No editing. Sorry for typo :)
Dear, tahukah kamu bahwa sekarang aku tengah bersedih? Seribu menit aku habiskan untuk menangisimu. Dear, tahukah kamu bahwa serpihan di hatiku yang hanyut kian hilang termakan waktu, eksistensi dunia, dan problema lain? Aku hancur ketika kamu menyudahi kisah kita di lembar ke-277. Padahal kamu tahu masih ada 233 lembaran kosong di buku tentang kisah kita. Dan itu kamu sisakan untukku. Hanya untukku. Tanpa kamu. Aku sendiri. Jiwaku terkorosi, hatiku nyaris mati karenamu.
Dear, aku ingin sekali membunuh cinta. Ingin sekali aku mengubur kenangan manis ini tanpa aku harus mengingatmu lagi. Tanpa aku harus sejenak mengingatmu ketika aku menjilati es krim perisa rum raisin yang tadi siang aku santap. Aku harus percaya bahwa ini semua adalah proses. Selalu ada pengorbanan. Seperti yang sekarang aku lakukan. Melepaskanmu. Membebaskanmu dari jeratan cintaku. Membiarkanmu meraih angan dan impianmu. Meninggalkanku hanya demi bersanding dengan gadis humoris yang selalu dapat membuatmu tertawa.
Dear, aku akan belajar tertawa. Selepas gadis itu. Tapi setulus hatiku yang ingin tertawa. Tidak seperti manekin kesayanganmu itu. Aku akan kembali menapaki jejak masa depanku yang terurai tanpa sesal. Aku tak akan menoleh ke belakang lagi. Bahkan untuk sekedar melihatmu. Tak akan. Jangan berharap lebih. Aku hancur, tapi dengan sesegera mungkin aku dapat utuh kembali. Aku termasuk dalam barisan perempuan kuat dan berdikari. Waktuku tidak percuma ku buang untuk mengingatmu lagi. Aku memang sedih, tapi hujan akan menyapu kesedihanku dengan cepat.
* * *
"Come on Quilla.. Tersenyumlah. Apa susahnya sih?" Kisa memaksaku tersenyum. Jemarinya menarik bibirku ke pipi.
"Sepertinya aku punya kelainan gestur," tandasku. Bibirku mati rasa. Kedua pipiku memerah seperti buah tomat. Dan hatiku masih meradang sepeninggal James.
"Itu autistik. Padahal kamu akan bertemu dengan anak-anak. Just smile!" Kisa menarik tangan kananku hingga bibir pintu. "Berkomunikasilah dengan dirimu sendiri dan orang lain. Jangan menutup hatimu, Quilla."
Yep, untuk mengobati sakit hatiku, aku menggilai semua kesibukan. Tak terkecuali magang di sebuah rumah sakit yang menangani kesehatan anak-anak. Kisa, kakak angkatku, seorang dokter muda lulusan tahun ini. Fresh graduate yang cemerlang. Aku bangga memilikinya sebagai kakak angkat, sahabat, sekaligus motivator.
Aku dan Kisa berdiri di bibir pintu. Daun pintu perlahan Kisa buka.
Hatiku berdesir. Inikah sisi kehidupan yang Kisa tunjukkan padaku? Benarkah ini kenyataan? Aku berharap ini mimpi dan aku ingin sekali cepat terbangun. Terjaga dari tidurku yang panjang dan melihat keindahan semesta. Aku tidak ingin kehidupan yang aku lihat sekarang benar-benar ada. Apa arti bahagia buat mereka? Aku sangat ingin tahu.
"Kamu bertugas di sini Quilla. Kamu akan mendampingi anak-anak ini. Mereka mengidap leukimia. Mereka di ruangan ini, menunggu jadwal check up dan kemoterapi," bisik Kisa.
"Kisa..." rasanya aku benar-benar tak berdaya. Kenyataan kelam ini membuatku seribu kali berpikir tentang patah hati. Ada banyak kehidupan yang terjadi, suka atau tidak suka, di mana pun itu berada.
"Terkadang kamu perlu membuka kedua matamu untuk melihat sesuatu yang terlupakan. Patah hati hanya sedih kelas biasa. Tapi mereka... Pffh, kamu bisa cari tahu sendiri," Kisa menepuk pundakku pelan. Lalu ia meninggalkanku dan mengumbar senyum sebelum ia menutup pintu dari luar.
Aku menghela napas. Ada tiga anak di depanku, kira-kira berumur 8 sampai 10 tahun. Ketiganya menatapku dengan pandangan ingin tahu.
"Hai, namaku Diandra Aquilla. Kalian bisa memanggilku Kak Quilla. Hari ini aku akan menemani kalian," dalam hati aku ingin memukul diriku sendiri karena membuat perkenalan sukses kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugusan Rasa (Buku Satu)
Short StoryBerisi kumpulan cerita pendek karya saya dari tahun 2006 s.d. 2011 yang terinspirasi oleh banyak hal saat mencecapi masa remaja. Tentang keluarga, persahabatan, cinta monyet, permusuhan, hingga pengkhianatan. 'Gugusan Rasa' menjadi sangat penting ba...