No editing. Sorry for typo. Saya lupa ini pernah dimuat di majalah Chic nomor berapa. Well, enjoy it. Jangan lupa bikin coklat panas dulu :)
----------
Karam,
Aku tahu kamu tetap menjadikanku seseorang yang kamu sayang. Tetap satu-satunya. Entah sampai kapan namun yang jelas aku tahu kapan kamu memulainya.
Aku masih ingat kapan pertemuan pertama kita, kapan kita mengobrol intens untuk yang pertama kalinya, dan kapan kita memutuskan untuk lari dari masalah yang membelit kita. Masalah yang sama di antara kita. Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah terbebas dari belenggu itu. Aku harap kamu juga dapat melepaskan diri. Tapi tidak dengan cara yang aku lakukan. Kamu pasti tahu bagaimana mencari akar dari permasalahan ini. Lalu mencari jalan keluarnya.
Ingat, ini cuma masalah sepele.
Bukan masalah yang membuatmu berlarut-larut.
Seperti aku.
...
Bulir-bulir air mata Karam tertahan oleh rasa sakit yang menghujam jantungnya. Dengan cepat Karam menutup buku sketsa dengan kertas daur ulang berwarna kuning pada tiap lembarnya, yang disalahgunakan Maysza. Bukan untuk menggambar tapi untuk menuliskan sesuatu untuk Karam. Cover depan buku itu tampak lapuk. Di tengah cover-nya tertulis 'Coklat.' Yeah, coklat. Coklat kesukaan Maysza. Sampai-sampai buku sketsa itu pun diberi nama Coklat.
Karam tertunduk sendu. Air matanya tak sempat jatuh ketika jemarinya menyapu sigap. Kedua tangannya siaga untuk mencegahnya menangis. Maysza tak pernah suka melihat orang berkabung dan menangisinya. Lagipula, Karam bukan lelaki cengeng yang rentan. Karam selalu teringat bahwa nama yang diperuntukkannya adalah nama yang membuatnya tegar sekeras karang. Kuat seperti ombak yang menderu tanpa halauan. Maka sebisa mungkin, ia menahan tangis, amarah dan kegalauannya. Akan tetapi, itu justru merapuhkan jiwanya.
Karam membuka buku itu lagi setelah mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Kedua mata Karam kembali menyisir kata demi kata yang ditulis dengan pena Parker pemberiannya setahun yang lalu. Ketika Maysza berulang tahun ke-21.
...
Bagus, kamu tidak menangisiku.
Itu jauh lebih baik ketimbang kamu membuang energimu percuma.
Hhhm.. malam ini agak mendung dan dingin ya Karam? Mungkin membuat coklat panas akan menghangatkanmu. Pergilah ke dapur! Buatkan secangkir untukku juga. Jangan pelit!
...
Kamu memerintahku? Berani sekali ya, gerutu Karam dalam hati.
Lalu Karam beringsut dari sofa empuk di ruang tidurnya dan berjalan menuju dapur. Lima belas menit kemudian, ia keluar dari dapur sambil membawa dua cangkir coklat panas. Satu cangkir tetap berada di tangannya, sedang cangkir yang lain ia letakkan di meja tengah, tepat di samping Macbook berwarna seputih susu dan buku sketsa tua pemberian Maysza, sahabat sedari kecil.
...
Akh, terima kasih banyak Karam. Kamu memang selalu baik padaku..
Coklat pekat buatanmu begitu harum. Sama harumnya dengan aftershave yang kamu gunakan seminggu sekali, coklat ini akan menjadi kerinduan buatku sendiri.
Tapi, kamu selalu lupa bahwa aku tidak suka manis.
Tuh kan! Coklat panasku kemanisan.
...
Karam mendengus kesal, menyesap coklat panasnya dan menggumam pelan. "Kau harus memberi arti pada kehidupanmu agar kau tahu bagaimana rasa manis tercipta dan melumeri lidahmu, Mays. Tak selamanya kecupan itu pahit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugusan Rasa (Buku Satu)
Cerita PendekBerisi kumpulan cerita pendek karya saya dari tahun 2006 s.d. 2011 yang terinspirasi oleh banyak hal saat mencecapi masa remaja. Tentang keluarga, persahabatan, cinta monyet, permusuhan, hingga pengkhianatan. 'Gugusan Rasa' menjadi sangat penting ba...