SHARON menginjakkan kedua kakinya di jalan setapak yang dipenuhi rumput. Jalan setapak itu lurus tanpa kelok menuju sebuah pavilion bercat putih gading yang mulai kusam. Setelah melewati paviliun, Sharon harus berjalan lagi menuju bangunan utama berlantai tiga. Langkahnya semakin berat tatkala sampai di depan pintu masuk. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Sharon, apa yang kamu lakukan di sini? Tiba-tiba rasa takut menyergapnya.
Selama lima tahun ini, Sharon dianggap menghilang oleh para sahabat semasa SMA-nya dulu. Saat itu, ia mengalami depresi hebat dan harus menjalani terapi yang tidak singkat. Setelah dinyatakan sembuh, orang tua Sharon mengirimnya ke Kentucky untuk melanjutkan studi sampai ia lulus kuliah. Keterlibatan orang tua Sharon dalam menata kembali hidupnya sangat besar. Jika mereka tidak peduli, mungkin Sharon tidak akan kembali ke Indonesia. Bisa jadi ia bunuh diri.
Jantung Sharon berdegup semakin kencang. Ya Tuhan, haruskah aku kembali ke tempat ini? Harus kah? Tempat dimana seorang sahabat terbaik nyaris menghabisi nyawanya. Tempat dimana kenangan pahit lima tahun yang lalu masih mengganjal di hatinya. Kenangan pahit itu bahkan memiliki ruang tersendiri dan tidak terobati. Sakit hati ini... Trauma ini... Sharon mencengkeram dadanya yang tiba-tiba.
'Selamat Datang di Puri Soka.'
Papan besar yang terdapat di atas pintu masuk masih seperti dulu. Sharon bergidik ngeri. Tangan kanannya mencengkeram kuat bagian pinggir pale dress-nya. Reflek, ia juga melepas scarf bahan polyester yang melilit di lehernya. Ia mulai mengambil kuda-kuda.
"Sharon," seseorang menepuk pelan bahu Sharon dari belakang. "Kamu Sharon kan?"
Sharon terlonjak melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. "Oh, Dokter Anla... apa kabar?" sapa Sharon, sedikit canggung.
"Saya baik-baik saja. Ayo kita masuk," Dokter Anla berjalan mendahului Sharon dan menuntun Sharon menuju ruangannya yang terletak di samping tangga.
Ruangan ini masih sama, batin Sharon ketika memasuki ruangan Dokter Anla. Kedua mata Sharon menatap waspada ke setiap sudut ruangan. Tidak ada perubahan furniture dan tata letak yang signifikan. Meja kerja, almari, dan ranjang di dekat jendela itu masih sama seperti dulu. Dan almari itu...
Ingatan Sharon melesat ke peristiwa lima tahun lalu dimana seseorang mendorongnya kasar hingga almari itu nyaris jatuh menimpa tubuh mungilnya. Impuls, Sharon memegang lehernya yang dulu pernah dicekik sampai ia kehabisan napas. Sharon paham mengapa laki-laki itu marah dan ingin membunuhnya. Jika Sharon berada di posisinya, mungkin ia akan melakukan hal yang sama.
"Kenapa lo lakuin ini ke gue, Sharon!? Kenapa lo juga ngambil orang yang gue sayang? Salah apa gue sama lo?! Kenapa lo dan Tuhan sekongkol untuk merebut apa yang gue punya? Kenapa?"
"Gue..." isak tangis Sharon menenggelamkan suaranya. "Gue minta maaf, Rae..."
"Jawab pertanyaan gue Sharon! Jawab! Gue nggak butuh maaf dari lo. Sekarang kembalikan Mallika ke gue..."
"Apa?"
"Dengan cara apapun, kembalikan Mallika."
"Sharon?" Dokter Anla mengibaskan tangannya di depan wajah Sharon. Seketika itu juga lamunan Sharon buyar. "Yang berlalu biarlah berlalu."
Sharon tersenyum tipis. Ingin rasanya menunjukkan pada dunia bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kenyataannya itu bukanlah hal mudah. Dokter Anla menggenggam tangan Sharon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugusan Rasa (Buku Satu)
Historia CortaBerisi kumpulan cerita pendek karya saya dari tahun 2006 s.d. 2011 yang terinspirasi oleh banyak hal saat mencecapi masa remaja. Tentang keluarga, persahabatan, cinta monyet, permusuhan, hingga pengkhianatan. 'Gugusan Rasa' menjadi sangat penting ba...