The Sands

44 4 0
                                    

Ben mencoba menelisik kedua bola mata yang tengah menatapnya dengan pandangan teramat dalam itu. Ia berusaha menguak misteri apa yang gadis mungil ini mainkan. Tiba-tiba gadis mungil ini datang dan membantunya dalam segala hal. Ajaib bukan? Boleh saja Ben menyebut gadis mungil ini sebagai dewi fortunanya atau malah malaikat kecilnya. Tapi Ben enggan. Semakin ia menjuluki gadis mungil itu, semakin ia merasa semuanya tampak janggal.

Class-consciousness yang Ben miliki pun mulai memudar. Agaknya alam bawah sadarnya semakin menggilai pikirannya. Semua instan. Tapi tampak berkala dan hanya sesaat. Namun kata-kata itu terkesan tak berlaku bagi gadis mungilnya ini. Seperti permainan sulap dengan kombinasi manusia di dalamnya saja. Yah, mungkin saja demikian. Ben tak menutup kemungkinan untuk itu.

Pada satu waktu, ketika langit kemerahan mulai menyibak daerah pantai –tempat Ben sering menghabiskan waktunya dengan surfing, Dreamland— ia melihat gadis mungil itu lagi. Padahal dua hari yang lalu, ketika angin kencang dan ombak begitu dahsyatnya Ben malah tak melihat batang hidung gadis mungil itu. Padahal ia ingin berpongah sedikit memamerkan aksi fantastiknya dalam hal meliuk-liukkan papan luncur sesuai ritme ombak. Fuh, mengapa jadi begini ya? Ben jadi sering melamun sendiri. Ia membuat fantasi dengan angannya. "Mau belajar surfing lagi?" tanya Ben dengan degup jantung tak keruan.

Gadis mungil itu menelengkan kepalanya dan menghembuskan napas pelan. "Tidak boleh."

"Kenapa?"

"Ya, tidak boleh. Oh ya, aku sudah membelikan tiket pesawat ke Jakarta. Pulanglah," Safira, nama gadis mungil itu, kemudian menebar senyuman tipisnya.

Sial! Ben menggumam umpatan dengan tekanan perasaan yang menindih sekujur tubuhnya. Gadis ini memang seenak jidat. Semaunya sendiri. Memangnya, dia siapa? Berani-beraninya ia mengambil hak atas pengaduan keberadaannya kini.

"Sebenarnya siapa kau?" akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulut Ben. Lidahnya pun tak lagi kelu.

"Kau sudah berjanji untuk tidak bertanya soal itu, bukan? Namaku Safira. Kau cukup tahu namaku saja," Safira melangkah surut menuju pesisir pantai.

"Iya, aku tahu, aku salah. Tapi aku ingin jadi temanmu. Mana ada teman yang tak terbuka satu sama lain," Ben ngeles.

"Aku sudah membelikanmu tiket untuk Jakarta. Berangkat besok," ulang Safira, mengacuhkan kuliah yang diberikan Ben.

Sebelumnya atau malah tak pernah ada perempuan yang berani mengacuhkan Ben. Gadis mungil ini memang unik. Dan uniknya lagi ia adalah satu-satunya perempuan yang tak terobsesi pada Ben. Persahabatan yang mereka jalin pun hanya semata tercipta dari keberanian Ben mengungkapkan perasaan yang mempermainkannya. Ben tak suka berlama-lama. Ia juga tak suka dengan basa-basi. Maka dengan spontan, pada pertemanan hari ketiga, Ben menyatakan perasaannya.

Sungguh gila Ben percaya bahwa Safira akan menerimanya dengan tangan terbuka. Setelah mendengar pernyataan keramat Ben, Safira tertawa keras dengan lugasnya. Kepolosan yang mempercantik Safira malam itu merupakan bukti otentik bahwa gadis mungil itu tak ingin dimiliki siapa pun. Tak ada ras, derajat, martabat, dan sekte istimewa yang dapat menarik perhatiannya. Ben pun hanya mengulum senyum kecut. Ia malu. Ia malu pada Safira dan pada dirinya sendiri.

Memang tak semua perempuan dapat menerima Ben yang mengandalkan kekayaan. Ben yang berkelas dan pewaris tunggal Widjatmoko adalah satu dari rangkaian orang terpilih yang mutlak hidup serba mewah. Ia jelas pandai memainkan peranannya dengan apik. Ia terampil memanfaatkan kedudukkannya. Tak hanya harta dan bawahan yang ia mainkan. Seribu perempuan pun dapat ia mainkan dalam satu kedipan saja. Tentu saja perempuan yang haus akan keglamouran duniawi. Sophiscated, istilah lainnya. Mereka adalah kaum yang menawan dengan pengalaman duniawi yang tak sedikit.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang