...............

Ckrek.

Aku mengunci buku jurnal pribadiku dengan gembok kecil. Bab hidup dan mati telah selesai. Jadi, apa yang dapat aku lakukan untuk hari ini? Hhm, coba kulihat sekeliling rumah nenekku yang teramat jauh dari peradaban ini. Dan yaks! Aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Sepertinya, kamar mandi di pojok lantai dua itu patut mendapat penghargaan. Sedikit belaian kasih sayang dan busa yang membludak pasti akan membuatnya senang. Segera aku ambil sikat kamar mandi berikut perlengkapan untuk membersihkan kamar mandi.

Classless society. Pernah dengar istilah itu? Aku yakin kau pasti belum pernah mendengarnya. Coba kau buka kamus bahasa Inggris-Indonesia. Cari huruf 'C' pada daftar isi yang kerap kali ada di halaman setelah prakata. Jika kau sudah tahu halamannya, bukalah perlahan lembar demi lembar. Itu akan menunjukkan bahwa kau merupakan orang yang cermat. Orang yang detail akan hal-hal kecil selain uang.

APA? Kau tidak menemukan istilah yang kumaksud? Kau hanya menemukan class-conscious dan class-consciousness? Hoho.. Coba kau perhatikan: mengapa sebuah kamus sangat memperhatikan kelas? Ternyata tak dapat dipungkiri, kelas memang menentukan seseorang mendapatkan priveless alias hak-hak istimewa.

Bukan, bukan, bukan,... bukan kelas yang ada di tiap sekolahmu maksudku. Aku tidak sedang membicarakan apakah kau sekolah; kau kelas berapa; atau bergengsikah sekolahmu saat ini. Aku juga tidak akan menyinggung sekolahmu meski aku akan menyinggung tentang pendidikanmu. Hanya sedikit saja. Karena aku sadar betul, sekolahku yang menghabiskan banyak waktu tidak sehebat sekolahmu yang berbasis kompetensi atau malah internasional. Sekolahku kampungan. Di pusat kota tapi ala kadarnya. Tanpa embel-embel ini itu. Jika SD ya tetap Sekolah Dasar; SMP ya Sekolah Menengah Pertama; SMA ya Sekolah Menengah Atas; dan terakhir pendidikan D3 Sinematografi yang masih aku jalani sepenuh hati meski modal serba setengah. Niat setengah, tenaga setengah, dan duit seperempat dari setengah. Agak miris dan ironis. Ya, inilah keadaanku. Prihatin kah? Tidak perlu. Aku tidak butuh itu. Aku masih bisa kerja part-time kok. Nanti akan aku ceritakan tentang pekerjaan sampinganku yang menakjubkan.

Anyway, kita kembali ke habitat semula. Soal 'kelas'. Dan akan sedikit saja menyinggung pendidikan. Istilahnya, menyentil saja.

Dua minggu yang lalu, seorang anak dari kelompok anjal menanyakan sesuatu kepadaku. Ucang yang kurus, kecil, dekil, dan mirip anak penyakitan-tak-nyaman-hidup-itu, seketika menanyakan (serta memaparkan) keadaan negeri ini dengan menirukan gaya seorang pejabat teras. Menggebu-gebu tanpa jelas siapa yang dimaksud. Ngeri aku melihatnya sehingga aku bungkam saja. Sampai akhirnya ia berhenti menderuku dengan pertanyaan dan mencincangku dengan kalimat-kalimat pernyataan tajamnya. Yang terbesit dalam benakku hanya satu kalimat tanya: Apakah hampir semua anak seusia Ucang bersikap se-sarkatis itu? Jika ya, aku jamin toleransi akan semakin samar. Dan yang pasti generasi setelahku pasti akan menjadi makhluk individual. Mayoritas tentu saja. Kemana perginya minoritas lemah tapi punya norma seindah dulu? Tak tahu.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang