Sebelum Matahari Terbenam

24 2 0
                                    

No editing. Sorry for typo :)

Jika Tuhan berkehendak atas sesuatu, itu mutlak. Namun manusia selalu diberi kesempatan beribu kali. Senantiasa diberi kesempatan berlipat ganda untuk berusaha dan meraih keberhasilan. Jika kegagalan yang kau dapat itu tak mengapa. Kau harus lebih berbahagia karena dapat merasakan perasaan luar biasa itu. Tuhan memberimu tantangan lagi untuk lebih maju. Untuk seribu kali melangkah ke depan. Untuk mendapatkan apa yang disebut 'keindahan'. Untuk mengisi ruang kosong di hatimu agar selalu bersyukur dan bersemangat.

Detak jantung Kinar, berdebar kencang. Kaki kanannya bergerak maju satu langkah. Lalu diikuti kaki kirinya. Kedua tangannya gemetar. Akh, belum saatnya. Kinar bergumam. Pada akhirnya, niat kuat itu terkurung pada keangkuhan waktu. Belum saatnya, Kinar bilang. Kinar jago sekali mengucapkan kalimat itu. Alasan yang selalu ia utarakan untuk membentenginya dari seseorang yang senantiasa melindunginya. Bapak.

"Maafin Kinar, Bapak..." Kinar mundur beberapa langkah. Kedua matanya berlinang. Dan tangis pun terkuakkan. "Kinar belum bisa."

Pria paruh baya yang sedari tadi diamati Kinar dari jauh itu duduk di bangku taman. Rambut berwarna keperakkan itu tidak menumbangkan semangat jiwa mudanya sebagai pahlawan yang memberantas kebodohan di masa mudanya dulu. Pahlawan tanpa tanda jasa kentara melekat di tubuhnya. Penampilannya khas Bapak Guru jaman dulu. Dengan sepatu kulit dan tentunya, sepeda tua. Penampilan itu tidak pernah berubah. Sampai sekarang.

Pandangan kedua mata pria tua itu mulai sayu termakan usia. Namun tatapannya, masih dapat menusuk tajam; masih dapat meremehkan orang lain; masih dapat berbinar karena bahagia; masih dapat menangis karena suka dan duka cita; masih bisa terpicing karena merasakan hal yang tidak beres dan tidak sesuai kaidahnya; dan masih dapat memperlihatkan pandangan hangat, buat Kinar.

Kinar berbalik arah. Ia berlari sekuat tenaga. Niat mulia itu akhirnya urung Kinar lakukan. Semenjak kejadian dulu, sepertinya Kinar susah menerima kenyataan bahwa ia masih memiliki Bapak. Dan bukan hanya Ibu yang membesarkan Kinar, Bapak juga turut andil meski tidak secara langsung. Bapak dan Ibu sudah bercerai, dan itu kejadian dua belas tahun yang lalu. Saat Kinar masih terlalu kecil menerima keadaan yang signifikan dan mengubah haluan hidupnya.

Sejak saat itu, tidak waktu untuk bermanja-ria. Kinar dididik oleh Ibu menjadi anak yang mandiri, pemberani, tangguh, dan tidak cengeng. Namun sekarang, tampaknya Kinar kehilangan itu semua. Ia berlari menghindari kenyataan. Ia takut dengan semua ini. Dan ia menangis tersedu-sedu sembari meninggalkan Bapak yang tidak menyerah menunggu Kinar.

* * *

Kinar sampai di rumah dengan kehampaan. Pandangan kosong ia lempar ke setiap sudut rumahnya yang mungil. Ada yang kurang memang, batin Kinar dengan jengah. Tapi mengapa aku sangat takut menerima keadaan? Mengapa aku takut menemui Bapak? Padahal aku akan menemui sebuah cinta yang sudah lama aku impikan. Cinta dari Bapak buatku. Cuma buat putri kecil tunggalnya. Untuk tuan putri semata wayangnya saja. Bukan untuk orang lain.

Perceraian itu tidak begitu mengubah apa yang telah ada. Tidak ada pernikahan untuk kali kedua bagi Bapak dan Ibu. Ibu berusaha sekuat tenaga menjadi sosok Ibu yang penuh kasih sayang dan kepala keluarga yang baik. Sedangkan Bapak, meski beliau memutuskan untuk menetap di Tokyo, dalam setiap bulannya, Kinar mendapat kiriman uang dan barang-barang sesuai kebutuhannya. Terakhir, Kinar mendapat paket berisi kaffiyeh, ensiklopedia dunia edisi terbaru, CD-CD Jazz dari Jepang, dan sebuah boneka yang dapat merekam suara pengirimnya.

'Selamat Hari Kasih Sayang, Putri Kecilku... Bapak sangat merindukanmu. Bapak ingin bertemu denganmu, sayang...' suara Bapak yang serak dan berat sangat memaknai boneka kecil yang bisa dibawa kemana saja itu.

Kinar tertunduk sendu. Ia hilang kata-kata. Tak dapat berucap sepatah kata pun. Ia masih tidak dapat mempercayai esensi kenyataan ini. Bapak datang. Jauh-jauh dari Tokyo. Dan Kinar menyanggupi akan datang menemui Bapak di taman. Namun sampai detik ini, Kinar tak jua mampu menemui beliau.

Langit mendung. Gelap. Sepertinya hujan tak akan tanggung-tanggung mengguyur sampai semua basah. Ibu berlari tergopoh-gopoh, memunguti sisa-sisa jemuran yang belum benar-benar kering. Dan Kinar tetap saja terdiam. Ia duduk tercenung di ruang tengah. Ia mengamati Ibu. Tapi tidak bergerak sedikitmu pun untuk sekedar membantu Ibu.

"Sayang, kamu belum bertemu Bapak? Kamu takut?" belaian kasih sayang Ibu mampir di rambut Kinar yang panjang dan hitam kelam.

"Tidak, Kinar tidak takut. Tunggu sampai hujan nanti, Bu..." Kinar tersenyum kecil. Setelah melakukan eksplorasi kecil dan asas perkiraan, Kinar memutuskan untuk ke taman saat hujan. Kecil kemungkinan Kinar akan bertemu dengan Bapak.

Ibu mengerutkan dahi. Ibu bingung dengan sikap anaknya. Lalu, beliau hanya mengangkat bahu dan berkata, "Terserah kamu. Matahari tidak akan terbenam sebelum kamu bertemu dengan Bapak."

Kinar menatap lurus. Tidak bereaksi. Ia memutar badannya dan berdiri. Yah, tentu saja matahari tidak akan terbenam. Karena ini masih siang. Cuma mendung yang mendominasi langit. Sehingga langit tampak kelam.

Hujan pun turun. Deras sekali. Titik-titik air yang jatuh dari langit membulatkan inisiatif Kinar untuk segera pergi ke taman. Untuk segera menemui Bapak. Maka, buru-buru Kinar mengenakan jas hujan, dan keluar dari rumah.

* * *

Sebelum ke taman, Kinar berhenti di Delight, toko roti langganannya. Ia membelikan sesuatu untuk Bapak. Yang pasti Bapak sangat suka akan hal itu. Dalam hati kecilnya, Kinar bergumam riang. Ternyata, meskipun Kinar belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan yang ada, ia masih memiliki asa terpendam untuk bercengkrama dengan Bapak lagi.

Kinar berlari. Menerobos hujan dengan gegap gempita. Dinginnya hujan yang menyergap tak lagi ia rasakan. Keinginannya begitu kuat. Mengalahkan segala setan-setan yang sampai jemu menghasutnya.

Napas Kinar terengah-engah. Mulutnya menganga. Orang yang ia ingin temui masih duduk di bangku taman. Kesetiaan luar biasa sangat tampak pada figure bapak yang melekat di pria paruh baya itu. Kinar boleh sedikit lega karena Bapak tidak kehujanan. Sebuah payung melindungi Bapak dari hujan. Salah satu nasehat Bapak tiba-tiba terngiang di benak Kinar. Sedia payung sebelum hujan. Nasehat itu sampai kini tidak pernah basi.

"Bapak," Kinar menghampiri Bapak dengan rasa penyesalan dan benar-benar bersalah.

"Putri kecilku!" sambut Bapak, bangkit dari duduknya dan langsung menarik Kinar dalam dekapannya yang hangat.

"Maafin Kinar, Bapak..." Kinar hampir terbata mengucapkan maaf karena ia menangis sesenggukan.

"Tidak ada kata maaf di sini, sayang. Bapak senang sekali.. Sungguh! Bapak bahagia karena kamu masih ada keinginan menemui Bapak," ucap Bapak, yang serta-merta menghapus air mata Kinar.

"Kinar bawa sesuatu buat Bapak," Kinar mengangsurkan paper bag warna cokelat ke Bapak. "Sweet baguette. Bapak pasti lapar karena menunggu Kinar seharian."

"Ah ya, Bapak masih suka roti ini," dengan suka cita Bapak menerima pemberian Kinar. Di bawah payung yang sekarang Kinar pegang, Bapak makan dengan lahap sekali.

"Selamat Hari Valentine, Bapak..." Kinar memeluk Bapak dari samping, excited. Ia tak pernah merasa sebahagia saat ini.

Sungguh, inilah keajaiban. Kinar baru mengerti satu hal, bahwa Hari Valentine yang selalu identik dengan sepasang kekasih, pesta dansa, dinner, ataupun berbagi coklat, tidak hanya itu melulu. Berbagi baguette pun bisa. Tidak hanya dengan pasangan kita, keluarga pun bisa. Sudahkah kamu berbagi senyuman, kasih sayang dan baguette hari ini? Jika belum, segera lakukan. Sebelum matahari terbenam dan memendam asamu untuk keesokan harinya.

* * *

Yogyakarta, 2 Januari 2008

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang