Kala Malam Itu

37 1 0
                                    

No editing. Sorry for typo :)

Bunga mawar merah ini aku persembahkan untuk yang tercantik hatinya. Untuk seorang perawan yang berhasil menggamit semesta alam dengan pujian rayunya akan keindahan alam. Untuk seseorang yang senantiasa mau berbagi batin denganku. Berkenan membagi cerita klasiknya setelah ia berziarah ke masa kecilnya, sepuluh tahun yang lalu. Aku berdiri di atas tanah kelahiranku yang mulai kusam. Yang tidak hijau lagi. Yang kebanyakan aspal menggurui bebatuan, memimpin laju kendaraan agar semulus raut wajahnya yang hitam. Aspal itu tidak bagus. Jelek. Sungguh jelek. Lebih-lebih ketika asap menyelimutinya. Rasa-rasanya aku muak. Dan bumi kian memanas.

Hawa panas dingin menyergap wajah dan sekujur tubuhku ketika air dari shower bath keluar. Menyembur keluar bagaikan hujan deras yang tanpa ampun menitikkan air mata kesepiannya. Kini, aku kembali. Beserta buih-buih yang kembali ke induk sungai setelah menyeberangi tujuh samudera tanpa lelah. Bedanya, aku lelah dalam peraduan ini. Dan aku kembali sendiri. Tidak berkawan seperti buih itu.

Aku memang sakit hati.

Sangat sakit hati.

Tapi sesungguhnya aku sangat pandai dalam menghadapi persoalan kecil yang bagiku bukan apa-apa itu. Biar orang bilang dari dulu aku paling tidak dapat mengelola emosi, aku cukup pandai dalam mengobati sakit hati. Hanya dengan menyendiri. Menyisihkan orang-orang yang aku anggap sangat menyebalkan dan telah menyakiti hatiku. Lalu, membadani tubuh dengan menenggak air mineral dan berdoa. Keintiman akan suatu ego tinggi terkadang sangat diperlukan untuk situasi tertentu.

Satu saranku, berdoa saja yang baik-baik. Karena sesuatu yang buruk bukanlah doa melainkan kutukan. Dan kutukan itu bisa saja berbalik pada empunya doa jika mantranya justru lebih nyaman kembali ke sarangnya. Karena tak kan menyakiti orang lain. Untuk sebaliknya diri sendiri akan lebih terbebani.

Seharusnya aku bisa memilih. Seharusnya aku diberi kesempatan untuk kedua kali meski bobot rugi labanya berbeda. Jelas kesempatan pertama harus matang diperhitungkan. Namun kesempatan kedua jauh lebih baik. Dan percayalah, bahwa kita di dunia ini cuma belajar. Belajar dan belajar. Kita beramai-ramai berlari dalam persaingan yang maha ketat. Tapi kenapa tak pernah sedikit pun terpikir di benak kita untuk berjalan? Kita lelah. Kita terlalu memaksakan diri. Dan kita tak optimal untuk itu.

* * *

Zata, di malam yang dingin itu mengajakku pergi. Dia menantangku long march dari hotel –tempat kami dan keluargaku menginap karena esoknya aku menjalani terapi, ke Monas. Aku ketawa. Dan Zata mendelik tajam. Dia mana pernah menganggap kondisi ini sama rata dengan suasana rata-rata yang senantiasa itu-itu saja.

"Kita anggap itu long march. Karena kita tak tahu kapan akan dapat berjalan lebih dari 5 kilometer. Ayolah Guntur. Aku pikir kamu jauh lebih kuat daripada aku. Sekarang aku sangsi akan hal itu," ucap Zata tanpa pandang bulu.

"Kamu jelas berjalan, tapi aku tidak."

"Ya, aku tahu. Kamu atlit lari jadi jelas berlari," ucapan Zata terputus. Terlihat ia tengah memikirkan sesuatu untuk mengatakan hal yang tidak menyakitkanku. "Karena aku bukan atlit lari jadi aku berjalan."

Zata nyengir. Kelihatannya dia berjuang keras untuk membangun semangatku yang telah padam. Zata membara di atas dinginku yang membeku. Nasibku yang membiru kaku karena merasa Tuhan ada namun tak adil bagiku. Lukaku yang bakal menahun seiring berjalannya waktu.

"Ta, err.. aku merasa tidak memiliki kehidupan lagi," risauku, dengan nada jengah.

Zata tidak menyahut kerisauanku. Ia terdiam. Sepertinya ia terpaku dengan gemerlap lampu yang bersahaja menyambut kami keluar dari pintu utama hotel. Zata kemana dirimu kini? Pikiranmu pasti melayang entah kemana sehingga aku tak dapat menggapaimu saat ini.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang