Satu

54 3 0
                                    

Love,

Amor,

Amour,

Cinta,...

MORAIESA berhenti menulis. Ujung penanya terdiam membeku di atas titik terakhir. Amour. Cinta, dia bilang. Mengapa kata ini selalu mematahkan arang Moraiesa untuk menulis? Ini lara tersendiri baginya. Lara yang beralaskan cinta. Pedih kah? Atau justru sebaliknya. Moraiesa tak pernah tahu. Diremasnya secarik kertas yang memuat setengah idenya itu. Dan sepertinya yang ia lakukan sebelum, kertas itu pun melayang jatuh ke tempat sampah. Ide brilian itu pun terpaksa bernasib sama dengan sebelumnya. Berakhir di tempat sampah.

Sekian detik kemudian, Moraiesa kehilangan rasa untuk menulis development story novel keduanya. Ia beralih ke meja belajar dan menyalakan komputernya. Hanya dengan memasuki dunia maya kontemporer, internet, ia dapat melupakan sejenak masalah cintanya. Perhaps, mengecek email dari teman atau member milisnya akan menggugah mood baik Moraiesa.

Cinta yang sebenarnya tak bermasalah jika Moraiesa mau membuka hatinya lagi.

Apa dia phobia cinta? Mustahil. Dia juga pernah mencinta dan dicinta seseorang. Dia pernah merasakan apa yang namanya cinta monyet, cinta pertama, cinta pada pandangan pertama, dan semua cinta kecuali cinta sejati. Yah, cinta sejati. It just in your dream. Moraiesa dan gadis-gadis lain pasti mendambakan lelaki dengan gaya aristokrat serta keromantisannya tersendiri. Ditambah lagi, lelaki itu sangat mencintai si gadis sampai rela mengorbankan semuanya.

Pernah, suatu ketika Moraiesa menapaki usia ke-16nya, ada hadiah istimewa yang hanya diperuntukkan baginya. Hadiah itu cinta. Cinta yang datangnya dari seorang Raka. Sosok lelaki sangat luar biasa Namun itu hanya sekelebat tangan kanan Moraiesa mengibas. Cinta itu hanya klise. Bukan untuknya. Moraiesa kecewa. Sangat kecewa. Ternyata persahabatan lebih dominan di antara keduanya. Mereka belum sepantasnya menuai cinta dari sebuah persahabatan yang murni. Mungkin tabu bagi Moraiesa.

Tabu? Moraiesa kemudian menggeliat pelan. Terlalu menyakitkan jika mengingat kata itu. Ditatapnya layar monitor komputer yang sesekali berkedip dan memunculkan screen saver foto dirinya dengan seseorang. Dia dan Damian. Lalu, Moraiesa menarik bibirnya dan mengulum senyum. Senyum yang sebelumnya tak pernah berpendar saat Moraiesa tahu apa itu kenyataan.

Damian hadir di kehidupan Moraiesa saat kedua matanya terbuka dan menyambut usia ke-17. Damian datang membawa seribu cinta buat Moraiesa yang direalisasikan melalui bunga mawar merah berjumlah 999 tangkai. Namun itu dua bulan yang lalu. Moraiesa masih terlalu naif menerima bahwa cinta bisa saja datang dan pergi meski mempunyai hak menetap di salah satu ruang hati. Lebih dari segala hak, cinta memang suatu kewajiban, selain kasih dan sayang.

"Belum tidur, sayang?" Bunda melongokkan kepala dari ambang pintu kamar Moraiesa.

Moraiesa tertegun sejenak. "Hmm.. belum ngantuk, Bunda," jawab Moraiesa, buru-buru menyeka air matanya. Akh, air mata ini. Kenapa selalu tak dapat dibendung? Damian benar-benar brengsek!

"Ada apa sayang?" tanya Bunda, mencium gelagat aneh Moraiesa.

"Ng... nggak pa-pa Bunda. Sekarang aku mau tidur," Moraiesa beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. "Good night, Mom..." Moraiesa mengecup pipi kanan Bunda dengan kilat dan menutup pintu kamarnya.

Dua menit berlalu seusai aksi tutup pintu secara paksa..

Dan Moraiesa masih berdiri mematung. Ingin rasanya ia berlari dari kenyataan yang membuat hatinya hancur. Tapi bagaimana caranya? Untuk melangkahkan kakinya saja, Moraiesa butuh banyak tenaga. Beban ini terlalu berat buatnya. Sedihnya lagi, beban itu tak pernah hilang dari bahunya. Selalu saja menekan Moraiesa. Sedikit saja Moraiesa lengah, ia akan jatuh terpuruk lebih dalam.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang