Lara Elara

130 7 6
                                    

GELAK tawa mereka sungguh menggangguku. Mengusik kalbuku yang menghitam dan terus-menerus mengiris hatiku. Aku susah bernapas karenanya. Aku tak pernah sekalipun tidur nyenyak karenanya. Mimpi-mimpi indah pun urung menemani tidurku yang pendek. Aku kesepian. Dan aku semakin meratapi hidupku yang tak berangsur membaik sejak lengsernya pejabat teras yang terpandang itu.

Suara jangkrik mengerik berisik mengisi malamku yang panjang dan hampa. Langit berselimut durja tanpa bintang seolah membentangkan asaku yang raib. Haruskah aku begini? Pantaskah aku diperlakukan seperti sekarang ini, sengsara; rajin dimaki orang; dan terlunta-lunta? Tuhan, mengapa ujian yang Kau berikan sangat berat? Aku bahkan tak dapat mengangkat daguku lagi.

Dua jam yang lalu, aku bertandang ke sebuah lembaga pemasyarakatan (LP) yang letaknya tak jauh dari rumah kontrakanku yang kumuh. Jauh sebelumnya, aku tak pernah berpikir akan menginjakkan kedua kakiku di kedua tempat itu. Kalian tahu aku menemui siapa? Kalian pasti heran setengah mati. Asal kalian tahu, aku sendiri merasa canggung menemui orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah Ayahku sendiri. Suami dari ibu yang melahirkanku dan gagal total menjadi figur ayah yang baik. Hei, aku bahkan tak pernah tahu bagaimana perlakuan seorang ayah yang baik kepada anaknya. Bisa kalian jelaskan?

Semburat sendu menghiasi wajah Ayah ketika aku bertatap muka dengannya. Meskipun pedih, aku memaksakan diri untuk menyunggingkan senyum pahit di bibirku. Rasanya aku ingin marah dan mencerca Ayah habis-habisan tapi lidahku kelu. Aku tidak dapat melakukannya. Aku tak tega. Dan aku tidak setega Ayah yang merampas hak orang banyak.

Akan tetapi entah mengapa ada segelintir rasa bahagia yang merebak di hati kecilku. Kalian tahu kenapa? Karena seumur-umur aku diberi mandat menjadi anak tunggal oleh Tuhan, aku tak pernah melihat Ayah sesederhana hari ini. Ayah yang biasanya berbalut jas mewah, tatanan rambut yang rapi dan klimis dengan sentuhan gel, serta kacamata bingkai emas yang bertengger di batang hidungnya—kini berubah. Beliau hanya mengenakan t-shirt biru donker polos dan celana khaki yang lusuh. Sungguh kontras memang. Tapi menurutku, Ayah sangat keren.

"Elara, mengapa kau masih rajin menemui Ayah? Ayah telah gagal, Nak." Suara Ayah bergetar, membuka pembicaraan denganku.

Aku tersenyum tipis seraya menyodorkan sebungkus nasi rames. "Karena Anda masih Ayah saya. Betapapun saya mengelak, Elara tetap anak perempuan semata wayang yang Ayah miliki."

"Nak,..." Ayah bangkit dari duduknya, berjalan tertatih dan duduk di sampingku.

"Dan mengapa Elara tetap saja rajin menemui Ayah, itu karena Elara tidak ingin mengabaikan Tuhan yang telah memberi kesempatan untuk senantiasa berbakti pada Ayah."

Semua memang tidak mudah. Tapi apakah kalian percaya bahwa waktu menyembuhkan luka? Bahwa waktu mengembalikan semua pada tempatnya? Aku percaya. Kalian?

* * *

Sekarang aku tak peduli dan tak akan pernah ambil peduli dengan perkataan orang-orang yang menghina keluargaku. Peduli setan! Toh aku hidup bukan karena belas kasihan mereka lantaran aku terlalu mengiba dan banyak mengeluh. Biarlah! Selagi mereka dapat mengumbar omongan, terserah! Aku tak peduli. Dan Ayah selalu membuatku berusaha tegar. Namaku boleh Elara tapi aku tak kan lara dicerca mereka.

Orang-orang bilang Ayahku adalah seorang koruptor, yang notabene ialah maling kelas kakap –sangat ekslusif karena pengusutan kasusnya pun melibatkan instansi lain yang terikat—. Ayahku adalah penjahat terbesar; pemakan uang rakyat; itu yang mereka bilang. Yah, mereka boleh saja beranggapan demikian. Toh demokrasi reformasi yang digalakkan oleh Negara ini juga mengusung 'orang bebas berpendapat'. Jujur, aku pun sangat empati dengan hal itu meski aku merupakan salah satu korban yang tak terdeteksi.

Aku tak dapat memungkiri kenyataan bahwa Ayahku terlibat dalam kasus korupsi besar-besaran itu. Nama keluargaku sempat membumbung tinggi, naik ke permukaan karenanya. Media pun semakin membesar- besarkan semua tentang keluarga kami. Kekayaan kami beginilah, mobil kami begitulah, tanah kami dimana-manalah, begini begitu; tak ada habisnya. Saat itu aku hanya bisa diam dan memandang Ayah dengan sinis. Serta-merta aku memaki-maki Ayah sampai aku hampir melepaskan pukulan ke dadanya. Mungkin tidak etis ketika seorang anak, terutama perempuan, bersikap demikian. Terlebih lagi dengan melakukan tindakan pemukulan terhadap Ayahnya sendiri. Tapi aku kesal. Kesal sekali. Emosiku meledak-ledak. Hanya satu hal yang aku pikirkan saat itu, aku sangat malu. Bagaimana jika hal ini menimpa kalian? Apa yang akan kalian lakukan?

Sementara orang lain menggunjingkan si anak tunggal Sang Koruptor, luka ini terus ditempa. Namun aku selalu berusaha tegar. Tak kubiarkan orang memandangku lemah. Kemarin mungkin aku belum mampu mengangkat daguku, tapi sekarang aku akan mengangkat dagu tinggi dan melenggang santai di hadapan mereka. Bukan pongah yang kumaksudkan tapi lebih ke dalam artian berusaha sebaik mungkin menjalani hidup selagi dapat ditata kembali.

Jika diingat-ingat, setengah tahun yang lalu adalah momen yang paling berat di hidupku. Harta dan aset keluargaku disita oleh negara. Tak ada satu pun yang tersisa. Semua menjelma jadi debu yang kemudian terbawa angin. Hilang. Aku yang baru saja bertolak dari St. Tropez—dan menikmati indahnya liburan di kota penuh kedamaian yang terletak di antara kota Marseille dan Cannes, Perancis; terang saja bingung dan kalut menghadapi situasi yang tiba-tiba saja carut marut.

Tak hanya negara yang mengambil paksa harta keluargaku. Massa yang entah diprovokasi siapa; pun ikut mengambil harta keluargaku. Mereka mengepung department store milik keluargaku, menjarah isinya, menyandera beberapa pegawai, dan membakar bangunan tersebut dengan brutal. Mereka benar-benar sakit jiwa! Kuharap mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan. Sempat terbesit sebuah pertanyaan di pikiranku yang hampir hilang, inikah bentuk dari aspirasi sebuah demokrasi reformasi?

Aku kian lara lantaran hakim menjatuhkan vonis hukuman yang menurutku tidak irasional. Mungkin bagi kalian 20 tahun itu pantas bagi koruptor tapi untukku yang sudah kehilangan semuanya termasuk masa depanku... aku tidak terima. Sanksi sosial yang kuterima akan terus melekat seumur hidupku.

Saat vonis dijatuhkan, Mama langsung terkulai pingsan di pengadilan. Kupikir Mama akan terus menemaniku dan Ayah, namun selang beberapa minggu kemudian Mama mengajukan cerai. Hal itu membuatku terpukul. Ketika Ayah sangat membutuhkan orang-orang terdekatnya, Mama justru menjadi salah satu pengkhianat. Aku memang sangat membenci Ayah, tapi aku lebih benci seratus kali pada Mamaku.

* * *

Aku cukup bahagia dengan kehidupanku yang sekarang. Ya, semuanya berubah. Tidak ada lagi apparel mewah, tidak ada lagi rumah megah beserta fasilitasnya; sudah kubilang bahwa semua itu hilang kan? Meskipun aku masih berumur 19 tahun, aku sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai penyiar radio. Oh, kalian bertanya aku meneruskan pendidikan atau tidak? Ya, tentu saja. Nyaliku lumayan tinggi. Tak hanya itu, aku juga memanfaatkan waktu luangku dengan anak-anak jalanan yang sering kutemui saat turun di halte bus. Kami bermain sambil belajar. Kuajarkan pada mereka agar selalu melihat dunia dari banyak sisi. Bukan semata-mata karena bumi itu bulat lantas sudutnya tak terhingga, melainkan agar mereka pandai dalam mengambil poin masalah dari pelbagai sudut pandang.

Bagaimana dengan Ayah? Yah, Ayahku masih menjalani hukumannya di penjara. Beliau menyesali segala perbuatannya. Kemudian aku berpikir keras untuk mendefinisikan korupsi dalam artian yang berbeda. Ternyata korupsi itu memiliki sisi yang baik juga. Ada hikmahnya. Mungkin tidak sama dengan kebaikan yang kita peroleh karena melakukan tindakan terpuji. Tapi menurutku fenomenanya sama. Korupsi tidak hanya dapat kita temukan secara finansial, tetapi juga dalam jiwa manusia. Bukankah kita selalu mengakali waktu? Hhmm.

- TAMAT -

Halaman Belakang, 13 Mei 2006 

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang